Bab 3 - Menyambung Hidup

Kemiskinan ini sumber dan kunci utama kakak laki-laki satu-satunya yang Anindita miliki menghilang, ayahnya meninggal, ibunya pergi merantau mencari sepeser rupiah untuk bertahan. Winah kakak iparnya harus menjadi janda dengan kondisi perut yang terus membesar, bayi yang dikandungnya kehilangan sosok ayah. Deraian airmata selalu menemaninya setiap hari. Beberapa bulan pertama Anin dan Winah seperti terlunta-lunta, terkadang hanya makan nasi sisa. Perjuangan masih baru dimulai.

Dengan berat hati, Anindita dan Winah melepas kepergian Bu Wanti. Betapa tanggungjawabnya menyingkirkan rasa kekhawatiran Bu Wanti terhadap gadis bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Berlalu meninggalkan menantu yang tengah hamil besar hanya tinggal berdua dengan putrinya yang masih belia.

Anindita sudah mulai terbiasa hidup jauh dari ibunya. Berfokus pada sekolah, berjuang semampunya untuk tetap mendapatkan prestasi terbaik di sekolahnya. Tekadnya menguat sekeras baja, menembus dinding-dinding ketakutan. Sebuah kekuatan tekad untuk membangun kehidupan masa depan yang lebih baik.

Beberapa bulan lagi sertifikat kelulusan akan didapatkan, setelah itu tanggungjawab yang besar akan segera datang. Bayi itu akan lahir tanpa seorang ayah, hanya ibu yang jiwanya masih terguncang.

Setiap hari, Anindita membantu Winah mencari penghasilan semampunya. Biasanya sebelum atau sepulang sekolah dia berjualan gorengan, atau membantu tetangga yang butuh tenaga cuci setrika. Semampu yang dia bisa, sedikit menabung untuk iuran sekolah yang sudah menunggak berbulan-bulan jika kebetulan ada sisa lebih dari makan.

Bayi itu lahir, menangis, meronta, tak ada sosok ayah yang mengadzankannya. Keluarga Winah tak satupun yang berkunjung, betapa kesalahannya memilih Murod telah melukai hati keluarga besarnya yang terhormat di pulau sumatera. Kini, pedih, pahit, semuanya harus di telan sendiri. Bayi laki - laki itu dinamai Rizki Sholeh, tumpuan harapan ibundanya menjadi seseorang yang berlimpah dan berbakti. Anindita sesenggukan tak bisa menahan pilu ketika Pak RT mengadzankan Rizki. Keponakan tersayangnya.

Kelulusan tiba, tak ada seorangpun yang menghadiri acara wisuda. Sendirian, menguatkan jiwa, kenyataan memang tak seindah mimpi. Sehelai Ijazah sebagai tanda bukti kelulusan kini ditangan, sehelai kertas ini harus ditebusnya dengan pinjaman Bu Wanti kepada majikannya yang harus dicicilnya selama berbulan-bulan.

Setelah pembagian ijazah selesai, Anindita bergegas pulang. Dia harus menggantikan Winah mencuci dan menyetrika beberapa bak pakaian tetangga. Daki-daki itu berarti, tanpanya mereka tidak tahu akan makan apa. Sementara itu bayi Rizki masih tertidur nyaman di ayunan.

"Kak, istirahat dulu, biar aku gantikangantikan." Pinta Anin sambil duduk di samping Winah.

"Kamu makan dulu Nin," ujarnya lemah.

"Anin sudah makan Kak, di sekolah ada teman yang bagi-bagi nasi kuning, Anin bawakan satu buat Kakak," ucapnya sambil memberikan sekantong plastik hitam berisi makanan.

Setiap hari pekerjaan mereka hanya membunuh waktu. Penghasilan yang didapat terkadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Satu bulan sudah berlalu dari kelulusan, bayi Rizki pun tumbuh membesar meski dengan asupan gizi yang pas-pasan. Setiap malam Anindita memutar otak, mencari cara untuk terlepas dari semua kemiskinan yang membelit kehidupan mereka. Hidup kekurangan itu melelahkan.

Dia menatap selembar ijazah yang didapat dengan perjuangan yang begitu mahal. Akhirnya dia membulatkan tekad, akan menyusul ibunya ke kota untuk mencari pekerjaan. Setidaknya bisa menyisihkan lebih banyak uang untuk Rizki. Bayi kesayangan yang menguras tangis dan iba setiap malam.

“Kak, jaga diri dan Rizki baik-baik, Anin harus berjuang untuk kehidupan kita." Anindita dengan yakin, menatap kakaknya.

“Kamu sudah memutuskan untuk pergi menyusul ibu?” Winah memastikan kembali.

“Iya Kak, Anin mau mencoba memutar roda kehidupan kita, kakak doain ya,” jawab Anin dengan yakin. Winah mengangguk seraya memeluk tubuh gadis mungil itu dengan tulus.

Keesokan harinya, gadis berambut ikal itu sudah meluncur diantar sepeda motor tua Romi. Romi seorang pemuda kampung yang selama ini cukup banyak membantu Anin dan Winah. Senyumnya terlihat getir ketika dia membiarkan sosok gadis manis itu berjalan memunggunginya. Sosok gadis yang disukainya dalam diam.

“Terimakasih Kak Romi, Anin tak kan lupa akan kebaikanmu selama ini. Hanya Allah yang mampu membalasnya Kak.” Anin membalikkan badan mengucapkan terima kasih kepada Romi.

“Hati-hati ya De di Jakarta. Semoga kelak bisa bertemu denganmu lagi,” ucapnya penuh harap, matanya tajam menatap wajah gadis manis yang ada dihadapannya.

“Dah Kak Romi,” ucapnya sambil melambaikan tangan, kemudian berbalik memunggungi Romi yang tertegun menatapnya.

Hiruk pikuk terminal yang ramai, akhirnya menyembunyikan sosok mungil Anindita dari penglihatannya. Udara sudah mulai memanas, semakin terik membakar kulit seperti suasana hatinya yang terbakar. Setelah sosok yang dikaguminya itu menghilang, pemuda itu bergegas pulang.

Romi seorang pemuda sholeh yang baik. Karena terlalu menghargai keputusan ibunya yang sudah memintanya bertunangan dengan anak pak lurah, akhirnya hanya mampu memendam rasa kagum dan sukanya terhadap gadis tangguh yang kini sudah menghilang. Terlalu tidak punya keberanian untuknya, baginya yang paling utama adalah kebahagiaan ibunya.

Bus warga baru melaju cepat meninggalkan hiruk pikuk terminal. Dengan bantuan Romi, dia sudah berkabar meminta ibunya untuk menjemputnya di pangkalan bus yang nantinya akan dia turuni. Keberuntungan berpihak ketika majikan Bu Wanti ternyata mengijinkannya untuk menumpang sementara selagi mencari pekerjaan.

Beberapa helai pakaian terbaik yang dia miliki, perlengkapan solat dan sebuah buku harian menjadi isi tasnya yang sudah kusam. Perih hatinya teriris, teringat almarhum ayahnya, nasib Murod yang belum diketahui rimbanya, Winah dan serpihan luka dihatinya, juga bayi Rizki yang belum mengenal pahitnya dunia.

Suara klakson kendaraan melengking, hiruk pikuk di terminal kampung Rambutan menelan tubuh imutnya. Rambut ikalnya yang terkuncir ekor kuda kini bersimbah keringat, perut sudah berteriak meminta makan. Berjalan perlahan sambil celingukan, mencari sosok ibu yang sudah lama dirindukannya.

Sudah setengah jam wara wiri mencarinya, tapi belum juga menjumpai sosok itu. Akhirnya kaki-kaki lelahnya terhenti pada sebuah mushola. Terduduk lesu tak bertenaga, bagaimana kalau wanita itu tak dia temukan. Tak ada alat komunikasi apapun yang dimilikinya saat ini. Gadis itu sudah benar-benar menyerahkan pertemuan itu pada takdir.

"Anin!" suara lembut yang lama tak terdengar, tiba-tiba muncul dari belakang.

Anin berbalik perlahan, wajah itu tak asing lagi. Sontak dipeluknya dengan erat tubuh yang sangat dirindukannya itu, dia meluruhkan tumpukkan lara. Bu Wanti tersedu, airmatanya mengalir membasahi ubun-ubun putri kesayangannya. Melihat wajah lelah putrinya saja sudah membuat dinding pertahanannya ambruk. Belum lagi membayangkan bagaimana selama ini dia bertahan hidup tanpanya. Tanpa seseorang yang melindunginya. Akan tetapi Bu Wanti cepat menguasai keadaan. Ditenangkannya putri kesayangannya itu. Disodorkannya sekotak nasi yang dibawanya. Nasi dengan lauk pauk yang sengaja disiapkannya. Betapa rindunya dia menatap putrinya menyantap masakannya.

"Anin udah sholat? atau mau langsung makan?" ucapnya pelan, menyejukkan.

“Aku sholat dulu Bu,” jawab gadis itu sambil bergeges menuju tempat wudhu perempuan.

Wanita itu hanya menatap punggung ringkih putrinya. Hatinya menangis, betapa tubuh kurus itu menggambarkan seberapa berat beban yang dia rasakan selama ini. Setelah menyelesaikan sholat, gadis itu kembali menghampiri ibunya.

“Lekas makan!” Bu Wanti membukakan kotak makanan yang dia bawa.

“Wah, banyak sekali Bu lauknya.” Mata polos Anin berbinar menatap hidangan termewah yang dia dapatkan.

“Ibu sengaja masak buat kamu, ayo habiskan.” Bu Wanti menegarkan hati agar tetesan itu tak merusak kebahagiaan anaknya menyantap hidangan langka yang mungkin sudah begitu lama tak pernah dia makan.

Anindita dengan lahapnya makan, mengisi perutnya yang sedari tadi keroncongan. Tapi baru setengah dia menghabiskan makanan itu tiba-tiba dia menutup wajahnya. Suara senggukan lirih terdengar membuat Bu Wanti menjadi khawatir.

“Kenapa Nin?” Sambil merangkul bahunya dari belakang. Dibiarkannya hingga tangisnya mereda.

“Aku makan enak disini, tapi Kak Winah sama Rizki entah makan apa hari ini.” Sontak jawaban gadis itu membuat hati Bu Wanti terkoyak. Tetapi dia harus mempu menenangkan putrinya.

“Anin kan datang kesini biar bisa sukses, nanti bisa belikan Kakakmu dan Rizki makanan apapun yang mereka mau,” ujar Bu Wanti yang berusaha menutupi kesedihannya.

“Ayo bergegas, majikan ibu menunggu dalam mobil," ujar Bu Wanti lagi, Anin bersegera menghabiskan makan siangnya.

Majikan Bu Wanti seorang wanita setengah baya yang rupawan. Senyumnya begitu ramah, tatapan teduh nya menyirami ketakutan Anin akan sosok orang baru. Anin dan Bu Wanti menghampirinya ke parkiran. Kaca belakang terbuka setengah.

“Anin ya, ayo masuk, duduk didepan saja biar Faisal tidak mengantuk," ucapnya, terlihat senyum tulusnya.

Sosok seorang laki-laki bertubuh tinggi, berwajah tampan keluar dari pintu belakang kemudi. Sesuatu yang membuat dia tertegun sejenak, karena sosok itu begitu mirip dengan Murod, kakaknya yang hilang. Dia membukakan bagasi untuk menyimpan barang-barang bawaan Anin. Kemudian membukakan pintu depan, agar gadis itu segera masuk ke dalam mobil mewahnya.

“Saya Faisal, supir pribadi nyonya, " ucap lelaki itu sambil tersenyum.

“Oh supir nyonya? saya Anin," ucap Anin dengan polosnya membuat ibunya yang duduk di belakang menegurnya.

“Anin, dia itu Pak Faisal, putranya nyonya,” ujar Ibu Wanti menjelaskan.

“Maaf Pak,” Anin terkesiap kaget.

“Hahaha, tapi sekarang saya supir lho, oh iya saya masih muda, belum Bapak-Bapak, panggil saja abang,” ucapnya sambil tertawa.

“Baik Bang, " jawab Anin sambil menunduk.

Entah seberapa jauh perjalanan, Anin terlelap tanpa sadar. Bukan terbuai ketampanan Faisal akan tetapi sentuhan lembut AC dan empuknya kursi yang didudukinya membuat matanya kalah tak berkompromi.

Akhirnya mereka tiba di kediaman bu Windarti. Ketika membuka mata, Anin sudah berada diparkiran sebuah rumah mewah, halaman luas tertata indah, pepohonan buah-buahan rimbun mengelilingi tepian pagar, pot-pot anggrek tergantung megah, rumpun melati tertata rapi. Bu Wanti mengajaknya memasuki rumah itu. Bagi Anin, itu serasa mimpi, mungkin ini seperti istana dalam mimpi, terlalu jauh berbeda dengan gubuk reyot yang ditinggalinya di desa.

Bu Wanti menempati satu kamar di belakang, pintunya menghadap ke teras belakang yang terhubung langsung dengan dapur terbuka yang indah. Sisi terburuk rumah in masih jauh lebih indah daripada rumah kayu yang ditinggalinya dulu.

Teriris pedih perasaan Anin, kasur empuk itu justru melukai hatinya. Jiwanya menjerit, teringat Winah dan Rizki yang kini tengah tergeletak dibalai-balai rumah sederhanya dengan kasur busa yang sudah mirip tikar tipisnya.

Tekadnya membulat untuk segera mendapatkan pekerjaan, menyewa rumah di kota, kemudian menjemput Rizki dan Winah untuk tinggal bersamanya. Kemudian entah apa yang melayang dalam pikirannya, lelah perjalanan menghempas semua kesah, dia terlelap tanpa tahu kalau ibunya sedang bersusah payah, kembali menyelesaikan pekerjaan rumah.

GAESSS ditunggu LIKE, KOMEN dan VOTE nya ya... Terima kasih and Happy readings.

😇😇😇

Terpopuler

Comments

Wawat Garwati

Wawat Garwati

Bagus ceritanya.. Suka banget

2020-12-22

0

Nishimiya

Nishimiya

like

2020-12-08

0

triana 13

triana 13

like

2020-11-12

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 - Selamat Jalan Ayah
2 Bab 2 - Menghilang
3 Bab 3 - Menyambung Hidup
4 Bab 4 - Mencari Pekerjaan
5 Bab 5 - Pekerjaan Baru
6 Bab 6 - Menjaga jarak
7 Bab 7 - Gundah
8 Bab 8 - Makan Malam
9 Bab 9 - Dokter Cantik
10 Bab 10 - Manager Baru
11 Bab 11 - Apakah Layak Untuk Ditunggu?
12 Bab 12 - Selesai
13 Bab 13 - Kampung Halaman
14 Bab 14 - Dilamar
15 Bab 15 - Menginap
16 Bab 16 - Permintaan Maaf
17 Bab 17 - Diterima
18 Bab 18 - Kembali Ke Kantor
19 Bab 19 - Meeting Dengan Klien
20 Bab 20 - Cokelat
21 Bab 21 - Nonton
22 Bab 22 - Customer Complain
23 Bab 23 - Teh Lemon Hangat
24 Bab 24 - Makan Malam
25 Bab 25 - Pindah Rumah
26 Bab 26 - Cemburu
27 Bab 27 - Video Call
28 Bab 28 - Kunjungan Tak Terduga
29 Bab 29 - Sierra
30 Bab 30 - Meluruskan Kesalah Fahaman
31 Bab 31 - Sosok Misterius
32 Bab 32 - Niat Jahat
33 Bab 33 - Salah Sasaran
34 Bab 34 - Pesta Pernikahan
35 Bab 35 - Kembalinya Murod
36 Bab 36 - Fardan Andra Dinata
37 Bab 37 - Memastikan
38 Bab 38 - Pencarian
39 Bab 39 - Bertemu Saingan
40 Bab 40 - Menentukan Tanggal Pernikahan
41 Bab 41 - Kebaya Pengantin
42 Bab 42 - Mengetahui Kebenaran
43 Bab 43 - Mengetahui Kebenaran 2
44 Bab 44 - Menuju Hari Pernikahan
45 Bab 45 - Hari Pernikahan (Session 1 Selesai)
46 Visual Versi Author
47 PTDC2 - Mandi
48 PTDC2 - Tidur
49 PTDC2 - Shubuh pertama
50 PTDC2 - Masa Lalu
51 PTDC2 - Dua Wanita
52 PTDC2 - Memberi Jalan
53 PTDC2 - Resepsi
54 PTDC 2 - Hamil
55 PTDC2 - Resign
56 PTDC2 - Takdir dan Cinta (End)
Episodes

Updated 56 Episodes

1
Bab 1 - Selamat Jalan Ayah
2
Bab 2 - Menghilang
3
Bab 3 - Menyambung Hidup
4
Bab 4 - Mencari Pekerjaan
5
Bab 5 - Pekerjaan Baru
6
Bab 6 - Menjaga jarak
7
Bab 7 - Gundah
8
Bab 8 - Makan Malam
9
Bab 9 - Dokter Cantik
10
Bab 10 - Manager Baru
11
Bab 11 - Apakah Layak Untuk Ditunggu?
12
Bab 12 - Selesai
13
Bab 13 - Kampung Halaman
14
Bab 14 - Dilamar
15
Bab 15 - Menginap
16
Bab 16 - Permintaan Maaf
17
Bab 17 - Diterima
18
Bab 18 - Kembali Ke Kantor
19
Bab 19 - Meeting Dengan Klien
20
Bab 20 - Cokelat
21
Bab 21 - Nonton
22
Bab 22 - Customer Complain
23
Bab 23 - Teh Lemon Hangat
24
Bab 24 - Makan Malam
25
Bab 25 - Pindah Rumah
26
Bab 26 - Cemburu
27
Bab 27 - Video Call
28
Bab 28 - Kunjungan Tak Terduga
29
Bab 29 - Sierra
30
Bab 30 - Meluruskan Kesalah Fahaman
31
Bab 31 - Sosok Misterius
32
Bab 32 - Niat Jahat
33
Bab 33 - Salah Sasaran
34
Bab 34 - Pesta Pernikahan
35
Bab 35 - Kembalinya Murod
36
Bab 36 - Fardan Andra Dinata
37
Bab 37 - Memastikan
38
Bab 38 - Pencarian
39
Bab 39 - Bertemu Saingan
40
Bab 40 - Menentukan Tanggal Pernikahan
41
Bab 41 - Kebaya Pengantin
42
Bab 42 - Mengetahui Kebenaran
43
Bab 43 - Mengetahui Kebenaran 2
44
Bab 44 - Menuju Hari Pernikahan
45
Bab 45 - Hari Pernikahan (Session 1 Selesai)
46
Visual Versi Author
47
PTDC2 - Mandi
48
PTDC2 - Tidur
49
PTDC2 - Shubuh pertama
50
PTDC2 - Masa Lalu
51
PTDC2 - Dua Wanita
52
PTDC2 - Memberi Jalan
53
PTDC2 - Resepsi
54
PTDC 2 - Hamil
55
PTDC2 - Resign
56
PTDC2 - Takdir dan Cinta (End)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!