Bab 5. Bayi Yang Ditukar

Salah satu rumah megah di tengah Ibu Kota Malaysia nampak terlihat begitu bahagia. Kehadiran bayi laki-laki yang sudah lama diimpikan oleh pemilik rumah itu, membuat suasana semakin hangat dan bahagia.

"Namanya Langit Al-fattah, Pi." Ucap laki-laki yang sedang menggendong bayi kecil itu.

Lelaki yang sudah terlihat renta itu, menggeleng tegas.

"Namanya Langit Eldar Fattah." Ucap lelaki itu, tegas.

Amar pun mengangguk. Ia tahu bagaimana pentingnya nama Eldar dalam keluarga.

"Bagaimana dengan ibunya? Apakah pemakamannya sudah selesai?" Tanya laki-laki itu lagi.

Amar menggeleng.

"Aku tidak tahu, Pi. Adiknya yang mengurus semua itu. Aku sudah memberikan uang yang cukup untuknya." Jawab Amar.

Terlihat lelaki tua itu menarik nafasnya yang begitu berat, sambil menatap lekat wajah putranya.

"Papi tahu kamu mencintainya, lakukanlah sesuatu yang baik di akhir hayatnya." Ujar laki-laki itu.

Namun, Amar segera menggeleng.

"Adik Indira memohon untuk jadi baby sitter Eldar, Pi. Boleh?" Tanya Amar.

"Jika menurutmu wanita itu layak, maka lakukanlah." Jawab laki-laki tua itu.

Amar kembali mengangguk. Setelah memberikan bayi kecilnya pada salah satu pengasuhnya, Amar melangkah keluar dari kamar putranya menuju ruang kerja.

Di dalam kamar itu, lelaki tua yang baru saja ditinggalkan, hanya bisa menatap punggung putranya, sendu.

Benar kata orang, waktu yang sudah terlewati tidak akan pernah bisa di putar kembali. Karena kesalahan mereka di masa lalu, membuat putranya itu bersikap dingin bahkan tidak mempedulikan kematian wanita yang pasti masih dicintai nya hingga kini.

Setelah tubuh tinggi Amar tidak lagi terlihat, lelaki renta itu pun ikut melangkah keluar dari dalam kamar mewah itu. Membiarkan pengasuh mengurus cucunya dengan baik.

"Amar di mana?" Tanya laki-laki tua itu saat mendapati putranya tidak berada di ruang kerja. Beberapa saat kemudian, bunyi mesin mobil terdengar dari pelataran rumah, membuat laki-laki tua itu tersenyum.

"Putramu begitu mirip dengan ku." Gumamnya sambil menatap pigura besar yang menghiasi ruang kerja putranya. Pigura yang berisi foto mendiang istrinya itu, ia tatap dengan hangat penuh cinta.

"Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya seseorang yang sedang berada di dalam ruang kerja.

Lelaki tua itu menggeleng, lalu beberapa saat kemudian ia melangkah keluar dari dalam ruang kerja.

Tubuhnya tidak lagi sekuat dulu, jadi tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengurus banyak hal.

Di perjalanan mobil yang dikendarai Amar masih terus melaju kencang. Sesekali ia melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya saat mobilnya berhenti di persimpangan lampu merah. Memastikan jika wanita yang pernah mengisi hidupnya itu, masih belum dimakamkan.

Karena kecepatan mobil yang begitu kencang, membuat Amar tidak membutuhkan waktu lama tiba di rumah yang dulu pernah di tempati Indira dan juga dirinya.

Setelah turun dari dalam mobil, Amar terdiam sesaat sambil menatap bangunan yang sudah tidak terurus itu dengan dalam. Ada banyak kenangan manis di dalam rumah itu. Meskipun begitu, tidak sedikit pula air mata Indira menetes di rumah itu.

Di dalam rumah itu, Andini berlari keluar setelah mendengar kedatangan Amar dari para petugas pemakaman yang ia sewa untuk mengurus pemakaman kakaknya.

"Saya pikir Bapak tidak akan datang." Ucap Andini.

Amar tidak menjawab. Laki-laki itu melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa berniat menatap apalagi menjawab kalimat adik iparnya.

Bertepatan dengan itu, mayat Indira sedang di masukkan ke dalam liang lahat oleh para pekerja pemakaman. Amar berdiri di samping makam, sambil terus menatap jasad wanita yang sudah terbungkus kain kafan.

