Hari-hari Senja kini dihabiskan di ruang kerjanya, berkutat dengan laptop dan juga ide-ide yang tidak cukup memuaskan bagi Senja, memenuhi kepalanya.
Besarnya tekanan yang dialami Senja membuat moodnya pun jadi tidak baik, berkali-kali dia melampiaskan amarahnya kepada siapa saja yang ada di sekitarnya dan yang terparah kepada Dinda.
"Ja, dari siang lo belum makan, ini gue bawakan makan siang. Lo makan dulu ya, nanti lo sakit," ucap Dinda meletakkan nampan berisi menu makanan yang biasanya sangat digemari gadis itu.
"Lo nyuruh gue makan? lo mikir dong waktu gue udah mau habis! Lo enak-enakan makan tidur dengan tenang tanpa ada beban pikiran sedikitpun, nah gue? Gue harus memikirkan semuanya, mengkonsep semuanya! Gue udah buat bab satu, gue rasa nggak pas, gue ulang lagi! Lo pikir gue nggak capek? enteng banget lo minta gue break makan dulu!" salak Senja.
Dinda hanya mematung diam, dia salah lagi di mata Senja. Padahal niatnya baik agar gadis itu tidak sakit. Mereka memang harus berjuang dalam satu bulan ini menyelesaikan naskah yang sudah dipesan oleh Edward tapi mau bagaimana lagi apapun yang dikatakan Dinda tetap saja salah di mata Senja.
"Gue hanya bermaksud mengingatkan agar lo nggak sakit, Ja. Lo bisa juga balik kerja lagi nanti. Berapa menit sih makan? please lo makan dulu ya," pinta Dinda memohon.
"Kenapa kalau gue nggak makan? Lo takut gue sakit? Lo takut nggak ada lagi yang ngasih gaji buat lo? Iya, kan? lo baik sama gue juga karena gue adalah sumber mata pencaharian lo! Gue akan gaji lo, jadi lo takut kalau gua mati lo jadi kelaparan? jadi gembel kayak dulu? Iya, kan? nggak usah pura-pura baik deh lo, gue jijik tahu nggak sama lo yang bisanya cuman minta ini dan itu!" umpat s
Senja.
Semua yang dikatakan Senja hanya alasan untuk bisa menyakiti perasaan Dinda, dia hanya membutuhkan alibi untuk memuaskan amarahnya yang sebenarnya ditujukan kepada Edward.
"Kalau gitu gue permisi, Ja. Nanti kalau lo mau makan lo ambil di meja ini," ucap Dinda menahan getir di dalam hatinya.
Senja tidak menggubris, dia kembali fokus ke layar laptopnya.
Satria yang baru tiba di rumah itu melihat wajah Dinda yang memerah dan ada bekas jejak air mata. Dia tidak perlu bertanya kenapa gadis itu menangis, tentulah kekasihnya yang menjadi penyebab gadis itu bersedih.
"Kalian bertengkar lagi?" tanya Satria lembut.
"Padahal aku berniat baik, mengingatkannya makan supaya dia nggak sakit tapi lagi-lagi aku dimarahin. Lama-lama begini, jujur aku nggak sanggup lagi," ujar Dinda menghapus air matanya.
"Kamu jangan menyerah dong, Din. Kamu tahu 'kan bagaimana sifat Senja? Kamu harus lebih banyak bersabar ya, percayalah akan ada hari di mana semua ini berakhir dengan indah," ujar Satria mengelus lengan Dinda dan segera beranjak ke tempat ruang kerja Senja.
"Bagaimana perkembangan naskahnya, apa ada kemajuan?" tanya Satria duduk di samping Senja. Hanya Satria yang mampu menaklukkan Senja, membuat gadis itu bisa menurunkan egonya serta amarahnya, walau kadang kala Satria juga menjadi bulan-bulanannya.
Senja terlalu mencintai Satria hingga takut kehilangan pria itu. Satria baginya adalah sosok pria yang sempurna yang selalu ada dikala dirinya sedih ataupun senang. Satria mampu memahaminya, mengerti dengan perasaannya dan mau mengikuti kemauannya, serta kadang kala Satria juga menjadi penasehat yang baik untuk Senja.
"Gue udah buat lima bab, tapi akhirnya aku hapus lagi. Aku nggak tahu harus gimana lagi, kenapa di detik-detik menegangkan seperti ini justru ide nggak muncul pikiranku? Aku bingung harus nulis apa," terang Senja.
"Ikutin aja apa maunya tuan Stanfield itu, kalau dia menginginkan cerita remeh-temeh gadis teraniaya, maka buat saja."
