Setelah Adzan shubuh berkumandang, mereka bangun dan mengambil air wudhu. Ryan segera memakaikan mukena untuk Rani, kemudian mereka sholat berjama'ah. Seperti biasa, usai salam yang kedua, Ryan membalikkan tubuhnya hingga mereka duduk berhadapan agar Rani bisa mencium punggung tangannya meski menggunakan tangan kiri karena tangan kanan Rani masih sakit dan Ryan mengecup kening Rani. Setelah itu mereka larut dalam do'a masing-masing.
"Mas, Rani boleh ya hari ini masuk kerja?" tanya Rani dengan ragu. Rani adalah tipe orang yang tidak bisa diam dan hanya mekakukan aktifitas monoton.
"Nggak boleh," jawab Ryan tegas.
Mendengar jawaban suaminya yang seolah tidak bisa ditawar lagi, Rani hanya mengerucutkan bibirnya.
"Memangnya kamu nggak dapat cuti?" melihat istri kecilnya cemberut, Ryan jadi tidak tega.
"Dapat sih. Tujuh hari. Tapi Rani nggak pernah sekalipun seharian hanya berdiam diri di rumah," ucap Rani sedih.
"Sebagai wanita yang sudah menikah, kamu harus mulai terbiasa lebih banyak di rumah dari pada di luar. Sekarang kan kamu punya suami yang wajib kamu urus dan kamu taati," walau Ryan tidak mau mengekang dan membatasi Rani, tapi dia merasa harus membuat Rani mengerti bahwa selain tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah rakyat, dia juga harus menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik untuk anak-anak mereka kelak.
Rani menunduk diam, matanya berkaca-kaca hingga akhirnya pertahanannya runtuh dan tidak bisa menahan kristal bening di ujung matanya. Hal yang diucapkan Ryan itu yang sesungguhnya membuat Rani belum siap menikah karena jiwa bebasnya masih ingin membuat Rani terbang tinggi.
"Mas tahu, kamu itu gadis seperti apa. Mas sudah baca semua tentang kiprahmu, apa saja yang sudah kamu lakukan, dan bagaimana curahan pikiran yang sering kamu tuliskan. Mas juga tahu jiwa bebasmu membuat kamu belum siap menikah. Betul kan?" ucap Ryan.
Rani hanya mengangguk. Ryan benar-benar tahu semua tentang Rani.
"Mas janji, tidak akan mengekangmu, dan akan terus membiarkanmu berkiprah seperti jati dirimu yg selama ini kau tunjukkan. Bahkan, Mas ingin berada didekatmu agar Mas bisa lebih menguatkanmu, seperti kamu yang juga akan berdiri di samping Mas untuk membuat Mas menjadi laki-laki lebih hebat. Tapi, Mas minta satu saja dari kamu. Jangan pernah lupakan bahwa kamu adalah seorang istri yang suatu saat nanti juga akan menjadi ibu untuk anak-anak kita. Jadi bagi dirimu untuk semua tugas yang melekat padamu. Kamu mengerti?" Ryan melanjutkan dengan lembut.
Rani hanya mengangguk, tidak berucap apapun.
"Untuk masa cutimu, berikan waktumu itu untuk suamimu. Kita butuh banyak bicara. Kita butuh banyak waktu untuk bersama. Tunggu sampai masa cutimu habis dan tanganmu sembuh, baru kamu masuk kerja. Oke?" Ryan berbicara sambil mengelus punggung Rani berkali-kali, kemudian merengkuhnya.
"Hari ini kita pergi ke rumah Mama Titania biar kamu nggak bosen. Kamu mau nggak?"
Rani hanya mengangguk senang.
***
Setelah Ryan memandikan Rani seperti semalam, mereka turun dan melihat Bik Tum sudah menyiapkan sarapan di meja makan.
Ryan mengambil piring, menyendok nasi beserta lauk dan sayur kemudian menyuapi Rani dan mulutnya sendiri secara bergantian.
"Aduh mesranya. Den Ryan sayang banget sama Non Rani. Bik Tum belum pernah lihat Den Ryan kayak gitu sama perempuan lain lho Non," tiba-tiba Bik Tum menggoda mereka sambil meletakkan dua gelas jus mangga di meja.
"Emang Mas Ryan nggak pernah bawa pacarnya ke rumah ya Bik?" tanya Rani sambil melirik Ryan. Ryan yang dilirik cuek saja, masih asyik menyendok makanan ke mulutnya, kemudian menyendoknya lagi dan mengarahkan ke mulut Rani.