Semua berhenti di sini. Penderitaan Indira pun berhenti di sini. Begitulah yang ia pikirkan sekarang. Namun, tidak dengan perasaan yang masih ia miliki untuk Indira. Sampai kapan pun, akan ia simpan rapi di dalam hatinya, karena hanya dengan cara seperti itu, bisa memberinya kehidupan yang sebenarnya.

"Papi memberimu izin untuk menjadi pengasuh Eldar. Kamu harus tinggal di rumah, dan jangan membuat masalah!" Ujar Amar tegas. Laki-laki itu lalu melangkah meninggalkan pekarangan belakang dan masuk ke dalam rumah setelah para pekerja pemakaman mulai menimbun makam Indira.

***

Di salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta, Zahra sudah terlihat jauh lebih baik. Meskipun masih nampak terlihat kesedihan di matanya, tak membuat wanita itu mengabaikan bayi yang tidak berdosa, meskipun bukanlah darah dagingnya.

Di sudut ruangan, Riyan begitu bersemangat menyiapkan susu formula untuk bayi kecil itu, karena Zahra tidak bisa melakukan tugas itu dengan baik. Sakit yang ia alami beberapa hari, membuat air susunya terhenti.

"Namanya Jingga, Mas." Ujar Zahra tiba-tiba, saat Riyan sudah kembali dan duduk di samping ranjang tempat berada. Sama seperti biasanya, Zahra masih terus mengusap lembut rambut halus yang keluar dari penutup kepala bayi itu.

"Nama yang cantik." Jawab Riyan sambil tersenyum hangat ke arah Zahra. Ia lalu menyerahkan botol bayi yang sudah berisi susu pada istrinya itu.

"Untuk kelanjutannya biar Mas yang tentukan." Ucap Zahra sambil meraih botol susu yang sedang terulur kearahnya.

"Jingga Azzahra." Jawab Riyan enteng, membuat Zahra tertawa geli.

"Kenapa Azzahra. Itu kan namaku, Mas." Ujar Zahra gemas.

"Yah, karena aku sudah terlalu cinta dengan nama itu. Siapa tahu aja, jika nanti kita memberi nama itu, aku akan semakin mencintai nya sama seperti aku mencintai mu." Jawab Riyan menggoda, membuat Zahra cemberut.

"Aku serius, Mas." Rengek nya.

"Loh katanya aku yang tentukan." Ucap Riyan. Laki-laki itu sudah ikut duduk di atas ranjang, sambil mengecup bibir tipis istrinya. "Jingga Az-Zahra Hermawan. Bagaimana?" Tanya Riyan lagi.

Zahra yang masih saja merona saat Riyan mengecup nya, mendorong pelan tubuh suaminya itu agar sedikit menjauh dari tubuhnya.

"Aku masih masa nifas selama lebih dari empat puluh hari loh." Ujarnya memperingati dengan wajah yang semakin bersemu.

Riyan terbahak.

"Aku hanya ingin mencium mu, bukan meniduri mu." Ucapnya sambil tertawa geli.

"Biasanya Mas kalau udah cium-cium bibir gitu pasti ada maunya." Ujar Zahra tidak mau kalah.

"Ra, kenapa harus empat puluh hari sih? Bisa ga kita kurangi aja." Rengek Riyan sambil membawa kepalanya tenggelam di bahu Zahra. Kedua tangannya sudah mendekap tubuh Zahra sekaligus bayi mungil yang sedang berada di atas pangkuan istrinya itu.

"Yah ga bisa lah, Mas." Jawab Zahra semakin memerah.

"Tapi aku mau, bagaimana dong." Goda Riyan masih terus menenggelamkan kepalanya di leher Zahra. bahkan kecupan menggoda sesekali ia daratkan di bahu istrinya itu.

"Dasar!" Pukul Zahra di tangan yang sedang melingkar di tubuhnya, membuat Riyan meringis kesakitan.

"Ibu kamu jahat banget, Sayang." Adunya pada bayi yang masih terlihat nayaman dalam pelukan ibunya.

"Ayah kamu sih, jail." Balas Zahra, keduanya lalu tertawa bersama.

Riyan kembali membawa tubuh Zahra serta bayi kecil itu ke dalam dekapannya. Yah, tidak ada jalan lain untuk menghadapi ujian dari-Nya, selain terus menjalaninya dengan penuh syukur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!