Perjalanan Dan Takdir Cinta
(Hai Hai Hai.... terimakasih sudah mampir dalam novel PTDC ini, jangan lupa klik icon ❤ untuk menjadikan novel ini dalam kategori favorit, jadi akan ada notifikasi kalo udah up, Happy reading 🥰 )
***
Suara melengking itu berasal dari atap rumah setengah reyot, membuyarkan kerumunan para tetangga yang mulai berdatangan. Terkejut setengah mati, jantung berdentum-dentum seketika, tangan gemetar, air mata masih berderai mengalir deras, gadis itu hanya mampu terduduk lemas dipojok pekarangan sambil menengadah ke atap rumah. Dia menangisi kakaknya yang jiwanya tengah terguncang, tersengat kenyataan. Murod masih tidak mau menerima kalau laki-laki tua yang sakit-sakitan itu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
“Abang turunlah!” Anindita melengis meminta sosok lelaki itu menghentikan perbuatan gilanya.
“Bapak! Bapak! Bapak!” suaranya melengking seraya matanya melotot kelangit lepas, dia sama sekali tidak menggubris permintaan adik perempuannya.
“Abang! ayo turunlah, sholatkan Bapak, malu sama tetangga Bang,” bujuk gadis belia itu lagi dengan suara parau.
Tetapi teriakannya makin menjadi-jadi, beberapa tetangga berbaik hati membantu menjemput paksa lelaki itu dari atap rumah. Suasana masih berkabung, tetapi kejadian ini harus diselesaikan. Ditangkapnya kaki Murod yang masih duduk berselonjor diatas retakan genting rumah yang sudah menghitam, tangannya sesekali memukul-mukul kepala. Penangkapan berlangsung tragis, genting-genting pecah berhamburan ke tanah. Hampir setengah jam, akhirnya Murod yang meronta-ronta bisa dipaksa turun.
Winah berlari memburu suaminya, para tetangga menyerahkan lelaki itu pada istrinya. Kemudian mereka Bergegas mengurusi pemakaman yang tertunda. Anindita bersimpuh di samping almarhum sambil menguatkan dirinya, membacakan doa-doa dan mengirimi Alfatihah. Suasana sudah sedikit kondusif, Murod sudah dibawa istrinya pulang.
Ketidakwarasan Murod bukanlah hal yang terjadi tiba-tiba atau tanpa sengaja. Mungkin dia masih tidak percaya, ayahnya meninggal disebabkan dirinya. Kelakuannya kerapkali membuat orang tua yang sedang sakit itu menitikkan airmata. Lelaki itu kerap memukul istrinya yang sedang hamil muda. Beberapa kali kepergok sedang berjudi dan main wanita. Terakhir yang membuat lelaki tua itu bertengkar dengannya, ketika Murod ketahuan menjual tanah yang ditinggali orang tuanya sehingga serangan jantung akhirnya membuat lelaki pekerja keras itu pergi untuk selamanya.
Upacara pemakaman berjalan lancar, perlahan tetangga-tetangga meninggalkan rumah duka. Murod, tak menampakkan lagi batang hidungnya, mungkin sudah diberikan obat penenang oleh Winah istrinya. Gadis belia itu menumpahkan segala beban dengan berurai airmata. Tersayat perih batinnya, mengingat rumah reyot itu harus ditinggalkan segera.
Ditengah sedu, seseorang muncul dari balik pintu. Winah datang kembali dengan mata sembab. Malang sekali wanita itu harus berjodoh dengan lelaki seperti Murod. Anak lelaki yang sudah dianggap seperti anak kandung sendiri oleh Bu Wanti dan suaminya. Seseorang yang ternyata tidak bertanggungjawab terhadap keluarganya.
Anindita, tak mampu berbuat banyak, hanya iba kepada wanita berparas jelita itu. Ternyata kebahagiaan tidak dijamin oleh tampang yang rupawan saja. Murod buktinya, kegagahan fisiknya tidak bisa menjadikan akhlaknya seindah wajahnya yang selagi lajang menjadi perhatian semua gadis desa.
"Gimana Murod Nah?" suara Ibu Wanti terdengar berat.
"Sudah winah kasih obat penenang Bu," jawab Winah.
"Maafkan suamimu Nah, semoga kandunganmu baik-baik saja," ujarnya sambil terisak.
Kedua wanita malang itu terus saling menguatkan, saling menasihati, saling mendukung. Betapa berat beban yang harus mereka pikul. Mulai hari ini, Bu Wanti harus kehilangan suami dan tempat tinggal. Sementara Winah, tanpa bapak mertua kesayangannya lagi, tak tahu siapa yang akan menolongnya dari amukan tangan besi suaminya itu.
Anindita sengaja memisahkan diri, masuk ke dalam bilik bambu, mengunci pintu rapat-rapat, butuh kejernihan pikiran untuk memulai lagi hidupnya. Kini, dia yatim. Tinggal satu semester lagi, sekolah menengah ini harus diselesaikannya.
“Winah, Bapak sudah ga ada, tanah dan rumah ini sudah suamimu jual, ibu tak punya pilihan lagi selain mengambil tawaran itu, ibu titip Anindita sampai sekolahnya selesai," suaranya begitu lemah.
“Ibu jadi mengambil tawaran menjadi pembantu rumah tangga di ibukota itu?” tanya Winah memastikan.
“Iya, selagi ada kesempatan, kemarin Ibu tolak tawaran itu karena masih mau menjaga bapak, tetapi, " kalimatnya tersendat, genangan itu kembali menganak sungai membasahi pipinya yang mulai keriput.
“Winah berjanji akan menjaga Anin, semampu Winah Bu." Wanita itu merangkul Bu Wanti.
“Ibu kapan berangkat? Anin sudah tahu?” tanya Winah.
“Sesegera mungkin setelah semuanya selesai, Ibu akan segera kasih tau adikmu itu,” jawabnya lirih.
Percakapan mereka berlanjut sampai larut, pada hari kematian lelaki tua yang disayanginya, mereka harus menelan luka yang bertubi-tubi. Dalam kondisi yang tidak memiliki tempat tinggal, Ibu Wanti akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib di ibukota, mengumpulkan sepeser rupiah untuk menyambung hidupnya dan untuk menyelsaikan biaya sekolah Anindita yang sudah menunggak lama.
***
TERIMAKASIH SUDI MAMPIR DIMARIIIII
JANGAN LUPA KOMEN, LIKE DAN VOTE NYA...
TERUS PERGI KE HALAMAN DEPAN DAN BERIKAN BINTANGNYA YA... 😍😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Shalsyalala
aku baca part pertama, bagus.
2021-05-27
0
Molly123
bagus kak. semangat ya 😊
2021-02-23
0
Putri Mangatun Utami
Apik
2020-12-28
0