KAISAR : The Untold Story
Emerald City, Ruby Country,
Oktober 20xx
Masa Sekarang,
Di suatu tempat di dunia ini, negara 4 musim yang indah, kita samarkan saja namanya menjadi Emerald City.
Konon di negara bernaung inilah berbagai ilmu sihir dengan kekuatan magis tingkat tinggi merebak di akhir abad ke 14 sebelum semua dimusnahkan, di luluhlantakkan dan dilarang di abad 17.
Saat ini, di tahun 2000an ini, Emerald City merupakan kota modern dengan nilai tukar paling tinggi, dan fashion Icon yang menjadi rujukan negara-negara lain di dunia. Desainer terkenal seperti Chanel, Christian Dior, Vivienne Westwood, dan lainnya menampilkan desain terbaru mereka di atas panggung.
Lampu berwarna-warni berjejer menghiasi jalanan, aroma sari apel memenuhi udara, serta berbagai macam pedagang keluar untuk menjual makanan dan hadiah yang unik, juga ada Perlombaan menunggang kuda yang kompetitif yang menjadi warisan sejarah di banyak daerah di Emerald City.
Di kota ini, orang dapat bersenang-senang sepanjang tahun, baik untuk menelusuri jalanan kota atau menjelajahi alam.
Di sudut kota nan indah itu, di salah satu gedung bergaya Haussman, terdapat sebuah kantor Psikiater.
Seorang wanita muda berambut coklat. Wajahnya cantik bermata coklat besar, tampak merapatkan coatnya sambil memasuki kantor psikiater tersebut.
Ruang konsultasi di sana cozy bergaya homey. Membuat semua yang masuk ke sana merasa nyaman dan tenang.
Nama wanita muda itu Adinda Xavier, 23 tahun. Anak satu-satunya Ketua Mafia Velladurai. Organisasi terkenal di kawasan itu.
"Hai, silahkan duduk," sambut Psikiater, Bu Rebecca. Ia mempersilahkan Adinda untuk duduk di depannya saat wanita itu memasuki ruangan konsultasinya.
Adinda duduk dengan elegannya, ia menyilangkan kakinya dan bersandar dengan santai.
Setidaknya gadis itu berusaha bersantai.
Namun sebagai seorang psikiater, Bu Rebecca tahu persis kalau mata adalah jendela hati.
Tatapan Adinda padanya gusar dan kebingungan. Seakan ia sedang meminta pertolongan. Tampak terlihat kalau gadis itu tidak bisa lepas dari keadaan meresahkan yang sedang dialaminya.
"Adinda, ada yang mau kamu sampaikan kepada saya?" tanya Bu Rebecca.
“Saya mencintai se...” Adinda berpikir sejenak, “-Seseorang yang Papa saya tidak setujui,” kata Adinda akhirnya.
"Siapa namanya?" tanya Bu Rebecca.
"Namanya Kai. Saya memanggilnya Kai,"
Adinda pun menarik napas dengan sedikit getar. "Saya tahu hubungan ini sudah tidak baik, tapi saya tidak bisa lepas darinya. Dia selalu membayang-bayangi saya," cetus Adinda.
“Maksud kamu?” Bu Rebecca bertanya lagi.
"Masalahnya..." Adinda tampak menggigit bibirnya, "Dia menghilang. Saya tidak tahu dia masih hidup atau sudah mat... meninggal. Tapi, ibu tahu sendiri anak siapa saya ini, jadi kemungkinan dia sudah meninggal sangat besar,"
"Apa yang terakhir Kai katakan kepadamu?"
"Jangan berusaha mencariku, tempatku bukan di duniamu. Percayalah, kamu satu-satunya yang kucintai sampai akhir hayatku,"
Dan mereka berdua terdiam.
Keheningan mewarnai ruangan itu selama beberapa saat, hanya ada suara detik jam dinding yang sayu terdengar.
"Adinda, saya bukan polisi. Kalau kamu mau melaporkan orang hilang, bukan ke sini seharusnya,"
"Saya diminta membuat janji dengan Anda, Bu Rebecca. Kata Papa, pikiran saya terganggu sejak Kai meenghilang,"
Bu Rebecca menghela napas, Ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sesi konsultasinya dengan si Tuan Putri Velladurai di depannya ini. "Keluarga kamu ada yang tahu mengenai hubungan ini?"
"Banyak, makanya Papa mengurusnya,"
"Mengurusnya?" ulang Bu Rebecca. Melihat latar belakang keluarga Adinda, sudah pasti yang dimaksud dengan ‘mengurus’ di sini adalah memburu atau menghabisinya. Begitu pikir Bu Rebecca.
"Ya, dan Kai melawan," lirih Adinda.
"Itu terakhir kali kamu melihatnya?"
"Ya,"
"Bagaimana asal-usul Kai? Kamu tahu sesuatu?"
"Tahu, dan beberapa orang juga tahu. Makanya mereka berusaha menyingkirkan Kai. Mereka bilang dia berbahaya,"
"Jadi bagaimana?"
"Apakah..." Adinda memijat dahinya, "Apakah kalau saya ceritakan, Bu Rebecca akan percaya?"
"Saya akan coba percaya,"
"Hm," lebih seperti ungkapan dengusan meremehkan dibanding gumaman kebingungan.
"Coba saja dulu jelaskan," kata Bu Rebecca.
"Kai bukan manusia,"
"Ini... Secara harafiah atau metafora?" Bu Rebecca bertanya begitu karena tahu pekerjaan orang tua Adinda. Mereka sering memakai ungkapan dan kode saat menjelaskan suatu pekerjaan.
"Secara harafiah,"
"Apakah kamu merasa kalau Kai ini realita?"
"Tadinya saya pikir saya hanya berhalusinasi, tapi ternyata bukan hanya saya yang melihatnya," jelas Adinda.
"Makanya dia disingkirkan, begitu tadi kamu bilang,"
"Betul,"
"Jadi... Silahkan bercerita dari awal," desis Bu Rebecca dengan senyum ramahnya yang terkesan dipaksakan.
Tapi Adinda tidak peduli. Dia butuh berbicara dengan seseorang.
Dan seorang psikiater yang menjaga kerahasiaan pasiennya adalah langkah yang tepat menurutnya.
Adinda menarik napas panjang lalu menghembuskannya, "Kaisar datang sebagai hadiah ulang tahun saya yang ke 21 tahun. Harimau dengan ras special, katanya hasil kawin silang antara Harimau Sumatra dengan Macan Kumbang,"
*
*
Dua tahun yang lalu,
Kastil Keluarga Velladurai,
Bukit Green Emerald,
“Selamat Ulang Tahun, Sayang,” Xavier Velladurai mengecup dahi anak semata wayangnya, Adinda, dengan rasa sayang yang sepenuh hati. “Berkah terbesar Papa yang diberikan oleh Mama kamu,” kata-kata yang sama selalu diucapkan Papanya setiap tahun.
Seakan mengingatkan Adinda kalau Papanya sangat mencintai Mama, dan ajakan supaya Adinda tidak boleh melupakan sosok Mama, Kirana.
Adinda dibesarkan oleh Papanya. Mamanya telah tiada akibat...
Bisa dibilang meninggalnya Sang Mama berhubungan dengan pekerjaan Papanya saat ini.
Bahkan saat sebelum melahirkan Adinda pun Mama sudah mengetahui kalau pekerjaan yang dilakoni Papa tidaklah familiar dengan ‘kenyamanan’. Pemasok senjata ilegal dan Batu Mulia, seringkali mereka membuat racikan minuman keras dan bahkan Methamphetamine dan amfetamin , mereka juga memiliki ladang Bunga Opium Poppy yang digunakan untuk biang her0in walaupun mereka memang memiliki lisensi untuk menggunakannya secara medis.
Hal seperti itu sudah pasti memiliki banyak musuh dan saingan bisnis, seringkali bahkan mematikan sisi kemanusiaan pelaku yang terlibat.
"Papa berikan yang sudah dijanjikan, hewan eksotis," kata Xavier sambil merangkul bahu Adinda.
"Papa yang berjanji sendiri. Aku sih nggak berharap ya Pah, aku lebih suka hadiah yang lebih sederhana," kata Adinda.
"Jangan begitu, dong. Ini mahal sekali loh! Papa beli dari Brazil,"
"Justru itu, seharusnya tidak usah dibeli. Kembalikan saja bagaimana?"