"Tapi aku nggak bisa, itu bukan tipe gue banget buat cerita kayak gitu, iyuhh, murahan!"umpatnya.
"Justru kalau kamu nggak mau membuat apa yang dia minta, dia akan menyuruh merevisi berkali-kali, lebih bagus lakukan aja seperti yang dia minta, walaupun mungkin itu akan anggap novel picisan yang mungkin tidak akan booming. Ikuti kemauan dia. Lakukan yang dia minta, yang penting duitnya gede, itu yang perlu menjadi bahan pertimbangan untukmu agar kamu semangat untuk mengerjakan novelmu," saran Satria.
"Nggak bisa, Sat. Aku nggak pernah teraniaya, jadi nggak tahu gimana rasanya dianiaya. Aku perlu satu sosok yang aku lihat merasa teraniaya dan tertekan agar ide-ide itu muncul," ujarnya.
"Ciptakan saja satu tokoh yang pernah kamu lihat dalam film yang pernah kamu tonton, lalu masukkan dia dalam imajinasi mu, kembangkan kehidupannya, bagaimana kalau dia berada dalam kisah novel," lanjut Satria.
Senja mencoba untuk memahami tujuan omongan Satria. Mungkin benar dia harus menurunkan sedikit egonya agar bisa menyelesaikan misi ini. Pandangannya dilayangkan ke sekeliling ruangan, dan seketika dalam diamnya satu ide muncul ketika matanya tidak sengaja menatap nampan yang tadi dibawa oleh Dinda.
Dinda adalah sosok yang cocok menjadi tokoh utama dalam novelnya. Bukankah selama ini Dinda teraniaya? pemikiran itu menjadi lebih menarik karena Senja akhirnya mendapatkan Ilham untuk menulis novelnya.
"Sepertinya aku mendapat ide," ucap Senja mengulum senyum di bibirnya, seolah ide-ide itu bermunculan hingga dia begitu semangat untuk memulai menulis naskah novelnya. Dia percaya kalau novel itu bisa diselesaikan sebelum akhir bulan ini.
"Mau ke mana?" tanya Satria saat melihat gadis itu beranjak dari duduknya. Dia takut kalau kekasihnya itu melakukan hal-hal gila karena begitu frustrasi dengan pekerjaan yang menuntutnya.
"Makan. Kata Dinda aku harus menjaga kesehatan dan harus punya tenaga untuk bisa menyelesaikan pekerjaan ini. Kau tahu kan banyak orang yang harus kuberi makan, banyak karyawan di rumah ini yang membutuhkan supply dana dariku," ucapnya sembari tertawa sarkas.
Satria yang punya predikat sebagai kekasih tapi diperlakukan tidak ayalnya seperti seorang pelayan dan kacung yang kapan pun Senja inginkan dia harus segera hadir. Dihina, dicaci, bahkan kadang diusir dari rumahnya.
***
Waktu berlalu, Senja seolah menemukan dunianya. Dia begitu antusias menulis cerita itu, merangkai setiap kata sehingga membentuk sebuah cerita jemarinya yang lentik dengan lincah menari-nari di atas keyboard laptopnya
Kepalanya penuh dengan ide, ketika buntu dia akan memanggil Dinda, menyuruh gadis itu untuk duduk di hadapannya dan membayangkan bagaimana kalau Dinda berada di dunia novel.
Dua minggu berlalu perjanjian untuk menyerahkan 30 bab pertama bahkan kini sudah rampung 45 bab. Dia sendiri merasa kaget bahwa dia mempunyai kemampuan luar biasa seperti itu.
"Dindaaaaa, lama banget sih lo! Buruan, kita terlambat nanti," pekik Senja yang berdiri dengan tidak sabar di depan pintu. Sudah lima menit dia menunggu Dinda, gadis itu belum juga keluar dari dapur.
Mereka akan berangkat menemui Edward untuk memberikan naskah 30 bab pertama, tapi ketika hendak berangkat, Senja malah meminta Dinda untuk membuatkannya lemon tea yang ingin dia minum di mobil.
Dinda berjalan buru-buru tanpa sengaja cake yang dia bawa untuk menemani lemon tea Senja nantinya, jatuh dan mendarat mulus di sepatu Senja.
Dinda menatap potongan kue itu dengan raut wajah ketakutan. Habislah dia saat ini!
"Dasar brengsek! nggak berguna banget sih, lo?!" maki Senja dengan penuh emosi. Sepatu itu adalah sepatu kesayangannya, sepatu yang paling disukai di antara semua koleksi sepatu mahal miliknya.
