“Gimana Nak, apakah kamu akan menerima lamaran Nak Faisal?” tanya Bu Wanti yang tengah berdiri dan menatap putri semata wayangnya dengan penuh kebahagiaan.
“Belum tahu Bu, masih butuh waktu untuk berfikir,” jawab gadis itu sambil meletakkan kembali kotak mungil berwarna marun tersebut.
“Ayo Bu, nanti kita terlambat, tukang ojeknya sudah nunggu kan?” tanya Anindita yang dijawab oleh anggukan singkat sang ibu.
Memakan waktu hampir setengah hari untuk membeli semua kebutuhan termasuk belanja sembako dan makanan ringan untuk jualan di warung kecilnya. Tepat bersamaan kumandang adzan zuhur Anindita bersama ibunya sudah sampai kembali di kediaman. Kali ini seluruh barang bawaannya diangkut menggunakan mobil bak terbuka. Tampak seseorang tengah duduk di kursi panjang yang memang sudah disediakan didalam warung kecil itu. Keringatnya tampak sudah membasahi pelipisnya, kulit bersihnya sudah memerah terkena panas. Anindita dan Bu Wanti turun dari mobil bak terbuka tersebut, mereka duduk berdua di kursi depan samping pak supir. Pemuda tersebut tampak sumringah dan menghampiri mereka untuk membantu menurunkan belanjaan.
“Nak Faisal, sejak kapan sudah disini?” tanya Bu Wanti kepada anak mantan majikannya tersebut.
“Sekitar tiga jam yang lalu Bu, saya ingat Ibu sama Anin mau belanja ke pasar jadinya tadi buru-buru kesini, eh telat hehehe, ” jawabnya sambil membantu pak supir mengangangkat beberapa barang berat yang memenuhi mobil bak terbuka tersebut.
“Nak Faisal nunggu didalam saja, biar Ibu sama pak sopir yang menurunkan barang-barangnya,” Bu Wanti merasa tidak tega melihat pemuda tersebut tampak kesulitan melakukan pekerjaan kasar seperti itu.
“Tidak apa-apa Bu, pengalaman baru buat saya, lagian ini berat, udah Ibu sama Anin masuk saja, ini biar saya yang bereskan,” jawabnya.
“Anin, Abang belum makan, masakin dong,” rengeknya seperti anak kecil.
“Iya, emang mau dimasakin apa?” Anindita menyahut sambil tangannya sibuk menurunkan belanjaan-belanjaan dengan bungkusan kecil dari mobil.
“Udah itu biar Abang yang turunin semua, kamu masak aja,” cegah Faisal sambil hendak merebut barang belanjaan yang Anindita tenteng.
“Ini sayuran Bang, udah ih ga usah bawel, bantuin saja Pak sopir sana,” Anindita menghindarkan tentengan plastik hitam yang hendak direbut oleh Faisal.
“Berani ya bilang Abang bawel,” Faisal bersandar menyamping menghadap gadis itu dengan jarak yang begitu dekat, badannya bersandar pada badan mobil.
“Emang bawel,” Anin mencebik sambil meninggalkan Faisal yang bercucuran keringat sendirian.
“Ayo Mas, bantuin saya!” teriak pak sopir yang tengah kesulitan menurunkan sebuah rak etalase untuk warung Bu Wanti. Faisal segera berlari menghampiri lelaki itu dan membantu menyelesaikan sisa pekerjaannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 ketika semua barang sudah berpindah ke tempat yang semestinya. Warung sudah terlihat penuh dengan beragam sembako dan makanan anak-anak. Faisal menyeka keringat, sambil menghampiri pak sopir yang sedang memarkir mobilnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar ratus ribuan dari dompetnya dan memberikannya pada pak sopir.
“Ini Pak tipsnya, maaf cuma segini, saya tidak banyak bawa uang cash,” ucapnya sopan sambil menyodorkan uang tersebut.
“Wah ini mah banyak banget Mas, ini betulan buat saya, ongkos mobil udah dibayar sama mba cantik yang tadi Mas,” matanya berbinar tapi setengah tidak percaya mengambil sekitar tujuh lembar uang ratusan ribu itu dengan ragu.
“Ini tips dari saya Pak, Saya baru merasakan menurunkan barang segitu saja ternyata lelahnya seperti apa, apalagi Bapak yang tiap hari berburu rejeki untuk keluarga, anggap saja itu rejeki untuk anak dan istri Bapak,” ujar Faisal dengan tulus.
Sopir itu membungkukkan badan berkali-kali tanda berterimakasih kepada pemuda tampan yang ada didepannya. Setelah membantu memarkirkan kendaraan sopir tersebut Faisal berjalan cepat menuju kedalam rumah, mencari minuman dingin pada lemari pendingin yang baru dipasangnya barusan bersama dengan pak sopir. Dibukanya pintu lemari pendingin namun sayang masih kosong, rupanya Anindita dan Bu Wanti belum sempat menyimpan barang-barang ke dalam lemari tersebut. Faisal bergegas ke dapur, rasa haus dan penatnya sudah tidak tertahan lagi. Kondisi dapur sudah rapi, Anindita dan Bu Wanti tidak ada disana, hanya terdengar siraman air dari kamar mandi menandakan ada orang didalamnya. Faisal segera mengambil air dengan gelas yang ada di rak piring baru, diteguknya sampai habis beberapa gelas.
“Kasiannya yang kehausan,” terdengar suara meledek setelah pintu kamar mandi terbuka. Mata Faisal terkunci menatap gadis manis yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat segar dan cantik natural.
“Anin, Abang pinjam handuk dong, mandi sepertinya seger, lagian Abang belum sholat,” ujarnya sambil duduk pada kursi meja makan yang baru dipasang juga.
“Bentar ya Bang, Anin ambil dulu,” dia berlalu meninggalkan lelaki itu sendirian, tak berapa lama datang lagi dengan sebuah handuk berwarna pink.
“Kho warna Pink sih?” gerutunya sambil mengambil handuk itu dari tangan Anindita.
“Ya udah mau atau engga, lagian salah sendiri kenapa ga bawa handuk dari rumah Abang sih?” omel Anindita sambil mencebik.
“Iya Iya bawel,” Faisal merampas handuk itu dan kemudian berlalu menuju kamar mandi.
Hampir satu jam lelaki itu membilas dirinya dengan air, menghilangkan lelah dan panas matahari yang membuatnya bermandikan keringat. Sepertinya dia benar-benar memuaskan dirinya dengan dinginnya air untuk mengusir segala lelah dan penat yang begitu hebat dia rasakan. Tak berapa lama terdengar kran air dimatikan, namun lelaki itu tak kunjung keluar. Terdengar suaranya berteriak dari dalam kamar mandi.
“Anin, tolong Abang!” suaranya terdengar sampai ke ruang depan dimana Anindita sedang membantu ibunya menata barang belanjaan di warung. Gadis itu yang mendengar teriakan lelaki didalam rumahnya bergegas setengah berlari, dalam pikirannya muncul hal-hal negatif. Mungkinkah lelaki itu kelelahan, terpeleset terus kepalanya membentur bak mandi. Anin bergidik sendiri membayangkan insiden yang diterka-terkanya.
“Tok Tok Tok” Anindita mengetuk kamar mandi dengan tergesa-gesa, bagaimanapun kalau sesuatu terjadi dengan Faisal yang akan direpotkan adalah dirinya dan ibunya.
“Abang kenapa?”tanyanya lagi sambil tetap menggedor-gedor kamar mandi.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok lelaki bertelanjang dada dengan hanya memakai bawahan handuk pink yang dililitkan. Tampak seksi tetapi mengundang gelak tawa. Anindita memalingkan muka melihat pemandangan langka yang ada didepannya sambil mengulum senyum melihat lelaki gagah tersebut memakai handuk berwarna feminim.
“Ih malu dong Bang, keluar ga pake baju, ada apaan sih teriak-teriak,” ujarnya sambil tetap memalingkan muka.
“Makanya Abang teriak minta tolong, mau minta ambilin tas abang dalam mobil, baju ganti Abang ada disana, ini kuncinya,” lelaki itu mengangkat sebuah kunci dan menyodorkannya kepada Anindita. Anindita menyodorkan tangannya tanpa berani menoleh pada lelaki itu, Faisal meletakkan kunci ditelapak tangan gadis itu.
“Cepetan ya, Abang belum sholat,” ucap Faisal sambil masuk kembali kedalam kamar mandi.
Tak berapa lama Anindita kembali dan menyerahkan sebuah tas kecil dari mobil Faisal. Lelaki itu bergegas mengganti pakaiannya dan mengambil wudhu. Setelah selesai dia menuju ruang tengah dan menyelesaikan sholat zuhur yang terlambat. Sementara Faisal sholat, Bu Wanti meminta putrinya untuk menyiapkan makan siang yang sudah dimasaknya.
“Bang, ayo makan, ibu udah nunggu di meja makan,” kepala Anin melongo dari pintu tengah rumahnya yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, melihat Faisal yang sedang melipat sajadah. Lelaki itu hanya mengangguk dan bergegas membuntuti gadis itu.
Anindita menyodorkan piring kosong pada lelaki itu untuk menyuruhnya mengambil nasi dan lauk sendiri. Akan tetapi Bu Wanti menegurnya memintanya mengambilkannya untuk Faisal. Dengan terpaksa gadis itu melakukan perintah ibunya dan meletakkan piring tersebut dihadapan lelaki yang sudah duduk manis dan memainkan ponsel genggamnya.
“Nih makan,” ujarnya sambil kemudian dia duduk di kursi samping Bu Wanti berseberangan dengan Faisal.
“Makasih ya Nak, udah bantuin Ibu dan Anin hari ini,” Bu Wanti dengan tulus menyampaikan rasa terimakasihnya, yang dibalas dengan anggukan dan senyum dari Faisal.
“Sama-sama Bu,” jawabnya sambil kembali menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
“Abang ngapain kesini hari ini, emang ga tau kalau Anin pulangnya besok?” tanya Anindita.
“Abang inget kalian mau kepasar, makanya buru-buru tadi pagi Abang kesini mau bantuin, sekalian nginep saja biar ga bolak balik jemput kamu besok,” jawabnya santai.
“Uhuk,” Anindita tersedak, Bu Wanti segera menyodorkan segelas air bening kepada putrinya tersebut.
“Hati-hati kalau makan,” ujarnya sambil mengelus pundah putrinya dengan lembut.
“Abang beneran mau nginep? disini kampung lho Bang, nanti apa kata tetangga, gimana kalau ditangkep nikah sama Pak RT? ” Anindita keberatan dengan keputusan Faisal. Wajahnya cemberut sambil sesekali melirik kearah ibunya meminta pembelaan, namun Bu Wanti hanya terdiam seperti sedang menimbang-nimbang.
“Pokoknya abang mau nginep, masalah tetangga sama Pak RT itu biar abang yang beresin, kalau ditangkap nikah ya tinggal nikah, ga ada masalah, ” senyum jahilnya tersungging sambil melempar pandangan pada gadis yang tengah cemberut didepannya. Faisal dengan cuek melanjutkan makan siangnya sampai habis, masakan rumahan seperti itu benar-benar disukainya, apalagi dia tahu kalau yang memasak adalah gadis pujaannya.
- Bersambung –
JANGAN LUPA LIKE, COMENT DAN VOTENYA YA.... SETELAH ITU PERGI KE HALAMAN SAMPUL DAN BERIKAN BINTANG LIMA UNTUK KISAH INI. TERIMAKSIH, LOVE U ALL.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Tirta Tirta
faisal q tunggu d alam mimpi ya 😂😂😂😂
2020-10-08
1
💐 💞mier🌹❤️
oh...Faisal ada gak sosok kamu di dunia nyata😍😍😍.
selamatya Thor bikin aku baper🤗🤗🤗
2020-10-07
1
Nona Cherry Jo
hhhhhh... aku suka.. kejahilannya si faisal... 👍😁
2020-10-06
1