"Kata Nyonya, Den Ryan nggak punya pacar Non," jawab Bik Tum, sambil tersenyum dan langsung kembali ke dapur. Ryan masih saja tidak menanggapi.
"Mas Ryan nggak pernah cerita soal Meysie sama Mama dan Papa ya?" tanya Rani setelah Bik Tum berlalu.
"Berani Ngomongin Meysie lagi, Mas cium kamu sampai nafasmu habis. Ayo aaaa...," jawab Ryan sambil menyuapkan sendoknya ke mulut Rani.
Melihat Reaksi Ryan saat nama Meysie disebut, Rani hanya mengerucutkan bibirnya, entah sambil berpikir apa. Sementara Ryan, menatap ekspresi wajah Rani dengan senyum yang sulit diartikan.
***
Rani POV
Saat Mas Ryan tidak mau mendengar nama Meysie disebut, aku harus cukup tahu diri bahwa nama itu memang sangat spesial dan masih tersimpan rapat di dalam hatinya.
Mungkin saja setiap mendengar nama itu membuat dia kembali teringat pada kenangan manis yang pernah mereka lalui. Bahkan kurasa, kerinduan akan kehadiran Meysie masih menyertai pernikahan kami. Jika tidak, kenapa nggak biasa saja mendengar nama itu?
Mungkin jika aku bisa mendengar suara hatinya yang terdalam, aku akan mengerti bahwa Mas Ryan masih menyimpan rasa kepadanya, meski kini kami telah berdua.
Awalnya, aku mengira cinta itu sudah tumbuh diantara kami. Karena sejauh ini, Mas Ryan memang memperlakukanku dengan baik. Sangat baik bahkan. Hingga asaku hampir melayang, memunculkan secercah cahaya dalam ruang hatiku yang bahkan belum pernah terisi nama lain disana. Apakah ini cinta? Aku tidak tahu. Tapi apapun itu, aku akan membiarkannya memudar hingga masa menghapusnya.
Walau kini kami selalu bersama, aku tak mungkin membiarkan diriku semakin bersandar kepadanya. Aku tak mau menyesal, jika suatu saat nanti Meysie benar-benar akan kembali mengisi hari-harinya, dan pada akhirnya aku yang harus pergi.
Tapi mengapa Mas Ryan harus memperlakukanku sebaik ini jika nama Meysie masih seberarti itu dalam hatinya?
***
Ryan POV
Jujur, saat Rani menyebut nama itu, aku justru bertanya kepada diriku sendiri. Kenapa hatiku tak bergetar seperti dulu? Apakah Rani sudah benar-benar mengusirnya dari ruang hatiku dan menggantikannya hingga menguasai setiap ruang yang ada disana?
Aku juga heran. Bahkan dulu tak pernah ada nama lain yang mengisi ruang khusus dalam hatiku selain nama Meysie. Tapi ketika sekarang Rani menyebut namanya, mengapa aku justru ketakutan bahwa nama itu akan menyakiti Rani dan membuat jarak lagi diantara kami?
Sungguh, aku benar-benar takut nama itu akan menyakiti hati istriku. Karenanya, aku memintanya untuk tak pernah menyebut nama itu lagi. Meski aku tak tahu seperti apa perasaan istriku itu kepadaku, namun aku hanya ingin dia satu-satunya nama yang mengisi seluruh ruang hati yang kumiliki.
Kumohon, Arania Levana. Hapus nama itu dari ingatanmu, karna hanya kau yang akan menemani hidupku, kini hingga nanti. Biarkan nama itu pergi jauh dari kehidupan kita, karena hanya aku, kamu yang akan menjadi kita untuk selamanya, hingga jiwa suatu saat nanti akan berpisah dari raga.
I love You Rani. Kau betul-betul telah membuatku jatuh cinta.
***
BERSAMBUNG
Catatan:
jangan lupa vote, like, comment dan love ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 401 Episodes
Comments
Ida Farida
sukaaaa bahasanya mudah di mengerti ...ceritanya gk berbelit belit...😍😍😍
2022-11-06
1
Wirdah K 🌹
mampir lagiiiii
2020-09-01
2
W⃠🦃𝖆𝖑𝖒𝖊𝖎𝖗𝖆 Rh's😎
👍🏻
2020-08-31
2