Persiapan

Setelah pertengkaran tadi magrib, lagi-lagi Leman harus menghuni kamar anak bungsunya. Arief selalu menemaninya saat situasi tidak kondusif dan hampir tiap malam Leman memilih tidur di sana dari pada bersama Iklima. Bagaimana dengan hubungan suami istri?

Sudah lama, Leman tidak merasakan hasrat itu lagi. Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di anatara mereka seolah membunuh hasrat dan gelora dalam diri Leman untuk bercinta. Wajah Iklima sangat ketus dan masam hingga untuk mengajak bercinta atau sekedar berbicara manis saja sudah tidak mampu.

“Ayah, kenapa Mamak selalu marah-marah pada Ayah? Ayah buat salah ya?” tanya si bungsu. Ia memeluk ayahnya seperti memeluk bantal guling.

“Ayah juga tidak tahu di mana Ayah buat salah sama Mamak. Jangan pikirkan Mamak. Mungkin Mamak sedang capek dan banyak pekerjaan.”

“Kalau capek kenapa marah sama Ayah? Ayahkan tidak membuat Mamak capek?” Leman tersenyum kecil lalu memeluk anaknya erat seraya mencium pucuk kepala sang anak. Di kamar yang lain, Iklima sudah tertidur dengan pulas setelah meluapkan amarahnya pada Leman. Pekerjaannya di rumah sakit sangat banyak dan sampai ke rumah malah melihat wajah Leman. Bertembah kesal lah Iklima dibuatnya.

Ke esokan harinya, seperti biasa Leman akan mengantar anaknya ke sekolah. Pagi ini, ia dan anak-anaknya harus sarapan pagi di rumah orang tua Leman karena Iklima belum bangun. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi hingga Ibu dari Leman selalu menyediakan makanan lebih setiap pagi jika ada kejadian seperti ini.

“Makan yang banyak ya?” ucap Ibu Wardiah pada cucu-cucunya terutama Arif si bungsu.

“Sudah kabari ke sana? Jangan sampai telat. Beri tahu ke sana hari ini supaya keluarga di sana tidak terkejut dengan kedatangan kita nantinya.” Leman mengangguk lalu mencium tangan ibu dan bapaknya sebelum akhirnya pergi mengantar anak-anak sekolah.

Sesampai di sekolahnya, Leman mengaktifkan ponselnya lalu menghubungi Rosita. “Kenapa mendadak, Bang?” Rosita tentu terkejut karena hari ini sabtu dan keluarga Leman akan datang besok.

“Tidak mendadak, kami sudah sepakat besok hanya Abang saja yang baru bilang hari ini ke kamu.”

“Kenapa tidak besok saja Abang bilangnya pas udah masuk lorong rumahku?” sarkas Rosita membuat Leman terkekeh.

“Boleh juga idemu. Baiklah, Abang beri tahu besok saja.”

“Udah telat. Berhenti bercanda, Bang! Ini benar atau tidak mau ke sini?”

“Benar, Dek. Abang kan sudah bilang. Tolong bilang orang tuamu ya!”

“Em, baiklah. Kalau begitu aku tutup dulu ya!”

“Em, iya. Abang juga mau mengajar. Assalamualaikum.”

“Walaikum salam.”

Tuuutttt….

Leman tersenyum senang lalu ia kembali menuju ruang gurunya tempatnya berkumpul dengan para guru-guru lainnya. Namun langkah tiba-tiba terhenti saat sebuah pesan dari putra sulungnya muncul di layar ponsel Leman.

“Ayah jangan pernah meninggalkan Mama terus menikah lagi. Kalau sampai itu kejadian, aku tidak akn tinggal diam!” Leman menarik nafasnya dalam-dalam. Putra sulungnya sudah tumbuh besar hingga mampu mengancam dirinya.

Di rumah, Iklima yang sedang terlelap tiba-tiba terbangun setelah mendengar bunyi dering ponselnya.

“Em, hallo.” Sapanya dengan suara serak.

“Mak, Mamak sakit?”

“I-iya. Ini Mamak baru bangun tidur. Kenapa? Kamu kehabisan uang?”

“Bukan, Mak. Aku hanya telepon Mamak saja buat ngasih tahu kalau aku sudah kirim pesan ke Ayah.”

“Oh ya? Kamu bilang apa?” Iklima tampak antusias.

Agus si anak sulung dengan bangga mengatakan pada ibunya tentang ancaman yang ia kirim untuk sang ayah. Anak dan ibu itu kompak tertawa bersama di penghujung pembicaraan.

“Bagus. Ayahmu memang harus diberi pelajaran. Tapi kalau bisa, kamu juga harus meneleponnya langsung biar Ayahmu semakin ketar-ketir diancam oleh anaknya sendiri.”

“Iya, nanti aku akan telepon Ayah.  Mak, udah dulu ya! Aku mau pergi sama teman-teman.”

“Em.”

Tutttt….

