Putus Asa

Beberapa hari kemudian, tepat sehari sebelum akad nikah dilaksanakan, Cahaya mendatangi kediaman Bram dan istrinya. Ia dipaksa mengantarkan makanan oleh Tantenya untuk menarik simpati Bram. Sebenarnya ia tidak mau, tetapi karena paksaan tantenya, ia pun pergi ke sana.

Mobil taksi yang ia tumpangi sudah sampai di sebuah rumah yang lumayan besar, yang nanti akan ia tempati bersama Bram dan juga istri pertamanya.

Cahaya menarik napas, lalu mengeluarkannya perlahan. Ia masih belum siap untuk bertemu mereka setelah kejadian waktu itu.

Memang, tantenya sudah menelepon Bram dan memberi tahu bahwa pernikahan tetap berlanjut, tetapi, ia belum bisa memastikan apakah Bram akan sekasar kemarin atau tidak.

Langkah Cahaya berhenti tepat di depan pintu rumah Bram setelah sebelumnya satpam membukakan pintu gerbang untuknya.

Ia ingin mengetuk, namun terdengar tawa renyah dua orang insan di bagian samping rumah. Cahaya melangkah menuju samping rumah yang terdapat taman kecil di sana. Ternyata benar, Bram dan Lia ada di sana sedang bercanda ria dengan mesranya di atas ayunan besi.

Hati Cahaya sangat sakit melihatnya. Meskipun Bram telah jahat padanya, tetapi ia tidak bisa memungkiri bahwa ia masih menaruh rasa pada Bram.

Ia hendak menghampiri mereka, tetapi langkahnya terhenti saat Bram berceletuk.

"Bagaimana menurut mu? Aku sangat pintar, kan? Aku memenangkan taruhan dengan teman-temanku untuk mendapatkan cinta gadis bodoh itu. Kau lihat mobil mewah yang mereka berikan sebagai hadiah kemenangan ku." Bram tersenyum senang.

"Kau sangat pintar, Sayang. Lalu, kenapa kau masih mau menikah dengannya? Apa kau mencintainya?" tanya Lia penuh selidik.

"Tidak, Sayang. Mana mungkin aku mencintai gadis bodoh itu. Dengar, menurut mu, bagaimana kalau kita tidak perlu membayar jasa asisten rumah tangga." Bram tersenyum penuh makna.

"Apa maksud mu? Mana ada yang mau bekerja tanpa dibayar? Hanya orang bodoh yang,,,,," Lia menghentikan ucapannya ketika menyadari sesuatu. Ia pun tersenyum pada Bram. "Maksud mu, Cahaya akan menjadi pembantu kita secara gratis?"

"Benar, kita tidak perlu repot-repot menggajinya. Dan ketika kita punya anak nanti, biar dia saja yang mengurus, kita hanya perlu bersenang-senang."

"Ku dengar kau akan menyuntikkan dana yang cukup besar pada keluarga itu?"

"Ya, tapi dengan catatan sebagian saham restoran menjadi atas namaku. Aku pintar, 'kan?"

"Hah! Apakah mereka setuju?"

"Mereka setuju karena restoran mereka di ambang kebangkrutan. Dan hanya aku yang mau menyuntikkan dana pada mereka. Jadi, hartaku tidak akan ku berikan percuma pada mereka."

"Wah, kau sangat pintar." Lia mencubit pipi Bram dengan gemas.

Cahaya terduduk setelah mendengar semua rencana Bram. Tidak sangka, cinta tulusnya akan dibalas penghianatan yang begitu menyakitkan. Bahkan ia akan dijadikan pembantu gratis di rumah besar ini. Tidak, Cahaya tidak akan sanggup.

Ia pun segera kembali ke rumah untuk melaporkan berita ini pada Om dan tantenya.

Namun, sesampainya di rumah, ia melihat om dan tantenya sedang bertengkar dan saling menyalahlan. Mereka memecahkan barang-barang di dalam ruang tamu yang sudah seperti kapal pecah.

"Sial!!! Kenapa bisa begini! Kau itu memang istri yang bodoh! Bagaimana bisa kau bisa menggunakan uang tanpa seizinku? Kau tertipu oleh investasi bodong! Padahal uang itu akan kita gunakan untuk menggaji para karyawan dan juga untuk biaya hidup kita!" Doni membentak Ririn dengan sorot mata yang sangat tajam.

"Aku tidak tahu kalau mereka menipu. Aku hanya ingin menggandakan uang kita. Kau juga bersalau karena menggadaikan rumah ini tanpa sepengetahuan ku untuk modal usaha, padahal untuk bermain perempuan!"

"Aku sudah minta maaf padamu dan aku juga salah! Aku juga ditipu olehnya! Jangan menutupi kesalahan mu dengan menyudutkan ku. Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau juga bermain api dengan berondong?" Doni menatap Ririn dengan tatapan ingin membunuh.

Ririn terkejut karena perbuatannya diketahui suaminya.

"Aku, aku melakukan itu karena kau yang duluan selingkuh!" Mencoba membela diri.

"Sudah! Sekarang bukan waktunya memikirkan itu. Sekarang pikirkan bagaimana menyelamatkan restoran kita! Bram telah meminta saham 50 persen jika ingin dia menyuntikkan dana. Tentu itu akan mengurangi pendapatan kita" Doni duduk ke sofa sembari memegangi kepalanya, begitu juga dengan Ririn.

"Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan! Apa kau punya ide?"

Doni mengangkat kepalanya setelah mendapatkan ide brilian. "Lupakan Bram. Aku lupa memberitahu jika ada seorang pria tua yang ingin menikahi Cahaya dan memberikan kita uang satu milyar. Itu jumlah yang sangat banyak dibanding dengan tawaran Bram berengsek itu."

"Tapi pernikahannya besok."

"Itu hanya pernikahan siri dan tidak ada resepsi. Kita bisa membatalkannya. Aku akan menghubungi tua bangka itu." Doni langsung menelepon pria tua itu. Terlihat ia tersenyum senang saat mendengar jawaban dari si pria tua.

Ia menatap Ririn dengan senyuman. "Dia mau! Cahaya akan menjadi istri ke-empatnya."

"Bagus, bagaimana memberitahu Bram?"

"Aku akan menyuruh wakilku ke rumahnya dan memberitahukan pembatalan ini. Pernikahan akan tetap dilakukan besok. Kita hanya perlu menunggu Cahaya pulang. Tidak perlu diberitahu, dia hanya perlu menurut saja."

Ririn pun tersenyum lega. Akhirnya masalah mereka terpecahkan.

Cahaya yang sedari tadi menguping dari luar hanya bisa menangis pasrah. Ia jatuh terduduk di samping teras rumah tersebut.

Hari yang semakin sore membuat hatinya kian berkecamuk. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah itu tanpa sepengetahuan mereka. Bukan untuk kabur, melainkan untuk mengakhiri hidupnya yang sudah tidak ada harapan lagi.

***

Hari sudah gelap, namun jembatan penyeberangan masih banyak orang. Cahaya pun menunggu hingga jembatan tersebut sepi. Ia memilih tempat yang ramai untuk bunuh diri. Karena kalau di tempat sepi atau sungai, ia takut jasadnya akan lama ditemukan atau malah membusuk dengan kondisi mengerikan. Jika gantung diri, katanya sakitnya akan menyiksa. Ia hanya ingin mati dengan sekali lompat. Kalau menabrakkan diri ke mobil, belum tentu langsung tewas, begitu pikirnya. Ia pun menunggu di bawah jembatan, tepatnya di trotoar sambil menangis.

Sementara di rumah, om dan tantenya kebingungan karena Cahaya belum pulang. Kalau sampai besok Cahaya tidak jadi menikah, maka mereka akan menggelandang di jalanan. Mereka sudah menelepon ke semua orang yang mungkin Cahaya temui, namun tak satupun tahu keberadaannya. Kini, mereka menyesal kenapa dulu tak memberikan Cahaya ponsel untuk sekadar berfungsi menelepon dan berkirim pesan.

Malam semakin larut, setelah dirasa sudah sepi, Cahaya pun berjalan ke atas jembatan penyeberangan dengan mata sembab dan bengkak, ia berjalan dengan langkah gontai. Sesekali wajahnya menghadap ke atas langit. Ada rasa ragu dalam dirinya, namun rasa itu langsung lenyap seketika ketika mengingat nasibnya besok jika ia tetap hidup.

Ia pun melangkah ke tengah-tengah jembatan. Melihat ke sisi kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang akan melihatnya.

Ia pun membuka sendal usang yang dipakainya. Pandangan matanya sudah mulai buram karena menangis seharian.

