Telestia sampai di pesisir. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Dengan bersusah payah, Telestia memasukkan bola-bola nyawa manusia ke tubuhnya. Perlahan sisiknya mengelupas. Kaki yang semula satu kini menjadi dua.
Telestia tidak lagi menahan napas di daratan. Udara segar memenuhi paru-parunya. Mata Telestia memberat. Dia harus pergi ke tempat yang aman, sebelum pemburu siren itu menangkapnya. Namun, dia harus ke mana? Tak ada tempat yang aman di daratan. Dia pun tak tahu di mana rumah Raiden.
Telestia memegangi perut yang terus mengeluarkan darah. Dengan sisa tenaga terakhir, Telestia bernyanyi. Luka-lukanya sembuh, tetapi kesadaran Telestia hilang seketika.
***
Matahari belum terbit, tetapi Raiden sudah keluar dari rumah. Dia berlari-lari kecil melewati rumah-rumah yang penghuninya belum bangun. Ini sudah menjadi kesehariannya. Menjaga bentuk tubuh tetap bugar sudah menjadi kewajiban seorang idol. Ya, Raiden adalah idol yang harus menjaga image di depan publik. Dia selalu berpura-pura menjadi orang baik dan terus tersenyum. Bila salah sedikit, dia akan dihujat. Hanya bersama dengan Teletia, Raiden terbebas dari belenggu itu. Dia bisa tertawa lepas dan mengerjai Telestia tanpa takut dicibir.
Raiden pun melangkah menuju dermaga yang terbengkalai, tempat pertemuannya dengan Telestia. Dermaga itu sangat sunyi, tak ada orang yang pernah ke sana kecuali Raiden. Seminggu sekali Raiden datang dermaga untuk mengeluarkan kepenatannya dengan bernyanyi. Cuma baru-baru ini saja, Raiden sering ke tempat itu karena ingin bertemu dengan Telestia. Seperti sekarang. Meskipun begitu, Raiden tidak berharap lebih karena siren itu pasti sedang tertidur pulas di guanya.
Tak disangka harapan Raiden terkabul. Telestia berada di pantai dekat dermaga. Yah, walaupun siren itu tak sadarkan diri dan tanpa sehelai benang melekat ditubuhnya. Namun, apakah Telestia bisa disebut siren? Wanita itu kini memiliki kaki seperti manusia pada umumnya. Itu tidak penting. Ada hal yang lebih mendesak.
“Tia, bangun, Tia.” Raiden menepuk-nepuk wajah Telestia.
Tidak ada balasan. Mata Telestia masih terpejam. Raiden memeriksa denyut nadi dan napas Telestia. Masih terasa, Telestia masih hidup.
Daripada membiarkan Telestia di sini kedinginan, Raiden membuka jaket untuk menutupi tubuh wanita itu. Dia segera menggendong Telestia menuju rumahnya. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri. Dia tidak ingin dianggap sebagai orang mesum karena membawa wanita tanpa busana.
Beruntung Raiden tidak bertemu dengan siapa pun dalam perjalanan. Dia bergegas membaringkan dan menyelimuti Telestia di kamar. Sambil menunggu Telestia bangun, Raiden menyiapkan makanan. Dia yakin wanita itu lapar dan membutuhkan tenaga untuk menceritakan kejadian yang menimpanya.
***
Telestia membuka mata. Ruangan di sana sangat asing. Ingatan para siren ditangkap, membanjiri kepalanya. Dia tergesa-gesa turun dari ranjang. Sayang, karena belum terbiasa dengan kaki barunya, dia terjatuh.
“Kamu sudah sadar?” tanya Raiden.
“Jangan dekati aku. Pergi!” Telestia histeris. Dia tak mengenali suara Raiden karena ketakutan.
“Ini aku, Tia.” Raiden membalut tubuh Telestia dengan selimut.
Telestia malah meronta-ronta. “Pergi! Jangan tangkap aku!”
Tak tahu harus apa, Raiden mulai bernyanyi. Hanya itu satu-satu cara yang bisa membuat Telestia mengenalinya.
Rasa takut Telestia mulai memudar. Dia berada di tempat yang aman bersama Raiden. Matanya terasa basah.
“Raiden?”
Raiden memeluknya. “Nggak apa-apa. Aku ada di sini.”
Telestia meluapkan kesedihan dan ketakutannya dalam pelukan Raiden. Dia hanya berpura-pura kuat saat menghadapi pemburu siren. Padahal tangannya terus gemetaran kemarin.
Setelah Telestia berhenti menangis, Raiden memberanikan diri bertanya, “Apa yang terjadi?”
Telestia bungkam. Terlalu sulit untuk menceritakan semuanya apalagi dia sudah membunuh manusia. Bila Raiden tahu, dia takut pria itu akan membencinya.
“Katakan aja, aku bakal membantumu dan akan merahasiakannya. Percayalah padaku,” tambah Raiden.
Menyadari tatapan Raiden yang tulus, Telestia menceritakan kejadian yang menimpanya, kecuali tentang pengorbanan yang dibutuhkan agar dirinya menjadi manusia.
Sorot mata Raiden berubah iba. “Kamu tinggal aja di sini sementara. Jangan pergi ke laut. Bakal bahaya. Penjahat. itu bisa kembali kapan aja.”
“Terima kasih.”
Tersadar bahwa wanita itu masih belum mengenakan pakaian, Raiden mengambil kaos dan celana di lemari lalu memberikannya pada Telestia. Raiden tidak mungkin memakaikan pakaian saat Telestia tertidur. Harga diri wanita itu bisa ternodai. Dia merupakan pria normal yang bisa berbuat salah apabila melihat wanita tanpa pertahanan sedikit pun, seperti Telestia.
“Kamu tahu, kan cara memakainya?” tanya Raiden.
Telestia tahu cara memakai kaos karena pernah melihat mengenakan pakaian itu Raiden. Tetapi, berbeda dengan celana. Dia mengamati celana biru yang diberikan Raiden dengan kebingungan.
“Yang ini bagaimana?” Telestia menunjuk celana biru di tangan kirinya.
“Biar kucontohkan,” Raiden mengambil celana dari tangan Telestia, “pertama, buka lubang bagian besar lalu masukkan kakimu secara bergantian melewati lubang kecil di bawah. Paham, kan?” Raiden membuka celana biru itu dan berpura-pura memasukkan kakinya.
Telestia mengangguk. Raiden mengembalikan celana, kemudian menunggu di luar. Tak ada lima menit, Telestia selesai berpakaian. Raiden pun masuk. Matanya terpaku penampilan Telestia.
Kaos yang dipakai wanita itu terlalu longgar. Bahkan, lebih pantas disebut dress saat melekat di tubuh Telestia, sebab celana pendek biru miliknya tertutup kaos. Namun, di mata Raiden Telestia terlihat imut. Raiden memalingkan wajahnya yang memerah.
Tiba-tiba terdengar suara telepon. Raiden gelagapan meraih smartphone-nya. Dia cepat-cepat menempelkan smartphone di telinga kanannya.
“Ha-“
“Apa kau sudah gila? Ini sudah jam berapa? Apa kau lupa hari ini ada pemotretan?” teriak seorang wanita di seberang sana.
Raiden menepuk dahinya. “Maaf, aku lupa. Aku akan ke sana. Tolong tenangkan mereka, Sop.”
“Bisa gila aku. Pokoknya kamu harus sampai di sini dalam waktu sepuluh menit,” tegas Sophia.
“Baik, baik. Makasih, maafkan aku.” Raiden menutup telepon sambil mengembuskan napas panjang.
“Kamu akan pergi?” Mata Telestia memelas menatap Raiden.
Sejujurnya, Raiden tak ingin meninggalkan Telestia sendirian. Apalagi kondisi wanita itu belum pulih benar. Sayangnya, pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.
“Maaf, ya. Aku harus bekerja. Tadi, manajerku marah-marah.” Raiden mengelus-elus lengan Telestia.
Kemudian, Raiden menjelaskan ruangan-ruangan yang ada di rumahnya. Tak lupa, dia menjelaskan fungsi perabotan yang ada di sana.
Telestia mengangguk-angguk. Dalam hati dia mencamkan tidak akan merusak barang-barang di rumah Raiden.
“Oh, ya. Ada makanan di meja makan. Kamu pasti lapar.” Raiden menuntun Telestia ke ruang makan.
Raiden menarik kursi di meja makan, mempersilakan Telestia duduk. Dia melirik jam tangannya. Tersisa waktu lima menit.
“Aku pergi dulu, ya. Anggap aja rumah sendiri.” Raiden beranjak dari sana.
“Kamu tidak makan?” Telestia menarik ujung lengan kemeja Raiden.
“Aku sudah makan tadi. Aku buru-buru. Jangan khawatir. Dan jangan ke mana-mana. Kamu aman di sini. Aku bakal pulang.”
Telestia perlahan melepas ujung lengan kemeja Raiden. Dia tersenyum. “Hati-hati.”
Raiden balas menyunggingkan senyum, lalu meninggalkan wanita itu sendirian. Wajah Telestia berubah suram. Dia memakan masakan buatan Raiden tanpa semangat.
Aku ingin kamu menemaniku, Raiden.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments