Ginger hanya berguling-guling di kasur saat sang ayah masuk ke kamarnya dan memergokinya tengah memainkan telepon genggam, tetapi tidak menulis seperti biasanya.
“Hey, mengapa anak Papa ini kelihatan gak bersemangat?” komentar sang ayah yang hanya dijawab dengan cengiran tanpa ekspresi oleh gadis itu. “Apa gak sebaiknya kamu tetap tinggal di sini saja, Gin? Daripada kamu buang-buang uang untuk bayar apartemen, belum lagi semua kebutuhan kamu. Menulis itu kan gak bisa diharapkan. Gak menjanjikan.”
Ginger bangkit dari posisinya kemudian menghadap sang ayah.
“Tapi aku suka nulis, Pa.” Ginger berusaha mengingatkan kembali betapa cintanya ia pada dunia itu.
“Papa tahu. Papa gak suruh kamu berhenti, hanya meminta untuk gak menjadikan nulis sebagai pekerjaan utama kamu, kan? Apalagi kalau sampai memutuskan untuk tinggal sendiri di sana. Kalau ada apa-apa, siapa yang nolongin kamu?”
Mamanya yang ternyata sudah menguping sejak tadi, akhirnya menyelonong.
“Nah, mama setuju, tuh. Kamu kalau di rumah, seenggaknya mama tahu apakah kamu sehat, atau gak. Mama jadi gak cemas,” timpal sang ibu.
Ginger tampak berpikir sejenak. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan pada kedua orang tuanya. Tidak mungkin ia bilang kalau dirinya sebenarnya tidak berani pulang karena ada idol vampir yang sedang mengejarnya.
Dan lagi, tidak menutup kemungkinan Joseph akan terus memburunya.
“Tapi mama penasaran, deh ... apa sih yang bikin kamu mendadak pulang ke sini? Dan betah pula. Biasanya dua hari udah gatel aja pengen balik ke apartemen. Apalagi waktu masih sama Ryan, tuh.”
Ginger menghela napas berat. Dadanya terasa sesak kalau mengingat bagaimana dirinya memergoki Ryan berselingkuh, lalu yang terjadi justru ia yang dicampakkan. Lalu kilas peristiwa lain, betapa ngerinya kejadian saat Joseph hendak menggigitnya.
Mana yang lebih mengerikan?
“Aku gak berani kembali ke apartemen, Ma,” jawab Ginger setelah sekian lama bungkam. “Ada orang gak beres yang sedang nguntit aku.”
Ginger tahu pasti bahwa itu adalah sebuah kebohongan, tetapi untuk saat ini, berbohong adalah hal yang lebih mudah ketimbang berkata jujur.
Mana ada yang percaya kalau ia bilang bahwa dirinya sedang menjadi sasaran seorang vampir?
Apalagi vampirnya seganteng Joseph, mapan, karir bagus, hmm ... apa lagi, ya? Intinya, tidak akan ada yang percaya, malah mungkin kedua orang tua Ginger akan menjodohkan lelaki itu dengannya.
“Orang gak beres bagaimana? Siapa orangnya? Tapi kamu gak apa-apa, kan?” tanya sang ayah, jelas tampak cemas.
Ginger tidak apa-apa, tetapi sepertinya tingkat kehaluannya sudah di atas rata-rata hingga melihat Joseph sebagai vampir, seperti yang ada dalam tulisannya.
“Ehm ... gak apa-apa kayaknya kalau aku nginep beberapa hari di rumah, nanti aku bakal balik ke apartemen kalau semua udah membaik.”
“Selamanya juga gak apa-apa, Gin. Coba kamu pikirkan lagi, Nak. Ini demi kamu. Setidaknya kalau kamu sudah dapat kerjaan, baru silakan kalau mau tinggal di mana aja.” Sang ibu tetap memaksa. “Lagian, mama mau kasih tahu kamu kalau ada lowongan di tempat yang cocok buat kamu, Gin. Siapa tahu kamu suka.”
“Di mana?” tanya Ginger, antusias.
“Di Reigner Enterprise. Perusahaan iklan dan buka bagian manajemen. Hanya saja, mama gak tahu posisi itu apa aja kerjanya. Kamu coba dulu, gih.”
Ginger berpikir sejenak. Kalau memang pekerjaan itu cocok dan mendukung untuk jadi pekerjaan utamanya, tak ada salahnya untuk dicoba. Terlebih manajemen sesuai dengan jurusan yang ia ambil saat kuliah dulu.
“Oke, aku akan coba ngajukan di sana.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ginger sudah menunggu hampir setengah jam, tetapi ia belum juga dipanggil. Beberapa kali seorang pegawai datang menghampiri Ginger dan memintanya untuk bersabar, karena interviu dan tes akan dilakukan secara bergantian. Dan Ginger akan dipanggil sesuai nomor urutan. Namun, sudah sekian lama belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan beruntung.
Tak lama kemudian, pegawai yang sama meminta Ginger untuk masuk ke ruangan. Ia menjalani tes dan wawancara dengan baik dan tinggal menunggu hasilnya.
Gadis itu menunggu dan memutuskan untuk menikmati makan siang di kafetaria kantor yang sata itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang melakukan hal yang sama dengan Ginger.
BRUK!
“Aw! Aduh ...,” rintih Ginger, yang berusaha untuk bangun, karena dirinya sekarang terjengkang di lantai dengan bajunya yang tersiram krim sup yang ia pesan. “Oh, tidak ... bajuku kotor, deh ... padahal tesnya mungkin belum selesai. Gimana ini ...?”
Ginger meratapi kondisinya yang berlumuran cairan yang meninggalkan noda dan aroma yang aneh di pakaiannya. Pegawai yang tadi bertabrakan dengannya, menghampiri dengan tisu basah yang ia dapatkan dari meja kantin.
“Maafkan saya. Saya yang gak lihat jalan. Kamu gak apa-apa?” tanya lelaki itu, membantu Ginger berdiri, lalu menggiringnya ke meja yang kosong. “Ini, buat bersihkan pakaian kamu. Saya benar-benar minta maaf.”
“Lain kali kalau jalan perhatikan, donk! Aku masih ada tes kerja setelah ini. Bagaimana bisa keterima kalau penampilan udah acak-acakan kayak gini?” keluh Gin, sembari membersihkan kemejanya.
“Kamu calon pegawai baru, ya? Nama kamu siapa? Nama saya David.” Lelaki itu mengulurkan tangan, berniat untuk beramah-tamah pada Ginger yang sedang dalam mode kesal.
Ginger tidak menyambut tangan kokoh David, karena ia harus membersihkan pakaiannya sebelum waktunya kembali ke ruang tes tiba.
“Namaku Ginger. Makasih tisunya, aku kembali ke ruangan dulu.”
Ginger bangkit dari duduknya, dan bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Ia tidak punya urusan dengan siapa pun kecuali pegawai yang memberikan serangkaian tes padanya hari ini. Ia tidak boleh terlambat atau setidaknya ia harus datang untuk menjelaskan bahwa dirinya baru saja mengalami kecelakaan kecil.
Ginger duduk di bangku yang ada di luar ruangan tes. Hanya ada beberapa yang tersisa, dan ia adalah salah satunya.
Tak berapa lama salah satu pegawai keluar dari ruangan, kemudian mengabarkan padanya untuk melakukan satu kali tes lagi. Tak masalah, batin Ginger. Yang terpenting ia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliahnya dulu.
“Ginger Aquinto, silakan masuk.”
Ginger bergegas bangkit, kemudian melangkah menuju ke ruangan. Namun, tatapannya tertuju pada pakaian yang dikenakan Ginger.
“Oh, maaf, ini ... tadi ada sedikit kecelakaan dan saya gak sempat kalau harus pulang dulu.”
“Gak masalah, Nona Ginger. Silakan masuk.”
Di dalam Ginger bertemu dengan beberapa pelamar yang juga masih mengerjakan tes yang diberikan. Sementara Ginger melakukan tes wawancara lagi. Namun, di hadapan penguji, bukan rencana tes atau pertanyaan yang diberikan. Pegawai itu justru mengucapkan selamat padanya.
“Selamat, Nona Ginger. Anda lolos dan diterima bekerja di perusahaan ini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments