Shaka menggelengkan kepala sambil terus menarik napas panjang. Tidak habis pikir kenapa Ziva bisa berubah pikiran. Padahal, satu bulan lalu gadis itu tampak bahagia kala mereka sedang berdiskusi mengenai dekorasi pernikahan serta gaun pengantin yang akan dikenakan saat akad nikah dan acara resepsi. Namun, kenapa kini gadis itu malah menyudutkannya seolah pernikahan ini terjadi hanya dari sebelah pihak saja.
"Jadi menurutmu, karir lebih penting daripada pernikahan kita, begitu?" tanya Shaka sesaat setelah emosi pria itu mulai mereda.
Dengan cepat Ziva menganggukan kepala. "Tentu saja! Berkarir di dunia modeling merupakan impianku sejak kecil. Sudah banyak pengorbanan yang kulakukan untuk bisa berada di titik sekarang ini. Jadi, saat ada kesempatan menjadi model salah satu produk kecantikan terkenal di Asia, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tak mungkin datang dua kali. Oleh karena itu, aku mau pernikahan kita ditunda sampai dua hingga tiga tahun ke depan," sahut Ziva mantap.
"Tapi aku tidak bisa melakukan itu semua, Ziva! Pernikahan kita tetap digelar sesuai tanggal yang telah disepakati bersama," tegas Shaka.
Dalam kasus ini, dia tidak mau mengabulkan begitu saja keinginan Ziva yang terkesan konyol. Menurut pria itu akan banyak yang dirugikan bila pernikahan ditunda terlebih para kerabat, sanak saudara dari pihak Rini dan Rio telah memesan tiket serta penginapan demi menghadiri moment sakral Shaka dan sang kekasih. Bila itu ditunda, dia khawatir nama baik kedua orang tuanya jelek di mata mereka.
Ziva melepaskan tangan yang dilipat di depan dada. Sebelah kaki kanan yang disilangkan ke kaki sebelah kiri kini menapak di atas lantai hingga suara nyaring high heels menggema akibat diturunkan secara kasar. "Loh, tidak bisa begitu dong! Tanggal pernikahan kita bersamaan dengan tanggal di mana aku harus pergi ke Singapura, Ka! Kalau aku memilih menikah denganmu maka impianku sirna begitu saja."
"Biarkan saja! Itu lebih baik daripada pernikahan kita ditunda!" sergah Shaka cepat. Pria tampan berhidung mancung menatap lekat iris coklat Ziva. "Sayang, aku masih sanggup membiayai kebutuhan sehari-harimu. Memberikan nafkah untuk membeli pakaian, produk kecantikan serta berlibur ke mana pun kamu inginkan, aku sanggup. Meskipun kamu tidak bekerja, kita tak akan hidup susah. Percayalah kepadaku. Jadi, please, jangan pergi!" Telapak tangan pengacara muda menyentuh punggung tangan Ziva kemudian mengusapnya dengan lembut. Berharap gadis itu luluh dan lebih memilih berada di sisinya.
"Tidak mau! Pokoknya, aku akan pergi ada atau tanpa izin darimu, Shaka! Lagipula, kamu itu cuma tunanganku bukan Ayah apalagi suamiku. Mengerti!" sembur Ziva sembari menepis tangan Shaka dengan kasar hingga membuat sang pengacara terlonjak kaget.
Wajah Shaka memerah, kedua tangannya mengepal erat. Rahang pria itu gemetar, menahan emosi bercampur kekecewaan. Ziva lebih mementingkan karir daripada pernikahan mereka sedangkan pernikahan tersebut sudah direncanakan sejak satu bulan lalu. Semua keperluan telah disiapkan. Tetapi kenapa Ziva tega menukar itu semua demi sesuatu yang bersifat sementara? Apakah Shaka tak mempunyai arti apa-apa di hati Ziva?
Lantas, Shaka bangkit dari tempat duduknya saat ini. Kedua tangan masih mengepal hingga memperlihatkan buku kuku. "Kalau kamu bersikeras ingin pergi ke Singapura, silakan. Namun, jangan harap aku akan menerimamu lagi saat dirimu kembali ke Indonesia! Sekalipun kamu bersujud, memohon di bawah kakiku, aku tidak akan pernah menerimamu lagi. Camkan itu!" ucapnya tegas.
Tidak mau terlalu lama berada di tempat yang sama dengan Ziva, Shaka akhirnya memutuskan pergi dari café tersebut. Anak bungsu dari pasangan psikater dan pengacara kondang di tanah air lebih memilih meninggalkan sang kekasih karena khawatir akan kehilangan kendali bila tetap di dekat gadis itu.
"Shaka, berhenti!" Ziva berlari menyusul Shaka. Akan tetapi, pria itu terus melangkah seolah tak mendengar seruan dari sang kekasih. Model cantik itu terus mengayunkan kaki hingga dia berhasil menangkap lengan calon suaminya. "Percakapan kita belum selesai, tapi kenapa kamu pergi begitu saja?"
"Percakapan kita sudah selesai, Ziva. Tak ada lagi yang perlu dibahas." Shaka melepaskan jemari tangan kekasih tercinta yang melingkar di lengan. "Aku memberimu kesempatan untuk berpikir dengan jernih. Jadi, gunakanlah kesempatan itu sebaik mungkin. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari."
Ziva memandangi punggung Shaka yang mulai menghilang dari pandangan. Sorot mata gadis itu menunjukan betapa kesalnya dia karena sikap sang kekasih yang tak pernah mau mengerti dirinya. Namun, kenyataannya selama ini Shaka selalu mengalah dan menuruti semua keinginan Ziva tetapi gadis itu sama sekali tak mengingatnya.
"Dasar egois! Menyebalkan! Bisa-bisanya dia mengancamku!" gerutu Ziva. Sebelah kaki dia hentakkan di atas lantai dengan kedua tangan mengepal sempurna.
Sementara itu, Shaka melangkah menuju parkiran khusus bagi pengunjung café. Membanting pintu mobil dengan kencang hingga terdengar bunyi dentuman yang sangat kencang.
"Berengsek! Kenapa masalah ini harus terjadi di saat tanggal pernikahanku hanya tinggal hitungan hari? Bagaimana kalau Ziva nekad pergi meski aku sudah melarangnya? Argh, sial! Benar-benar sial!" Shaka mengacak-acak rambutnya yang tertata rapi. Sungguh, pikiran pria itu kalut hingga tak dapat berpikir jernih. "Sebaiknya aku pulang saja ke rumah. Mood-ku hancur akibat pertengkaran tadi." Lantas, dia segera menyalakan mesin kendaraan menuju rumah yang ditinggalinya bersama Rini dan Rio selama dua puluh empat tahun lamanya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Juan Sastra
tadinya ku pikir ziva sama zahira sahabatan, rupanya shaka sama zahira
2024-01-14
0
Andi Fitri
ziva egois ntar shaka nikah sm wanita lain baru nyesel trus muncul jdi pelakor..🤦
2023-09-27
4
Rini Musrini
awas kamu akan menyesal ziva klo meninggalkan shaka .
2023-02-04
0