Adinda mengatakan seperti itu karena ia yakin sekali kalau tadinya hewan -entahlah apa itu- eksotis yang diceritakan Papanya bukanlah untuk diberikan padanya tapi hanya untuk menjadi barang koleksi untuk kebun binatang mininya. Tapi Papanya memang memiliki aturan pribadi untuk harus memiliki alasan untuk setiap objek yang ia ingin beli.
"Terlalu berharga untuk dikembalikan," tukas Xavier. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum licik khasnya, dengan cerutu di sudut satunya.
"Aku nggak mau rawat ya, yang terjadi dengan hewan ini bukan tanggung jawabku," seloroh Adinda.
"Dari sekian banyak hewan di kebun binatang Papa, mana yang benar-benar kamu rawat?!" cela Xavier
"Tidak ada. Dan tidak tertarik," cibir Adinda.
"Yang ini kamu akan tertarik. Gantinya Abigail," Abigail adalah kucing persia kesayangan Adinda. Ia meninggal karena penyakit tua, usianya sekitar 15 tahun usia manusia.
"Yang sudah meninggal tidak akan bisa terganti," lirih Adinda, "Papa paling tahu yang itu,"
Adinda ingin mengingatkan Xavier mengenai Sang Mama, Kirana, seorang wanita dari Indonesia, yang kini sudah meninggal.
Sampai sekarang Xavier belum menikah lagi karena belum ada yang dapat mengisi relung hatinya seperti Kirana.
"Paling tidak ini bisa menjadi penghibur hatimu," tukas Xavier sambil berusaha mengalihkan kesedihannya. "Binatang ini hebat sekali dan menakjudkan, lambang sebuah kekuatan!"
"Kita sudah punya Cheetah," seloroh Adinda.
"Ini jauh lebih baik dari Cheetah," kilah Xavier.
"Kita sudah punya Puma, yang kini entahlah sudah beranak pinak berapa generasi," gerutu Adinda. "Bahkan aku tidak pernah mengunjungi kandangnya karena jauh di ujung sana,"
"Ini ras special! Kawin silang antara Harimau Sumatra dan Macan Kumbang!" sahut Xavier tetap berusaha meyakinkan Adinda.
"Hah?" Adinda menatap papanya sambil memicingkan matanya. Ia tidak percaya. Selama ini Xavier memang selalu melebih-lebihkan.
"Jangan suka beli-beli hewan eksotis, Papa. Kalau suatu saat mereka punah, itu salah kita. Kita menanggung dosa dari beberapa keturunan mereka yang tidak jadi dilahirkan karena kelalaian kita," cibir Adinda.
"Ya kalau mereka punah itu takdir namanya, kan Tuhan memusnahkan sesuatu pasti ada tujuannya," seloroh Xavier.
Adinda diam dan mencibir sambil menipiskan bibirnya tanda gemasnya ia dengan tingkah laku Papanya yang ia anggap kekanak-kanakan.
"Kalau manusia punah, Papa nggak bakalan ngomong begitu," gerutu Adinda.
"Ya tapi kan manusia tidak punah. Sepertinya setiap tahun Papa bunuh ratusan, tetap saja jumlah mereka banyak," cerocos Xavier.
"Manusia bukan tikus dan ucapan Papa barusan benar-benar jahat," sindir Adinda.
"Ya memang Papa penjahat," ujar Xavier sambil menyeringai dengan lebar
"Boss," Valent, salah satu anak buah Xavier, datang gaya -seperti biasa- mempesonanya. Tidak seperti Xavier dan kebanyakan anak buahnya yang setiap hari dengan suit rapi, kemeja bersih dan dasi ala CEO Boss, Valent biasanya datang hanya dengan jeans dan Kaos oblong. Kadang dia berpenampilan rapi kalau sedang mengurusi meeting atau kontrak kerja.
Terlihat di tangan Valent rangkaian grafir yang memukau. Bisa jadi di bagian tubuh Valent yang tertutup kaos juga masih banyak lagi tattoo indah yang unik.
"Valentino! Kau coba bilang ke si Adinda ini kalau hewan yang baru datang kali ini benar-benar magnifique!!" Xavier menyambut Valent dengan suara menggelegar.
Valent menatap Adinda lekat-lekat. Ia perhatikan wanita itu dari atas ke bawah. Lalu tersenyum penuh simpatik, "Kamu cantik, Honey. Selamat ulang tahun yang ke 21 ya," lirihnya.
Entah kenapa pipi Adinda langsung merah.
Valent begitu tampan dengan rambut coklat dan mata hijaunya. Kulitnya kecoklatan terbakar matahari, dengan rahang tegas yang ingin sekali Adinda belai.
"Dasar anak suka main..." gumam Adinda.
"Anak suka main? Itu maksudnya playboy bukan?" tanya Valent sambil terkikik.
"Ya tuh tahu,"
"Kalau begitu," Valent memiringkan kepalanya sambil menatap dada Adinda yang membumbung, "Mungkin kita bisa 'main' kapan-kapan. Kan kamu sudah 21, sudah legal dong kalau-"
"Jangan seenaknya," geram Adinda sambil menatap Valent dengan tajam.
"Hei, awas kau sentuh dia," tambah Xavier waspada.
"Jadi bagaimana caranya aku bisa sentuh dia?" Valent malah balik bertanya seakan menantang Xavier.
"Ya kamu tahu caranya,"
"Dilegalkan saja sekarang bagaimana? Kita kan punya capel dan Pendeta sendiri,"
"Aku pergi yaaaa, mau makan cake," Adinda balik badan seakan tak peduli.
"Jangan dulu dong Dinda Sayaaaaang, ayo dong kita lihat hadiah kamu," Xavier menangkap lengan Adinda dan menarik gadis itu kembali ke pelukannya. "Bantu aku meyakinkannya dong!" pinta Xavier ke Valent sambil berbisik gemas.
Valent hanya terkekeh geli. Sama seperti Adinda, dia pun sebenarnya tidak terlalu antusias dengan hewan yang dibeli Xavier walaupun harganya kali ini mencapai 1 triliun. Harga fantastis yang tidak masuk akal, dan itu belum termasuk pajak ini itu dan sogokan ke petugas bea cukai.
Tapi Valent sendiri pun hanya mengurus dokumennya saja tanpa benar-benar memperhatikan bagaimana wujud hewan eksotis yang datang kali ini.
"Adinda, ini dariku," Valent memberikan kotak kecil ke Adinda.
Adinda membukanya. Lalu membulatkan matanya dengan takjub.
Rangkaian gelang berlian, dengan batu Emerald dan Safir yang memukau!
"Suka?" tanya Valent.
"Eum..." Adinda bahkan kehabisan kata-kata. Menurutnya gelang itu cantik sekali.
"Hadiah dari Papa kamu jauh lebih indah dibanding ini," tukas Valent.
Adinda kini tergoda. Ia mengangkat alisnya sambil bilang "Serius?!"
"Hebat sekali lidahmu," cibir Xavier ke Valent sambil berbisik.
"Awas kalau satu triliunmu terbuang percuma," balas Valent, "Kuhentikan pasokan cerutumu untuk menggantinya,"
"Perbuatanmu jauh lebih buruk dibanding algojo kita," tukas Xavier dengan sebal.
"Harga hewan ini bisa membeli 3 unit tank agar Pemerintah semakin respek dengan organisasi kita, kau malah habiskan untuk seekor harimau," lontar Valent.
"Ini bukan harimau biasa, dia lebih kuat dari tank. Kau sudah lihat belum?!"
"Belum,"
"Ck!"
"Tapi apa gunanya seekor Harimau di medan perang?" tukas Valent.
"Gunanya untuk membuat Adinda semakin sayang padaku," balas Xavier.
"Tanpa itu juga Adinda sudah sangat sayang padamu, Tuan Besar Velladurai,"
"Kapan kita lihat? Aku capek berdiri terus," sahut Adinda tak sabar.
"Mari sayang, kita ke taman barat," Xavier langsung menggiring putri semata wayangnya itu ke sebuah mobil golf tenaga listrik yang terparkir di bawah tangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Dyaululfa
😍
2024-03-17
0
Tyaga
wah bahasa baru nih
2023-01-26
0
nacl
izin nginep ya madam 😁
2023-01-09
1