"Ingat kamu sudah menandatangani surat perjanjian. Jadi, patuhilah surat perjanjian itu. Atau aku urus kasus ini sampai hukum!" ancam Davien yang mendapat gelengan kecil dari istrinya.
"Tidak Mas. Jangan bawa-bawa polisi. Aku sudah menuruti semua permintaanmu. Jadi, jangan laporkan aku ke polisi." mohon Liana.
"Aku tidak akan melaporkan ini, tapi kamu harus hamil anakku dengan cepat. Aku sangat menginginkan gelar Ayah itu cepat terwujud di kehidupanku!" jawab Davien dengan nada ketusnya.
Tanpa ingin menjawab pertanyaan suaminya. Liana lebih memilih fokus dengan lampu yang masih menyala di ruang operasi. "Kenapa bisa selama ini. Apa yang mereka lakukan di dalam?" lirih Liana sambil mengusap wajahnya kasar.
Menunggu adalah hal sangat membosankan. Mungkin kalimat itu sangat cocok untuk Liana dan Davien yang sedang menunggu lampu berwarna merah itu padam.
Hawa kantuk mulai menyerang Liana. Wanita itu tak henti-hentinya menguap karena malam hari yang tidak bisa tertidur dengan pulas.
"Hoam!" Liana menutup mulutnya saat menguap.
"Tidurlah!" titah Davien saat mendengar keluhan istrinya.
"Tidak, aku masih bisa tahan." tolak Liana bangkit dari duduk dan berjalan mondar mandir di depan pintu ruangan. "Aw ... kenapa operasinya lama sekali. Padahal sudah dua jam lebih. Apa terjadi sesuatu dengan Viola di dalam sana?" gumam Liana sembari mengigit ujung kukunya.
Melihat istrinya gelisah. Davie ikut bangkit. Dia memegang lengan sang istri. "Kakimu sudah sembuh?" tanya Davien.
"Su-sudah Mas. Rasa sakitnya sudah mulai mereda. Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja!" jawab Liana melepas genggaman tangan suaminya. "Jangan sentuh aku di tempat umum seperti ini. Aku tidak mau ada orang yang tahu tentang kita, Mas!" pintanya lagi.
"Hem, duduklah. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kakimu!" titah Davien.
"Tidak Mas. Aku tidak bisa duduk santai seperti ini. Aku takut terjadi sesuatu dengan adikku. Ini lama sekali, Mas. Aku sudah tidak sabar mendengar kabar kalau adikku sembuh dari penyakitnya, aku mau tunggu di sini, Mas!" tolak Liana kembali berjalan mondar-mandir.
Setelah beberapa hampir 4 jam menunggu. Liana dapat melihat lampu operasi yang baru saja padam.
"Mas, lampunya sudah padam. Itu artinya Viola sudah selesai di operasi!" ucap Liana berdiri tegak di depan pintu ruang operasi.
Tak berselang lama, pintu ruang operasi terbuka dan keluarlah dokter yang baru saja menyelesaikan tindakan operasi untuk Viola.
"Dok, bagaimana keadaan Viola? Operasinya berjalan dengan lancar, kan? Adikku sudah sembuh kan?" tanya Liana setelah berhadapan dengan dokter wanita yang menangani adiknya.
Davien berdiri tak jauh dari istrinya. Dia tidak tertarik untuk bertanya sesuatu pada dokter tersebut.
"Dok, jangan diam saja. Aku bertanya, sebaiknya dokter jawab pertanyaanku!" titah Liana lagi.
"Saya akan menjawab pertanyaan Mbak Liana. Alhamdulillah, operasi Viola berjalan dengan lancar. Dan sebentar lagi Viola akan di pindahkan ke ruang rawat." jawab dokter membuat Liana menghembuskan napasnya lega.
"Syukurlah. Jadi, adikku sudah sembuh dari penyakitnya, dok?" tanya Liana dengan senyum bahagianya.
"Bisa dikatakan, adik anda sudah sembuh. Tapi kita perlu mengetahui perkembangan kondisi adik anda beberapa jam setelah operasi. Saya takut, tubuh adik anda menolak donor jantung ini." jawab dokter.
"Tapi aku boleh masuk kan, dok? Aku mau menjenguk adikku! Sebentar saja!" pinta Liana.
"Sebaiknya, anda jenguk adik anda setelah adik anda di pindahkan ke ruang rawat."
"Tapi, dok! Sebentar saja. Aku mau lihat keadaan adikku. Aku janji, hanya 5 menit." pinta Liana memohon. Dia mengatupkan ke dua tangannya di dadda. "Dok, please! Sebentar saja!"
"Baiklah. Tapi hanya beberapa menit. Kalau begitu, saya permisi. Jika terjadi sesuatu, anda bisa pencet tombol yang ada di samping ranjang pasien!" titah dokter yang mendapat anggukan kecil dari Liana.
Dengan perasaan bahagia, Liana berlari masuk ke dalam ruang operasi. Dia dapat melihat adiknya yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit.
"Vi, kamu sudah sembuh. Kakak bangga padamu, Vi!" lirih Liana memeluk tubuh Viola yang tak sadarkan diri.
"Maaf, Bu. Kami akan membawa pasien ke ruang rawat." titah Suster yang baru saja datang bersama beberapa temannya.
"Sebentar lagi, Sus! Aku masih merindukan Viola!" lirih Liana mengeratkan pelukannya. "Kamu cepat sadar, ya, Vi. Kakak tidak sabar melihat tawamu." ujarnya lagi lalu menci um sekilas kening adiknya.
Liana memundurkan langkahnya saat melihat ranjang adiknya terdorong keluar ruangan.
Setelah melihat ranjang adiknya keluar, Liana segera berlari dan mengikuti beberapa suster membawa adiknya.
Davien yang tak jauh dari istrinya pun segera mengikuti setiap langkah jejak istrinya.
Setelah sampai di ruang inap. Liana mendudukan tubuhnya di kursi samping ranjang adiknya. "Terimakasih, kamu sudah membantu kita, Mas." ujar Liana setelah beberapa menit mengabaikan kehadiran suaminya.
"Kamu sudah membalasnya. Jadi, kamu tidak perlu berterimakasih." jawab Davien santai.
"Iya, Mas. Jangan di bahas masalah itu lagi. Aku tidak mau Viola dengar percakapan kita!" titah Liana.
"Kau tidak berhak melarang mulutku ini berbicara." ketus Davien lalu melihat kelopak mata Viola bergerak. "Adikmu sudah sadar!" titahnya lagi.
Mendengar ucapan suaminya, Liana langsung menatap wajah adiknya.
Viola tersenyum saat melihat Kakaknya yang sedang menatapnya.
"Kak!" panggil Viola lirih.
"Iya, Vi. Apa yang kamu rasakan?" tanya Liana memastikan.
"Sedikit nyeri, kak! Apa aku sudah selesai di operasi?" tanya Viola lagi.
"Iya. Kamu sudah selesai di operasi dan semua ini berkat Mas Davien. Dia yang membiayai semua pengobatanmu, Vi." jawab Liana menatap sekilas wajah suaminya.
Viola tersenyum, "Terimakasih Kak. Aku tidak percaya, aku akan bertemu dengan pria berhati malaikat seperti kak Davien ini."
"Kamu tidak perlu berterimakasih. Sudah menjadi tugasku untuk menjaga kalian. Lebih baik, kamu istirahat saja." jawab Davien.
"Iya, Kak." ucap Viola.
Hening. Keadaan menjadi hening. Tidak ada pembicaraan lagi diantara ketiga orang tersebut sampai di mana Liana melirik jam di dinding ruangan yang sudah menunjukkan pukul 3 sore.
"Mas, kamu pulang saja. Ini sudah sore!" titah Liana.
"Tidak. Aku tidak akan pulang. Kau ikutlah aku pulang!" jawab Davien membuat Liana menatap tajam suaminya.
"Mas, kamu--"
"Kak, mungkin arti ucapan Kak Davien itu mau mengantarkan Kakak pulang juga. Iya, kan, Kak Davien?" potong Viola yang mendapat anggukan kecil dari Davien.
"Kau benar, Vi. Aku tidak bisa membiarkan Kakakmu di sini terlalu lama. Lihatlah pakaian kakakmu yang sudah lusuh. Dia butuh air dingin untuk menyegarkan tubuhnya." ujar Davien.
"Iya, benar. Tapi bukankah Kak Liana--" ucapan Viola terhenti saat melihat paper bag yang berada di atas kursi. "Itu paper bag milik kak Liana?" tanya Viola lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments