Mobil mewah yang dikemudikan oleh Faisal mulai memasuki perbatasan kampung halaman Bu Wanti. Jalanan beraspal yang sudah retak dan rusak membuat laju kendaraan mewah tersebut tersendat-sendat. Anindita duduk pada kursi depan disamping Faisal sebagai penunjuk jalan. Sementara Bu Wanti dan Bu Windarti duduk pada kursi belakang. Sekilas terlihat dari kaca penumpang kedua netra Bu Wanti tergenang dengan air bening yang hampir tumpah. Hatinya benar-benar terenyuh karena kenang yang tertanam dalam benaknya masih begitu lekat. Sepanjang jalan itu penuh kenangan, kenangan dari masalalu yang membuat dadanya semakin sesak menahan isak. Faisal yang memperhatikannya sekilas, kemudian membuka suara untuk mencoba mengurai kesedihan wanita tua itu.
“Bu, kalau di kampung sini makanan yang enak itu apa ya?” ujarnya sambil tetap mengemudi.
“Kalau disini kebanyakan hanya makanan rumahan saja, tidak banyak pedagang kuliner seperti di kota Nak,” jawab Bu Wanti sambil menyeka sudut matanya yang sudah mulai basah.
“Emang Abang pengen makan apa?” Anindita menimpali.
“Pengen yang seger-seger saja Nin, panas-panas gini habis perjalanan jauh,” ucap Faisal.
“Ok, gampang Bang kalau Cuma mau yang seger, nanti kita mampir ke rumah pak lurah saja.” Dengan muka jahil Anindita menjawab keinginan Faisal yang dibalas kernyitan dahi oleh lelaki itu.
“Kenapa harus ke rumah pak RT?” Faisal bingung.
“Dulu Anin sekelas sama anak pak RT Bang, dia cantik dan manis jadi pasti seger tuh kalau dilihat.” Celoteh Anindita dengan santainya.
“Hush, jangan ngawur.” Terdengar suara Bu Wanti dari kursi belakang.
“He he he becanda Bu.” Gadis itu menyeringai sambil menoleh kepada ibunya, sementara Faisal hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak berapa lama kendaraan yang mereka tumpangi memasuki sebuah pekarangan dengan rumah minimalis yang terlihat baru selesai karena tercium bau cat yang menyengat. Mobil Alphard keluaran terbaru itu parkir di halaman rumah sederhana yang akan ditempati oleh ibunya Anindita. Beberapa tetangga memperhatikan mereka dari kejauhan, mereka seolah memastikan siapa sosok yang akan turun dari kendaraan mewah tersebut.
Airmata haru Bu Wanti tak bisa terbendung lagi, mengalir membanjiri wajahnya yang mulai terlihat garis-garis keriput tanda menua. Anindita menggandeng lengan ibunya sementara Faisal membawakan barang-barang bawaan Bu Wanti. Pintu rumah dalam keadaan tidak terkunci seperti yang dia instruksikan kepada kepala tukang bangunan yang dia kenal. Mereka memasuki rumah itu dan Faisal segera meletakkan barang-barang bawaannya.
Perabotan sederhana peninggalan Winah dan milik Bu Wanti yang dulu disimpan disana terlihat tidak terurus dan berdebu. Beberapa sudah lapuk seperti meja makan dan rak piring dari kayu yang dulu susah payah dibuat oleh almarhum ayahnya. Mereka duduk beralaskan tikar yang Bu Wanti keluarkan dari tas ransel yang dibawanya.
“Silahkan Bu, Nak Faisal duduk, Anin coba beli makanan dan minuman ke warung Nak,” ujar Bu Wanti sambil melirik putrinya. Anindita mengangguk seraya berjalan meninggalkan mereka semua. Warung tersebut jaraknya cukup jauh dari rumah Anindita, hanya di warung itu yang cukup lengkap dibanding warung—warung kecil lainnya. Tak berapa lama, Anindita sampai di warung tersebut dan membeli apa yang dibutuhkan. Beberapa makanan ringan dan minuman dingin sudah masuk dalam kantong plastik, setelah membayar dia berbalik badan menyusuri jalanan beraspal rusak itu menuju rumahnya kembali.
“Dek Anin!” suara seseorang membuat langkahnya terhenti. Gadis itu segera membalikkan badan dan mendapati seseorang yang sangat dia kenal.
“Kak Romi.” Anin memanggil nama seseorang yang bertahun-tahun terpisah dan kini orang itu sudah ada dihadapannya.
“Apa kabar Dek?” Pemuda itu mengulurkan tangannya, kedua bola matanya terkunci menatap lekat gadis yang ada didepannya. Tatapan itu masih sama, seperti sorot mata yang mengantarnya di terminal waktu itu.
“Anin baik Kak, hmm Kak Romi gimana kabarnya? Sama kabar Lia gimana?” Anindita mengulas senyum dan membalas uluran tangan pemuda itu.
“Mang, berhenti, buatkan dua ya,” Sebelum menjawab pertanyaan Anindita, Romi menghentikan seorang penjual dawet keliling dan memesan dua porsi.
“Kakak Baik Dek alhamdulilah, ayo makan es dawet dulu,” ucap Romi sambil menghampiri si penjual dawet yang sudah memarkirkan gerobaknya dan menurunkan dua kursi untuk pembelinya duduk.
Anindita mengikutinya, merasa tidak enak sebetulnya karena akan memakan waktu cukup lama jika menghabiskan es dawet dulu. Akan tetapi dia juga merasa bersalah jika meninggalkan Romi yang sudah memesankan satu porsi untuknya. Akhirnya dia mengikuti pemuda itu dan duduk disana. Tak berapa lama es dawet pesanan mereka selesai, si penjual memberikannya kepada keduanya.
“Tadi Adek tanya kabar Lia ya? dia baik-baik saja,” jawab Romi sambil meneguk es yang ada ditangannya.
“Cie, bentar lagi jadi pengantin nih atau udah ya?” Anindita menelisik informasi dari pemuda yang ada didepannya.
“Apaan sih Dek, pertunangannya saja sedang dalam masa kritis, dia terlalu manja untuk bisa memulai sebuah biduk rumah tangga, andai gadis itu bukan pilihan ibu,” kalimatnya menggantung.
“Hush, ga boleh gitu, ibu Kakak pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.” Anindita sambil tersenyum dan tetap menikmati es dawet yang tinggal setengah.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti menepi di belakang kedua orang yang sedang menikmati es dawet tersebut. Dua orang gadis keluar dari mobil dan menghampiri Anindita dan Romi yang masih menikmati es dawetnya.
“Oh jadi cewek murahan ini yang selalu kamu banding-bandingkan sama aku?” suaranya terdengar sinis.
“Mana sebanding lah dia sama kamu Li, dia kan cuma tukang cuci, hidupnya dari daki-daki orang huh,” timpal gadis satunya lagi yang berjejer dengan wanita yang tidak lain adalah tunangannya Romi.
Sontak Anindita terkejut melihat kemunculan kedua wanita itu yang langsung membombardirnya dengan penghinaan. Dia belum menjawab apa-apa ketika tiba-tiba es dawet yang ada ditangan Romi sudah berpindah ketangan Lia secara paksa.
“Kamu ya, enak-enakan makan es dawet bareng tunangan orang, kalau ga laku ga usah keganjenan godain lelaki orang dong!” teriak Lia, tanpa Anin sangka es dawet itu sudah dilemparkan ke arah wajahnya. Anin tak sempat menghindar dan teriakan Romi memecah kekagetannya.
“Lia! Hentikan! Jangan bikin malu, kenapa membuat ribut disini?” teriak Romi, sambil menepis tangan tunangannya sehingga gelas itu jatuh menggelinding.
“Wanita itu yang tidak tau malu, dia dari dulu mau godain kamu, ternyata setelah menghilang bertahun-tahun tetap nyariin kamu, dasar wanita murahan!” teriak Lia sambil tangannya hendak menampar Anindita yang masih belum bisa bicara apa-apa karena terkejut luar biasa.
“Plakkk” suara tamparan keras terdengar, akan tetapi tangan itu bukan menghantam wajah manis Anindita melainkan menghantam sebuah lengan kekar yang tiba-tiba muncul menghadang tangan wanita itu.
“Jangan sekali-kali kamu memanggil calon istri saya wanita murahan, atau seluruh kampung ini saya beli dan kamu harus pergi dari sini.” Sorot mata yang tajam dengan ucapan tegas membuat Lia bergetar.
“Bung, tolong ajari kekasih Anda tata krama atau dia akan menyesal seumur hidupnya.” Faisal tanpa segan mendorong dada Romi dengan kesal. Dia memberikan lembaran uang seratus ribuan kepada penjual dawet dan menarik lengan Anindita yang belum berkata apa-apa.
“Sayang, ayo pulang, tidak usah menghiraukan makhluk tanpa adab seperti mereka.” Ucapannya sinis sambil melirik ke arah Lia dan temannya yang masih terpana melihat seorang lelaki bak model ibukota berdiri menjadi pahlawan untuk gadis yang ditindasnya. Tangannya mengambil gelas Anindita yang masih isi setengah es dawet, disimpannya dalam gerobak tanpa berkata apa-apa.
Anindita mengikuti Faisal, lelaki itu menggenggam jemari lengannya dengan erat. Harga dirinya seolah sangat terusik melihat gadis pujaannya diperlakukan hina. Romi dan kedua wanita itu menatap punggung dua orang yang semakin menjauh.
“Mas, ini tadi udah bayar, si Om ganteng itu bayar lagi gimana ini?” tukang dawet baru tersadar setelah kondisi sedikit tenang.
“Maaf ya Mang membuat keributan, udah itu rejeki amang, kami permisi, silahkan melanjutkan jualannya lagi” Romi memberikan gelas yang terjatuh.
“Sore ini saya kerumah kamu, kita selesaikan urusan kita.” Ucap Romi tegas sambil berlalu meninggalkan dua wanita yang masih tertegun.
“Sialan, sepertinya cewek murahan itu sudah dapet ikan kakap di kota, mana lebih ganteng dari Romi lagi, huh, beruntung banget nasib gadis miskin itu,” gerutu Lia setelah Romi menjauh.
“Ayo Lia, nanti telat lho” gadis yang ada disampingnya Lia menyadarkannya. Mereka bergegas pergi mengendarai mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
-bersambung-
***
JANGAN LUPA LIKE, COMENT & VOTE YA JIKA KALIAN ADA MAMPIR KE NOVEL INI. TERUS KEMBALI KE GAMBAR SAMPUL DAN BERKAN BINTANG LIMA YA... MAKASIHHHH.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
elvi nopricha
cwek kmpung aj belagu amat..jdi si anin tuh sering di tindas dlu ya..yg kuat ya anin
2020-10-06
1
Nona Cherry Jo
rasain lo... lia cewek gak ounya adao
2020-10-06
1