Rumah Ujung Jalan Buntu

“Jangan bercanda, Gabby! Bagaimana mungkin kamu menyimpulkan demikian? Jelas-jelas aku terkenal sebagai vampir sedingin bongkahan es pegunungan Everest. Gak ada ceritanya seorang Joseph Kim lantas jatuh cinta. Apalagi dengan manusia biasa!” elak Joseph, tak terima.

“Ya, terserah kalau kamu gak percaya. Kamu boleh abaikan omonganku. Tapi, kalau ternyata kamu masih merasakan itu dalam waktu satu minggu bahkan satu bulan, kamu tahu, kan harus pergi ke mana?” tanya Gabriella, melipat lengan di depan dadanya.

“Ke mana? Ke kamu?”

“Ya enggak, lah! Pastinya kamu harus pergi ke gadis itu, Jo! Cuma dia yang bisa sembuhkan penyakitmu. Buktikan deh, kata-kataku.”

Joseph terdiam sejenak, memikirkan perkataan Gabriella yang bisa saja benar. Sekeras apa pun ia berusaha menolak, tetapi ... egonya tetap tidak terima! Sekuat tenaga ia menyanggah.

Joseph Kim kembali mencari keberadaan Ginger, terlebih setelah mendapat jawaban dari Gabriella bahwa dirinya jatuh cinta pada Ginger. Ia bukan sekadar ingin memastikan, tetapi juga membuktikan bahwa apa yang dikatakan Gabriella itu tidak benar.

Ia merasa tidak terima mendapat julukan sebagai vampir yang jatuh cinta, vampir yang kebaperan, atau julukan-julukan lain yang membuat wibawanya sebagai seorang vampir menjadi luntur.

Apalagi dirinya adalah vampir yang terkenal susah untuk dekat dengan perempuan mana pun. Seperti tidak ada ketertarikan untuk itu. Dan semua berubah sejak ia bertemu Ginger.

Sayangnya, perempuan itu yang justru menghindarinya.

Mungkin benar apa kata Alana, bahwa Ginger ketakutan sehingga menjauh darinya. Dan kalau sudah begini, apa yang harus ia lakukan? Ia vampir, bukan cenayang. Itu sebabnya jika Ginger sudah menghindar seperti ini, tetap saja membutuhkan usaha lebih untuk bisa menemukan gadis itu.

“Bagaimana? Ketemu gak?” tanya Alana, saat melihat Joseph datang dengan muka kusut. “Jangan cemberut gitu, kamu jadi serem!”

“Jangan mengolok-olokku. Kamu pasti akan melakukan hal yang sama kalau jadi aku.” Joseph kemudian menggeleng. “Gak ketemu. Gak tahu harus cari dia di mana lagi.”

Alana sesungguhnya ikut prihatin, tetapi ia sendiri juga belum pernah merasakan seperti apa jatuh cinta itu.

“Sudah tanya tetangganya? Siapa tahu mereka ngerti.”

Joseph hanya mengedikkan bahu.

“Mereka bilang mungkin saja Ginger ke rumah orang tuanya. Tapi mereka gak tahu pasti di mana alamat rumah orang tua gadis itu. Mereka hanya menyebut daerahnya saja. Eastonville.” Joseph kemudian menoleh pada Alana. “Al, kamu pernah jatuh cinta?”

Gadis itu mengedikkan bahu.

“Mungkin pernah, dulu waktu masih jadi manusia. Kalau sekarang, belum ada yang bisa menarik perhatianku, seganteng apa pun. Kenapa?”

Joseph tidak langsung menjawab pertanyaan Alana. Otaknya sedang berusaha menerjemahkan perasaan yang hadir baru beberapa lama, dan bisa dikatakan sebentar. Masak iya, bisa disebut cinta?

Ia tahu betul seperti apa dirinya. Selama ini bahkan tidak tertarik meski ada puluhan perempuan berbikini menari-nari di hadapannya.

Sampai-sampai banyak yang mengira dia menyukai sesama jenis.

“Gabriella sepertinya agak ngaco! Dasar dokter gak waras!” omel Joseph.

Alana mengerutkan kening saat mendengar gerutuan atasannya.

“Memangnya dia bilang apa?” Gadis itu memicingkan mata.

“Masak katanya aku sedang jatuh cinta! Mana mungkin! Ginger itu ....” Joseph tak tahu mengapa ia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Hanya satu kata tetapi sulit untuk mengucapkannya dalam bahasa dan ungkapan yang benar.

“Ginger itu kenapa?” tanya Alana, tak tahan karena Joseph tak juga memberikan jawaban yang jelas mengenai perasaannya.

“Ah, sudahlah! Yang pasti bukan itu yang mau aku omongin sama kamu, sekarang.”

“Lantas?”

“Aku mau kamu antar aku untuk mencari alamat rumah kedua orang tua Ginger di daerah Eastonville.” Joseph bangkit dan mengambil jasnya, lalu bersiap, sementara Alana hanya menelengkan kepala dan menggaruk pelipisnya.

“Ehm ... jujur saja, Jo. Aku gak tahu Eastonville itu di daerah mana. Apa kita naik taksi saja?”

“Terserah kamu, pokoknya kita berangkat sekarang!” tegas Joseph sembari melenggang.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Aku sudah bertanya ke sana kemari, Jo. Mereka gak ada yang tahu Ginger itu siapa? Kamu tahu nama lengkapnya gak?” tanya Alana yang terengah karena berjalan dan bertanya ke sana kemari. “Aku capek, Jo. Kamu kasihan sedikit, donk, sama aku.”

“Iya, aku kasihan. Makanya aku suruh kamu cari. Nanti aku bakal tambahi bonus kamu kalau sampai ketemu.”

Mendengar iming-iming uang yang ditawarkan Joseph membuat mata Alana menghijau. Ia kemudian bangkit dan menegakkan tubuhnya kembali, lalu bergegas pergi sementara Joseph menunggu di dalam mobil.

Mereka sudah tersasar beberapa kali, karena Joseph nekat mengendarai mobil sendiri. Padahal Alana sudah mengatakan alasan masuk akal mengapa mereka sebaiknya naik taksi saja.

“Jo, kamu benar-benar gak tahu nama belakang Ginger? Ginger siapa? Ginger blabla atau Ginger Kim ....” Alana berniat menggoda bosnya yang tampak murung itu. Ia nyengir kala menyebut nama Ginger dengan menyematkan nama belakang Joseph.

“Al, jangan bercanda! Cepat cari dulu, ini sudah malam!” titah Joseph, yang wajahnya tampak bersemu merah. Dan kalimat itu hanya dijawab dengan gerutuan oleh Alana.

“Aku capek, Jo. Bagaimana kalau kita lanjutkan pencariannya besok?”tanya Alana, sembari menguap.

“Hey, kamu itu vampir. Mana ada vampir yang ngantuk? Ayo lanjutkan pencariannya!”

Alana tak bisa membujuk Joseph kalau sudah berkeinginan keras seperti ini. Hanya satu hal yang bisa ia lakukan.

“Jo! I–itu ... itu Ginger, kan?” tunjuk Alana pada seorang gadis yang tengah mengendarai sepedanya di malam hari. Gadis itu tampak menuju ke suatu tempat.

“Yang benar?”

“Iya, itu, kamu lihat juga, gak? Ayo ikuti dia!”

Alana bergegas masuk ke mobil dan membiarkan Joseph mengemudikannya meski ia harus berpegangan erat karena lelaki itu mengemudikannya dengan ugal-ugalan.

“Jo, kamu gak langsung cling aja biar bisa kejar dia? Nanti keburu hilang!” ujar Alana menyampaikan ide cemerlang, sekaligus berniat menyelamatkan nyawanya. Tidak lucu kalau dirinya mati untuk ke sekian kalinya malam ini, bukan?

“Kata kamu gak boleh nakut-nakutin manusia. Lagi pula, bisa-bisa dia nabrak kalau lihat aku main cling aja!”

Buntu!

Iya, jalan yang mereka lalui adalah jalan buntu yang tidak mereka temukan juga keberadaan gadis yang tadi mereka lihat.

Alana tidak mungkin salah lihat, begitu juga Joseph.

“Kalau itu tadi bukan Ginger, terus siapa, Jo?” tanya Alana, gugup sekaligus takut.

“Ck! Apa sih, Al. Jangan bilang kalau kamu takut setan! Kita ini setan juga, masak kamu takut sama yang sebangsa?” protes Joseph.

Alana melirik Joseph dengan tatapan tidak terima, lalu ia lemparkan ke arah rumah yang ada di ujung jalan itu.

Hanya jalan buntu yang ada di sana.

Mereka tidak tahu, apakah pencarian ini nantinya berujung dengan bertemunya alamat yang mereka cari, atau justru hanya jadi usaha yang sia-sia.

“Jadi bagaimana?” tanya Joseph, lagi.

“Ya kamu keluar terus tanya sama pemilik rumah itu, apakah mereka punya anak yang namanya Ginger atau gak.”

Joseph kemudian mendorong Alana keluar dari mobil dan memberi isyarat agar dia yang bertanya pada pemilik rumah ujung jalan. Alana hanya menggerutu sembari melaksanakan perintah Joseph.

Ia mengetuk pintu beberapa kali sampai pemiliknya keluar dan menyambutnya.

“Mau cari siapa?” tanya si tuan rumah.

“Ginger?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!