"Benar-benar tidak becus!" Bentak Amar. Suaranya menggelegar di dalam ruangan mewah itu, namun, kesedihan jelas terlihat di manik tajamnya kala menatap sebuah peti berisi mayat wanita yang begitu ia cintai.
Andini, Perawat yang beberapa jam yang lalu sudah masuk dalam daftar pencarian orang, tertunduk ketakutan di dalam ruangan mewah yang ada di dalam salah satu kapal pesiar milik seorang bangsawan asal malaysia.
"Apa hak kamu membunuhnya, ha!" Bentak laki-laki itu lagi, membuat wanita cantik yang masih mengenakan seragam serba putih itu, semakin ketakutan. Andini hanya bisa terdiam sambil menunduk dalam. Ia ketakutan.
"Selain tidak becus, apa sekarang kamu juga sudah menjadi bisu? Kalian apakan uang ratusan juta yang aku sediakan selama beberapa bulan ini, sehingga tidak bisa merawat putraku dengan baik!" laki-laki yang masih belum menyadari jika bayi yang ada di dalam inkubator itu bukanlah putranya, masih terus membentak penuh kekesalan pada Andini. "Wanita bodoh itu bahkan telah meninggal sebelum mempertanggung jawabkan kebodohannya padaku." Sambungnya masih dengan nada penuh kekesalan, meskipun hatinya bagaikan di sayat sembilu, sakit. Kala mengingat wanita yang pernah ia cintai sudah tidak lagi berada di dunia yang sama dengan dirinya.
"Pastikan putraku selamat. Jika tidak, kalian akan ikut tenggelam di dasar laut bersama inkubator itu!" Ancam Amar. Ia lalu melangkah keluar dari dalam ruangan yang ia sediakan khusus untuk putranya tersebut. "Oh iya, setelah tiba di Malaysia, kamu harus segera menghilang dari hadapan ku. Aku tidak ingin kebodohan keluarga mu, ikut menular pada putraku." Sambungnya dengan tatapan menghina.
Setelah kepergian Amar, barulah Andini bisa mengangkat wajahnya yang tertunduk dalam. Ia pikir, setelah kepergian sang kakak karena karena pendarahan saat persalinan, ia bisa masuk ke dalam keluarga bangsawan itu dan hidup penuh kemewahan seperti sang kakak. Namun, kini saat melihat wajah menyeramkan Amar, niatnya yang begitu menggebu ingin menikmati kehidupan mewah dalam keluarga Amar, menghilang bagaikan debu yang diterbangkan oleh angin. Entah kemana angin membawa keinginannya yang begitu menggunung ingin masuk ke dalam keluarga besar Amar. Laki-laki yang menikahi kakak nya secara sirih itu, bahkan menatap dirinya bagaikan seonggok sampah yang tidak berguna.
Beberapa saat kemudian, Andini beranjak dari sofa mewah yang ia duduki, lalu melangkah mendekati inkubator di mana putra pemilik rumah sakit tempat dirinya bekerja selama bertahun-tahun, berada.
"Aku tidak ingin meminta maaf atas apa yang sudah aku lakukan padamu. Lagi pula, setelah ini hidupmu akan benar-benar bahagia. Kamu akan menempati tempat yang diimpikan banyak orang." Ucap Andini, seakan sedang mengajak Bayi mungil yang ada di dalam inkubator itu, berbicara.
Beberapa saat kemudian, serang dokter yang bertugas memastikan bayi yang ada di dalam inkubator itu baik-baik saja, melangkah perlahan masuk ke dalam ruangan di mana Andini serta peti mayat dan bayi itu berada. Ia mulai memeriksa layar yang memonitor seluruh alat vital bayi itu. Nafas lega berhembus dari mulutnya. Meskipun terlahir prematur, bayi ini cukup sehat dan tentu saja akan baik-baik saja. Memang membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkannya.
"Bagaimana, Dokter?" Tanya Andini.
"Bayinya cukup sehat. Meskipun belum memilki kekuatan seperti bayi pada umumnya, namun, untuk ukuran bayi yang terlahir prematur, hasil ini cukup baik." Jawab dokter itu. "Kamu seorang perawat, kan?" Tanya nya kemudian. Kali ini, tubuhnya yang membungkuk di depan layar, sudah kembali tegak dan menghadap ke arah Andini.
"Iya, Dok. Kakak saya berharap, saya bisa ikut menjadi bagian untuk merawat keponakan saya. Tapi sepertinya, Pak Amar tidak menginginkan hal tersebut." Jawab Andini.
"Untuk hal satu ini, saya tidak bisa ikut campur. Maafkan saya." Jawab dokter laki-laki itu. Ia lalu berpamitan keluar dari dalam ruangan, meninggalkan Indira bersama bayi mungil serta dua orang pengawal yang mengikutinya tadi.
Andini menarik nafas berat. Ingin memaki, namun ia terlalu takut untuk melakukan hal itu. Tapi melihat sikap arogan yang ditunjukan Amar tadi, membuatnya ingin memaki laki-laki itu.
Entah apa yang di harapkan sang kakak pada laki-laki seperti itu, sehingga begitu ikhlas mengorbankan diri hanya agar keturunan Amar terlahir selamat ke dunia.
***
Di dalam ruangan lain yang ada di dalam kapal pesiar yang terus melaju pelan d perairan, seorang laki-laki tersedu. Ia menggenggam erat selembar foto seorang gadis yang sedang memamerkan senyum terbaiknya. Bayangan masa lalu tentang gadis yang pernah mencuri hatinya itu, kembali melintas di benaknya. Indira, cintanya yang terhalang restu.
"Bodoh!" Gumam Amar sambil semakin mengeratkan genggamannya pada satu lembar foto tersebut. "Aku memang tidak menginginkan kamu sebagai pendamping hidup, tapi bukan berarti kamu akan pergi selama-lamanya gadis bodoh." Ujarnya lagi.
Kali ini matanya sudah berkaca. Ada semacam bongkahan besar yang membuat dadanya sesak hari ini. Melihat inkubator yang berisi bayi yang begitu memprihatinkan, juga satu buah peti berisi mayat serang wanita yang pernah singgah di hatinya, membuat Amar seakan kesulitan bernafas.
"Ngga apa-apa, Tuan. Anggap saja, bayi yang akan saya lahir kan nanti, sebagai hadiah agar nanti, bisa membuat Tuan terus mengingat tentang saya."
Suara lembut menenangkan jiwa kembali terngiang di telinga Amar. Membuat putra pemilik banyak perusahaan besar di Negeri Jiran itu, semakin tersedu.
Kalimat menyedihkan namun, menenangkan jiwa diucapkan dengan begitu bersemangat oleh wanita yang kini sudah terbujur kaku di salah satu ruangan di dalam kapal miliknya ini, kembali melintas begitu saja di dalam benaknya.
"Bodoh!" Ucapnya samar nyaris tak terdengar.
Beberapa saat kemudian, ia kembali melangkah keluar dari dalam kamar khusus untuk dirinya, lalu memerintahkan beberapa orang yang ada di sana, untuk memindahkan peti mayat Indira ke ruangan lain. Selain agar tidak mengganggu putranya, ia pun ingin menghabiskan sedikit waktu menatap mayat istri keduanya itu. Meskipun tidak bisa merubah kenyataan rumit yang sedang menimpanya, paling tidak ia bisa puas melihat Indira untuk yang terakhir kalinya.
Benar kata orang jika penyesalan paling berat akan dirasakan setelah orang yang dicintai itu, sudah pergi jauh. Seharusnya, ia tetap membuat Indira berada di Kuala Lumpur, dan memastikan sendiri bagaimana perkembangan kesehatan wanita itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments