Nyanyian Siren

Nyanyian Siren

Bab 1 Bosan Hidup di Lautan

“Sudah Ibu bilang jangan ke pesisir!” teriak Cistia pada Telestia.

Telestia mengibas-ngibaskan sirip ikan di bagian kakinya atau lebih tepatnya ekor bersisik untuk mempertahankan diri melayang di dalam air. Tidak, dia bukanlah ikan. Tubuh bagian atasnya menyerupai manusia. Bisa dibilang Telestia dan ibunya setengah manusia dan setengah ikan.

“Aku sudah besar, Bu. Kalau ada bahaya, aku bisa bernyanyi.” Telestia menunjuk lira di tangan kirinya.

“Memang kita bisa memikat manusia dengan suara, tapi tetap saja mereka menakutkan. Kamu bisa ditangkap dan dijadikan bahan tontonan, Tia.” Pistia memegangi kedua lengan Telestia. Tampak kekhawatiran di matanya.

“Aku akan berhati-hati agar manusia tidak melihatku, Bu. Tenang saja.” Telestia menepis tangan sang ibu. Dia bersalto dalam air menghindari Testia yang berusaha menangkapnya. Lantas melesat ke pesisir.

“Tunggu, Telestia, tunggu!” Cistia berenang mengejar Telestia. Usia yang semakin tua mengakibatkan kecepatan berenangnya tidak segesit dulu. Dia semakin tertinggal dan tertinggal. Telestia pun menghilang dari pandangannya.

Telestia terus melaju tanpa menoleh ke belakang. Dia tak sabar melihat keindahan daratan dari pesisir. Pemandangan di lautan membuatnya bosan. Hanya ada ikan, rumput laut, terumbu karang, lumba-lumba, putri duyung dan siren.

Telestia termasuk dalam golongan siren. Bila dilihat sekilas, tubuh siren mirip dengan putri duyung. Perbedaannya siren memiliki suara yang merdu dan selalu membawa harpa. Namun, jumlah putri duyung akhir-akhir ini berkurang drastis. Bahkan hampir punah. Oleh karena itu, Raja Siren menghimbau agar para siren berhati-hati saat berkeliaran sendirian.

Ingatkah kamu pada masa-masa yang kita lalui.

Telestia berhenti. Nyanyian yang didengarnya sangat merdu. Hanya siren yang dapat mengeluarkan suara yang menyayat hati seperti itu. Namun, dia tidak mengenali suara siren itu. Kemungkinan siren dari kelompok lain.

Telestia berenang dengan cepat menuju sumber suara. Dia tak sabar bertemu dengan teman baru. Suara itu semakin terdengar jelas di bagian pesisir. Telestia pun menyembulkan kepalanya di permukaan air.

Bruk!

Seorang pria berjaket hitam terjatuh ke belakang. Sorot matanya terlihat kebingungan.

Telestia mengamati pria itu cukup lama. Pandangannya teralihkan pada kaki pria itu. Kaki pria itu tidak bersisik ataupun menyatu. Terdapat sesuatu yang menyangkut di kaki pria itu. Telestia tidak tahu apa benda itu. Yang jelas pria itu bukanlah siren. Karena siren tidak hidup di daratan. Dapat disimpulkan pria di terjatuh dermaga itu adalah manusia.

Pria itu menunjuk Telestia. “Kamu siapa?”

“Aku Telestia.” Telestia menghampiri pria itu. Manusia di depannya sama sekali tidak menakutkan. Ibunya pasti mengarang cerita tentang manusia untuk menakut-nakutinya.

“Ini sudah malam, kenapa kamu malah berenang? Nggak takut kedinginan?” Pria itu mulai bangkit. Dia melangkah ke tepi dermaga mendekati Telestia.

“Aku hidup di lautan, sudah pasti kegiatanku tiap hari adalah berenang.”

“Kamu putri duyung?” Suara pria itu meninggi. Matanya terlihat berbinar-binar.

“Bukan, aku siren. Tubuh kami memang hampir sama, tapi siren memiliki lira dan suara yang merdu. Kukira kamu siren. Suaramu sangat bagus.”

“Mana yang lebih bagus suaraku atau wajahku?” Pria itu berjongkok menurunkan masker, mendekatkan wajahnya agar Telestia dapat mengamatinya lekat-lekat.

Telestia memicingkan mata. Jika dibandingkan pria yang ada di lautan, wajah manusia di depannya itu memang lebih tampan. Namun ....

“Suaramu. Bahkan tidak ada siren yang memiliki suara semerdu dirimu.” Telestia memperpendek jarak di antara wajah mereka.

Pipi pria itu memerah. Dia segera bangkit dan berdeham. “Namaku Raiden. Apa kita bisa bertemu lagi?”

“Tentu, asal kamu mau berjanji tidak menceritakan diriku pada manusia lain.” Telestia tersenyum.

“Aku berjanji.” Raiden mengulurkan jari kelingkingnya.

Telestia memiringkan kepala, tak mengerti apa yang dilakukan Raiden.

“Ini cara manusia mengikat janji. Tautkan jari kelingkingmu denganku.” Raiden kembali menyodorkan jari kelingkingnya.

Telestia menuruti saran Raiden. Keduanya saling melempar senyum. Mereka mendapat teman baru yang hidup di dunia yang berbeda. Tanpa sadar ada sepasang mata yang mengamati mereka diam-diam.

***

Tiap dua hari sekali, Telestia diam-diam menuju ke dermaga untuk bertemu dengan teman barunya. Mereka sering membicarakan kehidupan satu sama lain. Berkat itulah, pengetahuan Telestia tentang dunia manusia semakin banyak. Manusia menggunakan benda menyala yang bisa menghubungkan mereka dengan manusia lain di tempat jauh. Sayang benda itu tidak dapat digunakan di air. Raiden memberi tahu nama benda itu adalah smartphone.

Bukan cuma itu. Manusia hidup di rumah yang terbuat dari tumpukan batu yang menjulang tinggi. Berbeda siren yang tinggal di gua sempit.

“Kenapa murung begitu?” Raiden duduk di tepi dermaga memandangi Telestia yang mengapung di lautan.

“Aku bosan. Meskipun lautan luas, aku tidak bisa ke mana-mana.” Telestia menatap bulan yang bersinar terang.

“Mau dengar ceritaku lagi?”

Tiba-tiba saja Telestia sudah berada di depan Raiden. Telinganya terbuka lebar. Kisah Raiden tidak pernah membuatnya bosan.

Manusia mempunyai kotak yang bisa memperlihatkan segala sesuatu, namanya TV. Tentang kisah manusia lain, pemandangan indah, daratan di ujung bumi, hal-hal lucu dan banyak lagi.

Telestia semakin ingin menjelajahi dunia yang tak terjangkau itu. Pasti sangat menyenangkan tinggal di sana. Sayangnya, dia adalah siren. Andai saja dia dilahirkan sebagai manusia. Itulah yang terbesit di pikiran Telestia sekarang.

“Kenapa malah makin murung?” Raiden mencubit pipi Telestia.

Telestia menyingkirkan tangan Raiden. “Aku iri denganmu. Pasti kamu bahagia di daratan.”

“Nggak juga. Kamu baru dengar yang bagusnya aja. Besok bakal kuceritakan hal-hal buruknya biar kamu nggak iri.” Raiden meringis ke arah Telestia.

Telestia tertawa. Gurauan Raiden mampu mengikis rasa iri Telestia. Namun tak mampu membendung keinginannya menjadi manusia.

Keesokan harinya, Telestia pergi ke perpustakaan laut. Buku-buku berjajar rapi di rak buku. Meskipun di dalam air, buku-buku itu tidak basah karena terbuat dari bahan yang tahan air dan sudah dimantrai oleh Raja Siren.

Sudah seharian, Telestia berada di perpustakaan. Sayangnya, buku yang dia cari belum ditemukan. Dia sudah bertanya pada penjaga perpustakaan. Namun, sia-sia. Tersisa satu tempat di perpustakaan yang belum Telestia datangi. Ruang Terlarang. Namun, ruangan itu dijaga oleh dua siren bersenjata trisula. Telestia bukanlah tandingannya, bila berhadapan secara langsung.

Telestia menunggu penjaga berganti shift. Sebelum penjaga memakai penutup telinga, Telestia segera menyanyikan lagu tidur. Kedua penjaga itu pun tertidur lelap. Telestia bergegas menyelinap ke Ruang Terlarang.

Di ruangan itu terdapat sebuah buku yang terletak di sebuah batu. Karena penasaran, Telestia membaca buku itu. Halaman demi halaman dia balik. Dia berhenti di halaman keseratus.

Cara Siren menjadi Manusia

Tanpa sadar senyum Telestia mengembang membaca bab itu. Harapannya akan terwujud. Namun, senyum Telestia perlahan menghilang ketika menutup buku itu. Dia memerlukan sepuluh nyawa manusia untuk hidup di daratan.

Terpopuler

Comments

Nadira

Nadira

Nadira mampir kak🙏

2022-12-06

1

🥝𝙼𝙸𝚃𝚃²🦕ᵐᵃʳˢᵘᵖᶦˡᵃ🍒⃞⃟🦅

🥝𝙼𝙸𝚃𝚃²🦕ᵐᵃʳˢᵘᵖᶦˡᵃ🍒⃞⃟🦅

wahh sirenn, auto nimbrung kesini🤭😁

2022-12-02

0

Angeldust

Angeldust

oala, aku baru tau ternyata beda..

2022-11-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!