Bab 2 Penangkapan

“Kamu denger nggak yang kukatakan tadi?” tanya Raiden pada teman sirennya.

Telestia terkesiap. Dia menoleh ke arah Raiden. “Ya, ya, aku dengar,” jawab Telestia asal-asalan.

“Coba ulangi.”

Telestia gelagapan. “Sudahlah, kenapa kamu ke sini? Apa kamu tidak punya teman? Atau bosan sepertiku?”

“Jadi memang nggak denger. Keningmu sampai berkerut seperti ini.” Raiden menyentuh sela di antara kedua alis Telestia.

Telestia membalas perbuatan Raiden dengan menceburkan diri ke air. Raiden basah kuyup akibat cipratan Telestia. Pria itu melepas jaket hitamnya. Dia memakai kaos putih tipis yang menampilkan lekuk tubuh atletis. Biasanya, para wanita akan berteriak bila Raiden dalam kondisi seperti ini. Namun, Telestia malah terkekeh. Pemandangan dada bidang dan perut berkotak-kotak sudah menjadi santapannya sehari-hari. Di mata siren itu, penampilan Raiden sekarang sangat acak-acakan, terutama rambutnya.

Raiden mengembuskan napas panjang. Dia ingin menceburkan diri dan menangkap Telestia. Sayangnya, Raiden tidak bisa berenang. Bisa-bisa dia semakin dipermalukan bila berani masuk ke daerah kekuasaan siren itu.

Tawa Telestia memudar. Dia menatap langit malam dengan sendu. “Menurutmu, seandainya ada yang membunuh sepuluh manusia bagaimana?”

“Itu namanya psikopat. Nggak ada orang normal yang membunuh sepuluh manusia,” jawab Raiden sambil memeras pakaiannya.

“Kamu membencinya?”

“Daripada benci, aku nggak mau dekat-dekat dengan orang itu. Nyawaku ini sangat berharga.”

Telestia menghela napas panjang. Tidak ada yang mau berteman dengan pembunuh. Alih-alih mengorbankan nyawa manusia dan berjauhan dengan Raiden, lebih baik dia menjadi siren selamanya. Baginya teman sangat berharga.

Raiden menggosok-gosokkan kedua tangan. Angin malam membuat tubuhnya menggigil. Melihat hal itu, Telestia menyanyikan lagu penghangat untuk Raiden.

Rasa dingin perlahan menghilang dari tubuh Raiden. Dia menatap mata biru siren cantik itu. “Suaramu lebih bagus daripada suaraku.”

“Tapi, suaramu lebih menggugah hati dibanding siren pria lain.”

“Terima kasih.” Raiden menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

Wajah Telestia memerah. Dia mengatur napas agar debar jantungnya memelan. Namun, semua perbuatannya sia-sia. Dia pun menjauh dari orang yang menimbulkan perasan aneh di hatinya. “Aku pulang dulu. Bisa gawat kalo ibuku tahu anaknya tidak ada di rumah.”

“Hati-hati!” teriak Raiden.

Telestia tak mendengar ucapan Raiden. Dia terus berenang berharap bayangan tentang manusia itu di otaknya menghilang.

Sampai di pintu masuk Kota Siren, Telestia berhenti. Matanya membesar. Pandangannya tertuju pada kawanan siren yang terjaring.

“Ada siren yang masih bebas!” seru salah satu penyelam yang mengawal jaring.

Telestia bernyanyi dan memainkan harpanya dengan cepat. Arus air yang kuat tercipta di samping Telestia. Dia mengarahkannya ke para penyelam.

Penyelam-penyelam itu terseret arus dan tak sadarkan diri. Tubuh mereka perlahan mengapung.

Telestia bergegas mendekati jaring yang membelenggu para siren. “Ibu, Ayah, kalian di mana?”

Telestia menemukan ayah dan ibunya di antara para siren. Keduanya menatap Telestia penuh kelegaan. Bukan cuma orang tuanya, Telestia merasa semua mata siren tertuju padanya. Mata yang meminta pertolongan. Memahami isyarat kaumnya, Telestia segera menciptakan arus untuk memotong jaring.

Tiba-tiba saja, ada tombak yang mengenai lengan Telestia. Telestia segera menoleh ke arah manusia yang menombaknya. Manusia itu memakai baju selam yang berbeda dengan penyelam yang telah mati. Sebelum manusia itu menyerangnya kembali, Telestia menyentuh harpanya. Sayang, senar harpa yang selalu menemani Telestia sejak kecil kini terputus.

“Awas,” peringat ayah Telestia lirih.