Iklima tersenyum senang lalu ia kembali melanjutkan tidurnya. Sementara di kabupaten sebelah, Rosita tengah berbicara dengan orang tuanya tentang rencana Leman yang akan berkunjung ke rumah mereka dengan keluarganya. Sontak saja kedua orang tua Rosita terkejut mendengarnya namun mereka juga tidak bisa menolak. Alhasil, orang tua Rosita akhirnya memilih untuk membersihkan rumah sementara Rosita pergi berbelanja ke pasar. Dia tidak mungkin menyambut tamu dengan hidangan ala kadar.

Rosita memasak bersama ibunya dengan tenang sementara adik dan ayahnya membersihkan rumah. Menjelang sore, kakak Rosita bersama anak dan suaminya berkunjung ke sana dan begitu tahu apa yang terjadi, kakak Rosita langsung berkhutbah ria di dapur tanpa ikut membantu.

“Mereka datang baik-baik kenapa tidak disambut? Tamu itu harus dimuliakan terlepas dari tujuannya ke sini untuk apa.” ucap Ibu dari Rosita bijak.

Keributan itu berakhir setelah sang kakak pulang ke rumahnya. Tinggallah Rosita yang masih melanjutkan masaknya dengan sang ibu. Sesekali, Rosita berbalas pesan dengan Leman. Hati kecil Rosita tidak dapat berdusta jika ia memang bahagia dan menantikan pertemuan keluarga ini. Dia mencintai Leman tanpa melihat Leman dari sisi yang lain. Dia mencintai Leman apa adanya bukan ada apanya. Uang, Rosita tidak kekurangan itu. Dia punya pekerjaan tetap lalu dia juga berbisnis secara daring hingga untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak perlu mencari suami kaya. Bagi Rosita, cinta, kasih sayang dan perhatian tulus itu lebih penting dari apa pun di dunia ini.

Malam minggu di rumah Leman.

“Man, bisa antar Mamak dan Bapak ke rumah Ismail?” Iklima yang berada di dapur mengintip obrolan ibu mertuanya dengan sang suami di pintu depan.

“Acara apa, Mak kenapa tiba-tiba ke sana? Ada yang sakit?”

“Tidak tahu. Dari suaranya sih agak lain. Kamu bisa tidak?”

“Nenek, ikut!” rengek Arif. Si bungsu memang sangat dekat dengan neneknya karena dari bayi sudah bersama beliau.

“Kemana, Yah?” tanya Ayu yang baru keluar dari kamar.

“Ke rumah Pak Wa Mail. Kamu mau ikut juga?”

“Nenek nginap.” Ucap Ibu Wardiah pada cucunya.

“Nek, Adek ikut!”

“Minta sama Mamak dulu.” Arief langsung berlari menuju dapur.

“Mak, Adek ikut nenek ya?”

“Em!” Iklima tidak bisa menolah permintaan Arief karena ia tahu resiko apa yang akan terjadi jika permintaan si bungsu ia tolak. Arief itu tidak bisa jauh dari neneknya. Kalau sampai Iklima melarang Arief ikut. Bisa-bisa sampai subuh ia tidak bisa tidur karena tangisan Arief.

“Nenek tidur di rumah Pak Wa, Adek ikut juga?” tanya Ibu Wardiah.

“Ikut juga!”

“Sudah bawa baju?” Leman mengangguk lalu pergi meninggalkan rumah dengan seutas senyum di sudut bibirnya. Sementara Iklima malah bertanya-tanya setelah kepergian mereka, “Ada acara apa di rumah Pak Wa Mail, Andi?” tanyanya pada Andi.

“Tidak tahu, Mak.”

“Kamu, Yu? Tidak tahu juga?”

“Tidak, Mak.”

“Lalu kenapa kalian pergi ke rumah nenek kalian jika tidak tahu apa-apa?”

“Mamak nyuruh kami jadi mata-mata?” selidik Ayu tiba-tiba.

“Kenapa Mamak tidak tanya sendiri saja tadi?” kesal Ayu.

“Kalian itu ya kalau sama Mamak sikapnya tidak sopan sama sekali. Kalian baru tahu rasa kalau Ayah kalian menikah lagi lalu membawa wanita itu kemari. Baru kalian nangis-nangis darah tapi sayang sudah telat.

“Memangnya Ayah sudah menikah lagi?”

 

***

Pagi....berikan Bintang untuk kisah ini ya... Dihalaman sampul depan di bawah foto...makasih...

Terpopuler

Comments

Umi Hanik

Umi Hanik

aku sungguh tak suka dg kelakuan iklima, tapi tak membenarkan perbuatan leman dn keluarganya yg mendukung leman poligami. kenapa nggak bercerai aja dari pada berpoligami

2022-11-08

1

Aida Fitriah

Aida Fitriah

aku nyimak aja ya kak sampe sini. masih blum bisa nama'a poligami.

2022-11-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!