Jangan Salah Menilai

"Aaarrggghh!" rintihnya keras.

Liara memejamkan kedua matanya, tangannya menggenggam erat lengan Delila hingga membuat gadis remaja itu meringis. Liara kembali meluruskan kedua kakinya, dia membiarkan dosen wanita yang tadi mengurut kakinya kembali melakukan hal menyakitkan itu lagi.

"Jangan di tahan, lepaskan saja. Kakinya lemaskan biar kamu enggak kesakitan kayak tadi,"

Liara tidak menyahut, gadis itu kembali memejamkan kedua matanya- tangannya meremas apa pun yang ada didekatnya.

"Arrrgghh, Daddy!" suara ringisan Liara kembali terdengar. Kali ini lebih keras membuat Hyena dan gengnya semakin menatap sinis pada Liara.

"Lebay banget sih. Kayak gitu aja make teriak gak karuan. Terus sok sok'an manggil Daddy Daddy, jangan jangan itu Sugar Daddynya si kembang lagi, iiiuuww?" cetus salah satu gadis berambut ikal yang tepat berada di samping Hyena.

Gadis itu sama angkuhnya dengan Hyena, bukan hanya gadis itu saja tapi semua gadis yang ada didalam lingkup Hyena memiliki sifat serta sikap yang sama, dan rata rata mereka anak anak dari para konglomerat negeri ini.

"Ya siapa lagi kalo bukan Papi Gulanya, emang dia punya Daddy huh?" tawa meremehkan mereka terdengar. Hyena pun ikut menyunggingkan senyuman sinisnya pada Liara. Sedari awal entah kenapa dia memang tidak suka pada Liara, selain gadis pendiam itu pintar, Liara juga sangat cantik- wajahnya tidak seperti orang Indonesia kebanyakan, lebih terlihat bule dan sedikit Arab juga ada campuran Chinese nya.

Sempurna, satu kata yang bisa Hyena jabarkan, dan itu sangat tidak membuatnya senang. Dia tidak suka ketinggalan satu langkah dari orang lain, dirinya harus tetap berada diatas siapa pun.

"Gue berharap tadi dia tersesat di hutan," cetus Hyena, disambut gelak tawa teman teman gengnya.

Kelakuan para gadis itu tidak lepas dari pandangan Lionel. Pria yang masih memakai kaos hitam dan jaket Hoodie hitam itu terus saja menatap lekat pada Hyena dan gengnya.

Kedua tangannya mengepal erat, Lionel duduk tenang dipintu tendanya yang dia buat tadi sore. Sepertinya pria itu memang sudah mempersiapkan ini semua, dan beruntungnya pihak panitia kampus mengizinkannya ikut, karena Ayah Hyena langsung yang meminta pada pihak kampus.

Kedua bola mata Lionel tertuju pada Liara yang masih meringis kesakitan, siluet api unggun yang menerangi malam pertama mereka berkemah terlihat menyinari wajah gadis berbaju biru itu.

Sang Bunga terlihat bersinar didalam temaram malam. Kedua matanya berkilau terkena bias api unggun karena menahan sakit, dan itu tidak luput dari pandangan Lionel.

Ekor mata Lionel melirik jam yang melingkar di tangannya, waktu sudah menunjukan pukul 18 lewat 35 menit, yang artinya waktu yang dibeli oleh Ayahnya Hyena sudah habis, dan kini kebebasan sudah didepan kedua matanya.

Pria bertato ular dan pria bersayap itu meneguk minuman sodanya, netra tajamnya terus saja terarah pada Liara yang sudah selesai diurut. Gadis itu terlihat menghela napasnya, dan mengusap ujung matanya. Lionel yakin kalau Bunga Kecil itu tengah menangis tanpa suara, bahkan dia melihat Liara tengah di berikan minum oleh gadis remaja yang dia kenal sebagai adik sepupu Sang Princess itu.

"Lain kali Kak Ara gak usah masuk hutan lagi, untung cowok itu masih ada dibelakang Kakak, kalo gak ada gimana coba?" Delila terus saja mengoceh, gadis remaja berjaket moccha tebal itu memberikan satu cup mie instan pada Liara dan satu butir telur rebus untuk makan malam mereka hari ini.

Ekor mata Delila melirik pada pria yang sudah menolong Liara tadi siang, kedua matanya memindai pria itu dari atas hingga bawah.

Ganteng, rapi, kelihatan kayak mahasiswa teladan. Terlebih saat ini pria yang bernama Gading itu tengah memainkan gitar dan tertawa kecil bersama teman temannya.

"Dia kayak cowok baik baik. Liat deh, udah ganteng, ketua BIM kampus kita lagi, uuhh berarti dia salah satu mahasiswa pinter ya. Perfect banget sih, coba kalo dia mau jadi cowok Kak Ara- aku pasti du-,"