Sus Sekar

Gerimis tiba-tiba saja turun ketika Sekar baru saja hampir sampai di depan mulut gang sempit tempat dia tinggal selama ini. Sebetulnya, dia punya sanak saudara, adik ibunya yang juga punya anak seusia dia. Cuma hubungan Sekar dan tantenya tidak baik. Setelah ibu dan ayahnya meninggal, kata tantenya, rumah yang selama ini ditempati Sekar dan orangtuanya sudah diwariskan kepada mereka dan itu memang dibuktikan dengan surat kepemilikan atas nama tantenya itu.

Memang, rumah itu adalah peninggalan kakek nenek Sekar, jadi Sekar sendiri tak mau ngotot mempertahankan rumah itu. Tantenya pun tetap memperbolehkan dia untuk tetap tinggal di sana, hanya saja, dia jadi tak nyaman karena tantenya seperti sedang menjadikannya pembantu daripada keponakan sendiri.

"Sekar, masih mau perpanjang kontrakan gak?"

Sekar yang baru saja membuka pintu kontrakannya terkejut ketika suara ibu pemilik kontrakan itu terdengar di belakang tubuhnya yang sudah kebasahan.

"Enggak, Bu. Udah dapat kerjaan."

"Loh, emang langsung ada tempat tinggalnya?"

"Iya, Bu, saya jadi pengasuh anak orang kaya. Tinggalnya juga ikutan di sana."

Ibu itu mengangguk-angguk mengerti. Akhirnya dia membiarkan Sekar membereskan pakaiannya. Sekar tak punya barang berharga selain baju-bajunya saat pindah ke kontrakan itu. Selama tiga bulan ini juga dia sering mengamen untuk menyambung hidup juga nyawa, kadang membantu mencuci mobil atau motor di tempat pencucian.

Walau hidup pas-pasan, tapi itu lebih baik daripada hidup bersama tantenya tapi diperlakukan bagai babu. Ya, sepertinya Sekar paham, itu mungkin salah satu cara tantenya agar dia benar-benar hengkang dari rumah yang sempat didiami kedua orangtuanya dulu. Ingin rasanya Sekar memberikan ucapan selamat sebab adik ibunya itu sudah berhasil membuatnya terusir secara halus.

"Ini kuncinya, Bu. Makasih ya selama ini udah kasih aku tempat tinggal."

"Sama-sama, Sekar. Oh iya, kamu sudah makan belum?" tanya ibu kontrakan yang tampak iba melihatnya.

"Udah kok, Bu."

Sekar sengaja berbohong, karena dia ingin secepatnya kembali ke rumah nyonya Mira. Dia ingin, di hari pertama bekerja, nyonya Mira melihat kesungguhan dan kedisplinannya. Padahal, sekarang cacing-cacing di perutnya sudah pada demo.

"Ya sudah, kamu hati-hati ya."

Sekar mengangguk, lantas segera menyeret kopernya melewati jalanan yang basah. Dia sendiri sudah selesai mandi jadi penampilannya pun terlihat lebih rapi walaupun sekarang dia harus tetap sedikit basah lagi sebab gerimis masih turun.

Sekar kembali menunggu angkutan umum. Karena sudah cukup sore, dia jadi lama menunggu angkot yang lewat. Sampai akhirnya sebuah angkot berhenti dengan membawa dua penumpang di dalamnya.

Jalanan Jakarta tak lagi terlalu macet sebab orang-orang yang baru pulang bekerja menjadi lebih sedikit jika sudah terlalu sore begini. Sekar memandangi jalanan dengan hati lebih lega.

"Gak pengangguran lagi kan gue." Sekar bergumam bangga. "Stop di sini saja, Pak!" seru Sekar kemudian membuat supir angkot jadi mengerem mendadak dan membuat kening Sekar terantuk pintu angkot.

"Ya ampun, Pak, kepala saya bisa lepas ini!" Sekar menatap pak supir dengan kesal sembari mengusap-usap keningnya.

"Maaf, Neng, habisnya bilang mendadak."

"Ya terus mesti gimana, Pak, bilangnya? Masih untung kan cuma kepala saya aja yang kejedot!"

"Iya ya, Neng, untung gak nyungsep Enengnya keluar dari angkot," sahut pak supir menambahi.

"Yeeeeee, Bapak! Bukannya mikir malah nambahin untung rugi segala!"

Dengan masih mengomel, Sekar turun dari angkutan umum. Dua penumpang lain di belakang sudah tertawa cekikian melihat kesialan Sekar hari ini.

"Nih, Pak, uangnya."

"Yaaa, kurang dua rebu, Neng."

"Anggap aja itu ganti rugi kepala saya yang kejedot tadi."

Sekar mengibaskan rambutnya di depan pak supir lalu berbalik dan menyeret koper. Pak supir cuma geleng-geleng.

Sekar meneruskan langkahnya hingga ke belokan terakhir sebelum gerbang tinggi rumah megah nyonya Mira terlihat. Setelah menekan bel, pintu gerbang itu terbuka.

"Sore menjelang malem, Pak." Sekar menyapa para satpam yang sedang asyik main catur di samping pos jaga.

Mereka melambai ke arah Sekar yang sekarang sudah melangkah semakin cepat menuju ke rumah besar itu. Halaman yang luas membuat Sekar memang harus berjalan cukup jauh lagi ke dalam untuk mencapai pintu utama.

Dia sampai dan segera disambut oleh bi Ratih, pelayan yang sempat bersitegang dengannya di kantor polisi beberapa jam yang lalu.

"Maaf ya, Sekar, saya tadi udah nuduh kamu yang macem-macem."

"Semacem doang sih, Bi, cuma agak ngilu juga hati saya."

Mendengar itu, Ratih jadi tidak enak.

"Becanda kok, gak papa, gue udah maafin lo. Eh, maksudnya saya juga udah maafin Bibi. Lagian kita cuma salah paham kok."

Bi Ratih menarik nafas lega mendengarnya. ia membantu Sekar membawa koper. Terdengar suara tangisan kemudian. Sekar menatap bi Ratih.

"Nangis lagi Neira dari tadi."

"Saya ke sana dulu, Bi. Biar aja kopernya di sini dulu nanti saya bawa lagi."

" Udah, biar koper kamu Bibi yang bawa."

"Makasih ya, Bi."

Sekar lantas segera berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamar Neira. Ternyata di dalam sudah ada nyonya Mira yang tampak kewalahan menenangkan cucunya.

"Neira, Itu Sus udah datang loh."

Tangisan bayi itu langsung berhenti ketika Sekar sudah mendekat dan menggendong anak kecil itu. Neira secara ajaib langsung tertawa saat Sekar mulai mengajaknya bercanda. Nyonya besar itu memandang dengan senyuman.

"Ya ampun, mau sama Sus Sekar baru bisa diem!" kata nyonya besar itu dengan gemas.

"Ma, aku ke apartemen!"

Sebuah suara terdengar dari luar arah belakang Sekar dan nyonya Mira. Sekar belum bisa berbalik karena dia sekarang sedang menggantikan popok Neira.

"Arjuna! Kamu perhatiin dong Neira! Kamu itu gak pernah memperhatikan Neira! Kasihan anakmu loh, Jun!"

Sekar tetap dengan aktivitasnya mengganti popok Neira sambil membercandai gadis kecil itu. Dia menebak, lelaki yang sekarang tengah berdebat dengan nyonya Mira itu adalah ayah Neira.

"Udahlah, lagian ada Mama sama papa kan di sini. Tuh, ada pengasuh ju ..."

Kata-kata Arjuna terdengar berhenti ketika dia merasa tidak pernah melihat sosok yang tengah membelakanginya itu.

"Itu Sekar, pengasuh barunya Neira." Nyonya Mira menjelaskan. "Sekar, ke sini dulu, kenalan sama papanya Neira."

"Iya, Nyonya, tunggu sebentar," sahut Sekar yang sekarang sudah menggendong Neira dan saat dia berbalik, senyumnya perlahan menghilang.

Dia dan lelaki bernama Arjuna itu saling pandang dengan terkejut!

Terpopuler

Comments

Luzi Refra

Luzi Refra

wkwkwkww,,,seru kayaknya nih 🤣🤣

2024-11-27

0

Sweet Girl

Sweet Girl

Nah nah.... Mulai deh permusuhan nya.

2024-10-31

0

Sandisalbiah

Sandisalbiah

nah ketemu lagi sama si tuan galak.. 😅😅

2024-06-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!