Bab 4. Kesedihan Zahra

Suasana haru penuh syukur menyelimuti ruangan di mana Zahra berada. Wanita yang baru saja tersadar dari koma selama beberapa hari itu, memamerkan senyum terbaik di bibir pucat nya. Agar orang-orang yang begitu menyayangi dirinya yang kini sedang berada di dalam ruangan itu, tidak lagi merasa khawatir akan dirinya.

"Dia bayi yang cantik." Suara sang Ibu mertua, semakin menambah merekahnya senyum di bibir Zahra. Wanita yang masih tetap terlihat cantik dengan wajah pucat nya, kini sudah berbinar menanti bayi yang masih berada dalam gendongan ibu mertuanya.

"Apa dia rupawan seperti Ayahnya?" Tanya Zahra sambil mengalihkan tatapannya pada sang suami yang masih terus menggenggam erat jemari tangannya. "Aku ingin memeluknya? Bolehkah?" Tanyanya lagi. Kali ini sambil menatap penuh permohonan pada Riyan yang entah mengapa terlihat sedih.

"Tentu saja, dia sudah sangat merindukan pelukan ibunya." Jawab Eliana sambil membawa bayi mungil yang ada dalam dekapannya, menuju Zahra.

"Terimakasih, Ibu." Ucap Zahra tulus.

Eliana mengangguk. Wanita paruh baya itu lantas menjauh dari sisi ranjang, dan melangkah menuju sofa untuk memberikan ruang pada putranya. Kini bayi mungil nan cantik itu sudah berada di pangkuan Zahra.

"Cantik. Sangat cantik." Gumam Zahra. Ia lalu merapikan rambut halus yang menyembul keluar dari penutup kepala bayi itu. Sedangkan Riyan, sudah berpaling. Mengusap air mata yang tiba-tiba memaksa keluar dari sudut matanya, dengan kasar.

Hening mengambil alih ruang rawat itu. Tidak ada suara yang terdengar, hanya sedikit sesenggukan samar dari sofa yang ada di sudut ruangan terdengar di sana.

"Dia bukan anak kandung kita, Ra." Ucap Riyan ragu.

Zahra yang tengah serius mengusap kening bayi mungil yang ada di atas pangkuannya, menoleh. Keningnya mengerut, ia menatap heran pada wajah tampan yang selalu membuatnya jatuh cinta itu.

"Bayi kita laki-laki. Ada seorang perawat yang tidak bertanggung jawab menukarnya dengan bayi ini. Aku, Ayah dan Paman Kean sedang berusaha menemukannya." Jelas Riyan.

Zahra terpaku di atas tempat tidurnya. Kini, tatapannya sudah tertuju pada beberapa orang yang sedang duduk di sofa di sudut ruangan. Lalu kembali beralih pada wajah tampan yang nampak terlihat sedih.

"Maafkan aku tidak bisa menjaga nya. Aku terlalu takut kehilangan kamu." Ucap Riyan lagi.

Zahra menelan saliva nya yang entah mengapa tiba-tiba terasa begitu pahit di tenggorokan. Masih tanpa suara, kini tatapannya sudah berpindah pada bayi kecil yang sedang terlelap dengan begitu tenang di atas pangkuannya.

Entah apa yang harus ia lakukan. Sedih bercampur marah, namun, ia tidak tega melampiaskan kemarahannya itu bayi yang tidak memiliki dosa ini.

"Kita akan merawat nya dengan baik, sembari berharap orang yang membawa bayi kita pergi juga akan melakukan hal yang sama." Bujuk Riyan. Namun, Zahra masih saja bungkam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Bahkan senyum bahagia bercampur haru, juga binar di manik indahnya menghilang begitu saja. Wanita yang kini nampak terlihat murung, hanya menatap bayi yang ada di atas pangkuannya dengan sendu.

"Mas, tolong bawa bayi ini ke tempat tidurnya." Pinta Zahra.

"Sayang..." Kalimat Riyan terhenti. Saat ini, hati nya kembali hancur saat melihat air mata mulai menetes membasahi pipi istrinya. "Baiklah aku akan membawanya." Sambung Riyan sambil beranjak dari atas tempat duduknya. Meraih tubuh bayi yang ada di atas pangkuan Zahra, lalu membawanya menuju tempat tidur bayi itu.