"Sorry, Ja, gue nggak sengaja, sumpah. Gue buru-buru, pas nutup wadahnya, cake nya malah jatuh. Gue minta maaf banget ya," jawab Dinda memohon. Dia segera berlalu ke meja mengambil beberapa helai tisu di tempatnya dan berniat untuk membersihkan sepatu Senja, tapi gadis itu mendorong kakinya ke belakang.
"Lo ambil pakai mulut lo, bersihkan pakai mulut lo!" ucapnya dengan nada tinggi.
Dinda yang mendengar menatap kaget ke arah Senja. Gadis itu memang sering melakukan hal-hal gila tapi dengan menyuruhnya membersihkan sepatu memakai mulutnya, tentu saja itu di luar nalar.
Dia terlalu tidak punya hati memerintahkan hal seperti itu kepada asistennya. Dinda bukan pelayan, dia asisten sekaligus manager Senja, seharusnya dia diperlakukan dengan baik.
"Ja...." ratap Dinda berharap gadis itu mau mengubah keputusannya. Juminten yang berdiri di tempatnya ikut merasa marah atas perlakuan Senja yang semena-mena kepada Dinda.
"Non Senja sungguh keterlaluan! kasihan non Dinda diperlakukan seperti itu, tidak punya hati!" umpatnya dibalik gorden.
"Lo lakukan sekarang juga atau lo gue pecat!" ancam Senja mengepal tinju. Kali ini dia benar-benar marah, dia menatap sepatu kesayangannya yang dianggap lebih berharga daripada harga diri Dinda.
Dinda tidak punya pilihan lain, dia putus asa. Tidak mungkin dia memilih untuk berhenti saat ini, dia memerlukan uang untuk keluarganya.
Dinda menunduk dan dengan mulutnya mengangkat kue itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Dengan tisu di tangannya Dinda membersihkan sepatu Senja, air mata yang menetes tepat mengenai sepatu itu.
Senja melihat hal itu semua, tapi moralnya tidak bergeming. Dia tidak merasa kasihan ataupun menyesal, justru puas telah menghukum Dinda.
Setelah sepatu itu bersih, dia beranjak dari sana dan masuk ke dalam mobil. Dinda tergopoh-gopoh mengikutinya dan duduk di samping Senja.
"Lo duduk di samping pak Naryo, gue ogah duduk di samping lo! gue lagi kesel sama lo tau, nggak?" makinya.
Dinda menurut, dia turun dari mobil, segera membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Hanya butuh 20 menit mereka tiba di lobi hotel tempat mereka janjian.
Tidak lama Eko muncul. Dia juga di-calling oleh Edward untuk membicarakan masalah naskahnya.
Senja yang sejak tadi mengamati hanya bisa mengurutkan kening, setidaknya naskah itu terdiri dari 100 lembar tapi Edward hanya memilih membaca lima lembar saja. Apa gunanya dia meminta 30 bab, kalau dia hanya membutuhkan lima lembar untuk membaca ceritanya?
"Cerita ini lumayan, walaupun tidak luar biasa, tapi bolehlah. Saya setuju dengan cerita ini," ucapnya melempar naskah itu ke depan Senja. "Tom segera kirim dana setengah dari perjanjian ke rekening gadis ini, begitupun kepada Eko agar dia bisa menyiapkan bahan produksi dan merekrut pemain," perintahnya kepada asistennya yang juga memiliki wajah dingin sepertinya.
Tanpa basa-basi Edward berdiri dari duduknya. Tidak mengucapkan salam perpisahan, pergi meninggalkan mereka bertiga yang di susul Tomi, asistennya.
"Gue bener-bener nggak ngerti lagi sama itu orang, pengen gue cekik tahu nggak!" umpatnya kesel. Amarahnya kali ini disalurkannya kepada Eko, dengan memaki pria itu tidak becus memilih sponsor.
"Jangan marah sama gue dong, Ja. Lo tahu kan, masa pandemi kayak sekarang ini susah untuk mencari donatur, ini aja syukur-syukur kita dapat, malah lebih dari ekspektasi kita. Lo sabar aja yang penting lo kerjakan apa yang dia mau," ujar Eko mencoba mendinginkan kepala Senja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Ayuk Vila Desi
ngomong orang sombong dan nyebelin... apa kabar dirinya yang lebih ngeselin dan gak punya hati
2022-12-14
1
🍊𝐂𝕦𝕞𝕚
kamu ngatain pria itu menyebalkan gak sadar diri sikap dan perilaku kamu juga sangat menyebalkan
2022-11-09
3