"Ma...!!! Ucap ku lagi dengan begitu panik.
Suaraku terasa tercekat di tenggorokanku karena tidak mendengar balasan dari Mama untuk yang kedua kalinya.
Terasa seperti ada sebuah batu besar yang menghujam ke arah ku saat melihat tempat tidur itu kosong. Aku merasa mati dari dalam diriku.
"Sayang....!!!" Sebuah suara yang terdengar begitu lemah berbisik dari arah sofa.
Aku langsung berlari ke arahnya, memeluknya dengan erat dalam lengan ku. Aku ketakutan seolah saat ini adalah menjadi yang terakhir kalinya aku bisa memeluk Mama dan aku bergelayut pada Mama dengan begitu erat seperti anak yang ketakutan dan baru saja menemukan ibunya setelah terpisah dari ibunya.
Aku akhirnya bisa bernafas lega.
"Sayang, kau akan membuat Mama sesak." Ucap Mama dengan tawanya.
Aku lantas melepaskan pelukanku pada Mama. Pipiku terasa memanas dan aku langsung mencium kening Mama berkali-kali.
Aku hampir saja tak sadarkan diri karena ketakutan setelah aku berpikir bahwa Mama akhirnya berhenti berjuang untuk melawan kanker stadium 3 yang Mama idap selama ini.
Mama adalah satu-satunya yang aku punya sekarang, setelah Papa meninggal beberapa tahun yang lalu karena penyakit kronis yang dialaminya. Aku tidak bisa menerima jika aku harus kehilangan Mama juga. Pikiran itu bahkan sudah membunuhku.
"Aku pikir.... Aku pikir Mama..." Air mataku langsung terjatuh di pipiku saat aku berlutut di depan Mama.
Rasa sakit itu sangat parah hingga aku tidak bisa bernapas dengan benar.
"Hus.... berhentilah menangis Putri. Mama benci melihat matamu yang indah itu menangis."
Tubuh Mama yang kurus itu selalu mendekap ku dengan cintanya yang hampir selama 23 tahun itu terus mengusap air mata di pipiku.
"Pertama kali Mama melihatmu menangis adalah saat kau dilahirkan. Dan saat itu Mama berjanji kepada diri Mama sendiri, untuk selalu mengusap air mata dari matamu yang indah itu. Mata mu adalah mata yang paling indah yang pernah Mama lihat. Dan Mama berjanji kepada diri Mama sendiri untuk mencurahkan cinta yang Mama punya ke padamu selamanya."
Bibir Mama melengkung, menyiratkan sebuah senyuman yang membuat hatiku luluh. Sentuhan lembut tangan Mama mengusap rambutku yang berantakan untuk membuatnya rapi.
"Jadi berhentilah menangis. Mama mau melihat matamu yang berwarna hijau dan coklat itu dengan jelas." Ucap Mama dan menatap kearah mataku yang memang memiliki kelainan dengan warna iris yang berbeda di kedua bola mataku, yang sebelah kiri berwarna coklat dan yang sebelah kanan berwarna hijau.
Kelembutan dari suara Mama menghentikan air mataku saat aku berdiri setelah berlutut di lantai.
"Ini sudah larut malam. Mama harus tidur." Ucap ku seraya mengambil album foto dari pangkuan Mama dan membantu Mama untuk bangun dari sofa.
Mama begitu kurus hingga aku bisa menggendong Mama di lengan ku tanpa kesulitan sedikitpun.
"Aku tidak akan menangis lagi Ma." Ucapku.
"Janji?" Ucap Mama.
"Aku berjanji Ma." Balas ku.
Aku membuat janji kelingking dengan Mama. Mama lantas memberikan senyuman ceria yang membuat kekhawatiran ku mendadak menghilang begitu saja. Mama tidak mengatakan apapun saat aku menaruh tubuh Mama di atas tempat tidur.
"Salah satu momen yang paling membahagiakan dalam hidup adalah melepaskan salah satu hal yang tidak bisa kau rubah. Selama proses itu, kau akan kehilangan seseorang dengan penuh rasa sakit. Tapi hanya dengan cara seperti itu kau bisa menemukan jati dirimu sendiri." Ucap Mama.
Aku lantas menemani Mama tidur dan tetap berada disisi Mama. Hal itu membuat hatiku terasa bahagia karena mengetahui satu-satunya harta yang bisa aku jaga selama ini ada bersamaku. Tidak lama setelah itu, Mama pun tertidur lelap. Aku mendengarkan nafas Mama yang lembut, saat aku melihat dada Mama yang naik dan turun dengan perlahan.
"I love you Ma." Bisik ku dan mencium pipi Mama.
Bibirku melengkung tersenyum saat aku mendengarkan Mama merespon ucapan ku dalam tidurnya.
"I love you too sayang."
Aku lalu duduk di sebuah sofa dan mengambil gitar yang menggantung di tembok. Jemari ku menarik resleting tas gitar itu dan mengeluarkan gitar kesayanganku dengan lembut.
Gitar itu adalah pemberian Mama saat aku berusia 18 tahun dan aku sangat mengagumi gitar itu karena Mama yang memberikannya kepada ku.
Aku mulai memainkan senar. Suara pertama yang aku buat begitu menakjubkan, aku bahkan hampir menutup mataku karena merasakan kehangatan yang tersebar di hatiku. Aku merasakan ketenangan dari dalam diriku dan memainkan senar gitarku sembari menutup mataku.
-------------------------------------
"Tolong Mama, jangan tinggalkan aku. Aku mohon." Ucap ku dengan begitu putus asa yang terdengar dari ruangan kedelapan dari lorong rumah sakit.
Suara tangis ku yang menjadi-jadi memenuhi ruangan itu dan aku bergelayut dengan begitu erat pada tubuh Mama yang sangat dingin. Aku tidak mau membiarkan Mama untuk pergi. Mama tampak begitu kurus dengan kulitnya yang menempel di tulangnya yang membuatku semakin terluka. Melihat Mama yang seperti itu membuat hatiku seperti terasa berdarah.
Mama begitu membeku saat aku mencoba dengan semampuku untuk menggenggam tangan Mama dalam ketakutan yang sangat dalam.
"Mama minta maaf sayang." Ucap Mama dengan suara yang begitu lemah.
Air mata Mama terjatuh ke wajahnya dan menghembuskan nafas dengan lemah. Jemari Mama bergetar kemudian menjadi membeku dan terjatuh seperti pohon yang tumbang.
Suara teriakan keluar begitu saja dari tenggorokanku. Rasa takut dari dalam hatiku membuat pipiku memanas.
"Tolong jangan lakukan ini padaku Ma."
Aku memohon dan terus memohon sampai suaraku terdengar serak bahkan aku terdengar seperti seorang yang berbisik dan sampai aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku.
"Tolong, jangan tinggalkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku Ma."
Dengan kekuatan terakhir yang aku punya dan aku pun mencoba berdiri, namun aku terjatuh ke lantai. Untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku berharap bahwa aku juga ikut mati bersama Mama.
Aku pun terbangun dengan suara nafasku yang terengah-engah. Aku mendapati diriku yang ternyata tertidur di sofa di dalam ruangan Mama, setelah memainkan gitar tadi. Aku mengambil nafas dalam sebelum aku mengambil air untuk minum. Namun lebih dulu aku melihat tempat kepalaku berbaring yang sudah basah karena dipenuhi dengan air mata. Aku tiba-tiba berpikir sudah berapa lama aku menangis.
Jantungku terus berdegup kencang di dalam dadaku, seolah aku tengah berlari maraton dan disaat yang bersamaan merasa ketakutan karena aku mendapat mimpi buruk itu terus ada dalam diriku. Kemeja merah yang aku gunakan sudah basah dipenuhi dengan keringat dari mimpi yang tampak nyata tadi itu, yang membuatku kehilangan kekuatanku.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
EndRu
syukurlah cuma mimpi
2023-03-25
0
Dania🌹
kesedihan bertubi tubi
2022-12-06
0
Xyylva Xyylva
tetap semangat mbak
2022-11-11
0