Setelah Riyan melangkah menuju box bayi, Zahra kembali merebahkan tubuhnya dan tersedu di sana.

Terlihat di ujung ruangan, Eliana hendak beranjak dari atas sofa, namun, Kenan segera mencegah nya.

"Tidak ada yang bisa menerima dengan mudah kenyataan pahit ini. Bagaimanapun baiknya orang tersebut, pasti akan terluka jika mendapati kenyataan seperti ini." Ujar Kenan.

Eliana menarik nafas berat, lalu kembali duduk di atas sofa di samping suaminya.

"Benar Aunty, biarkan Zahra merasa lebih baik dulu." Ucap Riana menimpali.

"Ibu dan Ayah pulang dulu. Biar Riyan yang akan menjaganya." Ucap Riyan setelah selesai meletakkan bayi kecil itu dengan nyaman di tempat tidurnya.

"Ibu ingin di sini." Jawab Eliana.

"Kamu harus beristirahat, El." Pinta Kenan. Wanitanya ini memang terkenal keras kepala. Namun, demi kebaikan bersama, guna untuk memberikan ruang dan waktu pada Zahra ia harus memaksa istrinya pulang.

"Aku harus memastikan Zahra baik-baik saja, Bang. Kasian dia. Aku aja yang tidak melahirkan bayi itu, sedih banget. Bagaimana dengannya.." Mohon Eliana agar Kenan tidak menbawanya pulang.

"Bu, dia akan baik-baik saja. Riyan pasti akan menjaganya dengan baik." Ujar Riyan lagi.

Merasa tidak memiliki pilihan lain, Eliana akhirnya menuruti permintaan suami dan putranya. Kean dan Rianti pun sudah beranjak dari atas sofa, dan melangkah menuju ranjang di mana Zahra sedang terbaring.

Zahra yang memang selalu mengedepankan sopan santun dan etika di bandingkan kesedihannya itu, membalik tubuhnya lalu tersenyum pada orang-orang yang kini melangkah mendekati ranjang tempat dirinya berbaring.

Wajahnya terlihat sembab oleh air mata. Hidungnya memerah, wajahnya pucat. Benar-benar memprihatinkan.

"Ibu sama Ayah pulang ya, Nak. Kamu cepat sembuh. Jangan khawatir, Ayah dan seluruh keluarga akan terus melakukan yang terbaik agar bayi kamu di temukan." Ujar Eliana.

Zahra mengangguk.

"Terimakasih, Bu." Jawabnya.

Kean dan Rianti juga berpamitan. Begitupun Riana dan Fikri.

Setelah kepergian orang-orang baik itu, Zahra masih duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Ia menatap laki-laki yang begitu dicintainya itu dengan begtiu lekat.

"Maaf atas sikap buruk ku ya, Mas." Ucap Zahra penuh sesal karena sudah bersikap tidak baik.

"Aku ngerti. Aku pun sedih dan marah setelah mengetahui kenyataan itu. Tapi Ra, bayi itu tidak berdosa. Tidak ada salahnya kita merawatnya, sambil meminta pada sang kuasa agar orang yang menemukan bayi kita akan melakukan hal yang sama.

Zahra kembali mengangguk paham. Beberapa saat kemudian, tubuhnya sudah terbenam dalam pelukan Riyan. Menghirup dalam-dalam, bau maskulin yang begitu ia rindukan beberapa hari ini.

Yah, semua orang akan menemui ujian mereka masing-masing. Dan mungkin inilah ujian yang yang disediakan Allah untuknya.

"Maaf udah menjadi wanita yang tidak becus menjaga keturunan mu. Mungkin jika aku tidak sakit, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi." Ucap Zahra lagi.

"Tidak, Ra. Kamu ada wanita terhebat selain Ibu. Terimakasih sudah kembali." Ucap Riyan. Kecupan berulang kali mendaratkan kecupan hangat di puncak kepala istrinya itu.

Terpopuler

Comments

Jumadin Adin

Jumadin Adin

ujian zahra msh trus di alami,

2022-12-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!