Ia pun menaiki pagar jembatan satu persatu hingga sebagian tubuhnya sudah melewati ujung pagar yang terbuat dari besi tersebut.

"Ya Allah, maafkan aku, aku sudah tidak sanggup hidup lagi di dunia ini. Sejak kecil aku sudah yatim piatu, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari om dan tanteku, dijadikan seperti pembantu, dan besok aku harus menikahi pria tua beristri tiga demi memuaskan keserakahan om dan tanteku. Aku terpaksa mengakhiri hidupku agar aku tidak menderita lagi."

Cahaya menaiki pagar besi hingga akhirnya ia berada di luar pagar dengan masih berpegangan. Saat melihat ke bawah, ia sangat takut dengan ketinggian jembatan yang hanya bisa diseberangi orang itu.

"Tinggi sekali, apa aku pindah tempat saja?" gumam Cahaya sambil menatap ngeri pada jalanan dengan beberapa mobil yang lalu lalang meski sudah larut malam.

"Tidak! Kalau aku pindah, belum tentu tempatnya akan sepi seperti tempat ini. Baiklah, aku akan melompat. Selamat tinggal dunia, sampai pada mereka bahwa aku terluka." Cahaya menutup matanya sembari melepaskan pegangannya pada besi pagar.

Tiba-tiba, seseorang menahan tubuhnya. Cahaya terkejut karena ternyata masih ada orang di sana. Ia pun menoleh dan melihat seorang pria berbadan tegap tengah menahan tubuhnya dengan memegangi tangannya supaya tidak jatuh.

"Lepaskan, Tuan, aku ingin mati!" Cahaya memberontak meminta dilepaskan.

"Jangan, Nona, hidupmu masih panjang. Masih ada cara menyelesaikan masalahmu." Pria itu mencoba membujuk Cahaya.

"Kau tidak mengerti. Masalahku sangat berat!"

"Nona, kalau kau bunuh diri, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Apa kau tahu, jika orang yang bunuh diri akan kekal di neraka? Kau mau kekal di sana?" Pria itu mencoba memperingatkan Cahaya.

"Tapi aku sudah cukup menderita hidup di dunia!"

"Di akhirat kau akan menderita selamanya. Bahkan ratusan kali lipat lebih pedih daripada penderitaan mu di dunia. Nona, Allah membenci manusia yang menyia-nyiakan hidupnya!"

Cahaya terdiam. Benar juga kata pria itu, jika dia mati, maka penderitaannya diakhirat jauh lebih menyiksa dan juga kekal.

Ia pun berbalik hendak mengurungkan niatnya. "Tuan, aku akkkkkhhhhh!!!" Kaki Cahaya terpeleset dari pinggir dan kini ia bergelantungan dengan satu tangan yang masih dipegang pria itu.

"Nona! Pegang tanganku!" Pria itu kembali berteriak.

"Tolong aku! Aku tidak ingin mati sekarang!" Cahaya kini menangis kencang menyesali kebodohannya tadi. Bergelantungan begini saja sudah membuat jantungnya hampir copot. Bibirnya sampai bergetar sangking takutnya menghadapi kematian jika pegangan tangan dari pria itu terlepas.

Pria itu dengan sekuat tenaga menarik tangan Cahaya hingga akhirnya Cahaya berhasil di selamatkan.

Karena refleks, Cahaya langsung memeluk pria tersebut dan menangis. Ia benar-benar takut setengah mati.

Pria tersebut menenangkan Cahaya sembari menepuk-nepuk punggungnya. "Sudahlah, sekarang kau baik-baik saja."

Cahaya melepas pelukannya. Dilihatnya dengan jelas, bahwa pria tersebut berpakaian rapi seperti orang penting, mempunyai postur tubuh yang tinggi, dan berwajah sangat tampan.

Setelah memastikan bahwa pria tersebut bukan tukang culik, Cahaya kembali memeluknya dengan erat sembari mengucapkan terima kasih.

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

beruntung Cahaya diselamatkan oleh pria itu.....

2024-04-05

0

yatun divia

yatun divia

Mkc kakak author karyanya 🙏🤩

2023-07-12

0

renita gunawan

renita gunawan

cahaya,sabar ya.daripada kamu bunuh diri,lebih baik kamu pergi jauh meninggalkan paman dan bibimu.juga bram

2023-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!