Kewaspadaan Telestia kembali. Dia mencoba menghindari tombak yang dilontarkan manusia itu. Tombak itu menggores perutnya. Telestia meringis kesakitan.

Tak punya waktu untuk beristirahat, Telestia pun menyanyikan lagu pemikat manusia. Lagu ini akan memikat manusia hingga meniadakan fungsi otak mereka sementara. Di samping itu, manusia yang mendengar lagu ini akan mengikuti semua perintah siren tanpa perlawanan sedikit pun.

“Kemarilah!” titah Telestia.

Beberapa pelaut yang ada di atas kapal berjatuhan ke laut. Penyelam yang menombak Telestia tadi mulai menghampiri siren muda itu.

Telestia hendak merebut tombak penyelam itu. Tak disangka, penyelam itu malah melayangkan pukulan di perut Telestia. Penyelam itu berpura-pura jatuh dalam buaian nyanyian Telestia.

Telestia terdorong ke jaring kawanan siren.

“Lari, Telestia,” bisik Cistia.

“Aku tidak akan meninggalkan kalian. Ini salahku. Gara-gara aku pergi ke pesisir, mereka tahu kota kita,” balas Telestia berlinang air.

“Kamu memang anak pembangkang, jadi turutilah perintah Ibu kali ini. Larilah dan gunakan nyawa pelaut yang telah mati dan jadilah manusia.” Cistia berusaha berteriak meskipun tenggorokannya terasa panas.

Telestia menggeleng-geleng. Matanya terasa basah. Namun, tombak melukai tangannya yang memegang harpa. Harpa itu pun terlepas dari tangan Telestia.

“Pergilah, Telestia.” Siren-siren lain ikut meminta Telestia meninggalkan mereka.

Telestia menatap mereka nanar. Dia memejamkan mata lantas berenang mengumpulkan jiwa-jiwa pelaut yang tak bernyawa. Tombak demi tombak di arahkan ke tubuh Telestia. Luka Telestia semakin bertambah, tetapi dia belum menyerah.

Penyelam itu itu kehabisan tombak. Dia pun berdecak kesal dan naik ke atas kapal.

Telestia memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Banyak tombak yang terarah kepadanya. Untung, semuanya meleset karena pandangan penyelam itu terhalang.

Tak ada lagi tombak yang menyerang Telestia. Dia berhasil meloloskan diri. Tangannya memeluk bola-bola nyawa pelaut dengan erat. Memang impiannya akan terwujud, tetapi Telestia tidak menyangka kehidupan kaumnya akan terancam. Seandainya dia tidak pergi pesisir. Seandainya dia lebih berhati-hati. Seandainya, seandainya, dan seandainya. Banyak kata seandainya yang memenuhi kepala Telestia. Namun, terus menyesal tidak akan memberikan hal positif. Telestia bertekad dalam hati.

Aku akan menyelamatkan kalian. Aku janji.

Sementara di atas kapal, penyelam itu menendang pinggiran kapal. “Sial! Satu siren kabur.”

Bukan hanya itu, dia kehilangan banyak anak buah. Namun, dia malah untung karena tak perlu membayar mereka. Di samping itu, anak buah dapat dicari lagi. Berbeda dengan siren yang sulit ditemukan karena keberadaan mereka sudah langka.

Penyelam itu bernama Adinata. Dialah yang merencanakan penangkapan siren. Seminggu yang lalu, Adinata melihat siren yang berbincang-bincang dengan manusia. Dia pun mengikuti siren itu diam-diam untuk mencari persembunyian para siren. Setelah itu, dia merekrut pelaut dan membeli obat untuk menghilangkan suara. Perlu waktu seminggu untuk menyiapkan semuanya.

Lalu, Adinata menjalankan rencananya hari ini. Dia menuangkan obat di kota siren. Dengan begitu, para siren tidak bisa menggunakan suara ajaib mereka. Adinata dapat menangkap mereka dengan leluasa. Tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, ada satu siren yang masih berkeliaran. Dia kira siren yang dilihatnya di pesisir sudah kembali ke Kota Siren karena sudah tengah malam.

Adinata berusaha tenang. Dia mengalihkan pandangannya ke jaring yang menangkap para siren. Meskipun satu lolos, dia masih punya siren lain yang berjumlah puluhan. Dia akan kaya. Adinata tertawa keras sambil menarik sumber hartanya ke kapal.

Terpopuler

Comments

Nadira

Nadira

Kasihan para siren yg tertangkap, entah mau dijadikan apa mereka.

2022-12-07

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!