Berkali-kali panggilan video call Rio diabaikannya. Sejak semalam setelah diantar Hadi pulang, pikiran dan perasaannya menjadi tidak karuan. Hatinya butuh waktu untuk memaafkan semua prasangka tidak baiknya terhadap lelaki yang selama ini menempati relung hatinya. Akan tetapi rasa kesal dan penasaran membuatnya semakin ingin tahu. Dalam kekacauan pikirannya jemarinya perlahan menelusuri laman instagram dan Facebook mencari nama seseorang yang mengganggu hatinya. Luna.
Setelah nama itu masuk dalam kolom pencarian, berderet muncul nama serupa, akan tetapi matanya membelalak ketika menangkap satu photo profil yang terlihat begitu mesra. Dalam bingkai itu tidak hanya Luna seorang diri melainkan bersama Rio, lelaki yang ditunggunya selama ini. Tangan Anindita gemetar, airmatanya mengalir semakin deras, selama ini yang dikira baik-baik saja ternyata tidak. Mereka begitu tega membodohi kepercayaannya.
Memang dalam sosial media miliki Rio tak pernah muncul kebersamaannya dengan wanita itu yang hanya berdua. Sesekali ada photo yang di upload pasti bersama beberapa orang kawan lainnya. Akan tetapi ternyata kebersamaan mereka begitu intim, begitu banyak photo-photo yang diupload wanita itu dalam sosial medianya. Anindita tidak hendak menambahkan teman maupun memfollow akun tersebut. Dengan tidak berteman, justru sebuah kebenaran terungkap. Mungkin wanita itu tidak akan berfikir kalau Anin akan mencari tau sampai sejauh itu.
“Anin, kamu kenapa?” Sebuah pesan dari Rio diterima, setelah berkali-kali panggilannya diabaikan.
“Berikan aku waktu untuk menenangkan diri, jangan ganggu aku beberapa hari ini, aku sedang ada masalah.” Anindita memintanya tanpa menjelaskan apa yang sudah diketahuinya.
“Ok cantik, kalau udah siap bercerita, ceritalah, aku siap menjadi pendengar setiamu.” Jawab Rio tanpa menyadari kalau Anin sudah mengetahui sesuatu tentangnya.
Tidak ada balasan pesan lagi terkirim darinya untuk lelaki itu. Dadanya terasa sesak, air mata tak mau berhenti mengalir sampai akhirnya dia terlelap karena lelah. Satu hari, dua hari, dan kini hari ketiga setelah dia meminta waktu untuk menangkan diri. Dan selama tiga hari itu, Rio benar-benar tidak menghubunginya.
Gadis itu sudah berfikir matang-matang, membolak-balikan dan menimbang-nimbang. Fokusnya kini pada masadepannya dan Ibunya yang tidak lama lagi akan merintis hidup baru di kampung halaman. Rencananya minggu depan Anindita akan mengantar ibunya pulang kampung untuk memulai kehidupan barunya disana. Baginya terlalu berharga jika pikiran dan perasaan yang dibuat kacau oleh lelaki yang sampai saat ini belum memberikan kepastian masa depan. Hari-harinya dalam menjalani pekerjaan menjadi semrawut dan berdampak pada kinerjanya.
Sore itu dengan melapangkan segenap hati dan perasaannya akhirnya kalimat yang sudah dia rancang berhari-hari terkirim untuk lelaki yang masih disayanginya itu.
“Rio, maafkan aku, dulupun kamu memberikanku kebebasan untuk menunggu atau menyerah, dan hari ini aku sudah memutuskan untuk menjalani sendiri kehidupanku. Baik-baik disana semoga kamu mendapatkan seseorang yang sepadan dan setara sehingga pantas berdampingan denganmu. ” Pesan itu terkirim, akan tetapi sama sekali tidak ada balasan.
Mungkin lelaki itu memang tidak pernah menganggapnya penting. Sehari, dua hari, sampai minggu itu sudah hampir habis tidak ada balasan dari Rio. Sosial medianya pun tidak memiliki tanda-tanda kehidupan. Pada hari ketiga, Anindita mencoba melakukan video call akan tetapi nomor Rio selalu diluar jangkauan. Akhirnya dia memutuskan untuk membakar jembatan. Dia mengganti nomor ponsel dengan yang baru, memutuskan pertemanan dalam jejaring sosial media dengannya dan mengubah aturan akun menjadi pribadi. Tidak ada lagi celah untuk hatinya kembali.
Dalam kegamangan jiwanya, dia hanya bercerita pada wanita yang disayanginya. Ibunya meyakinkan dia untuk selalu tegar, dan meyakini kalau jodoh ditangan tuhan.
“Jika dia jodohmu, sesulit apapun jalannya kalian pasti akan dipertemukan kembali, tapi jika tidak meskipun kalian sudah berpacaran lama akan ada saja jalan untuk mengakhirinya.” Itulah kalimat terakhir yang ibunya sampaikan sebelum akhirnya Anindita terlelap menunggu hari minggu yang dinantikan.
***
Minggu ini merupakan minggu terakhir Bu Wanti bekerja di tempat keluarga Faisal. Anindita sudah rapi dengan gaya casualnya. Sesak dihatinya sudah sedikit berkurang setelah panjang lebar bercerita dengan ibunya. Dia melangkah dengan hati yang sudah dilapisi keyakinan kalau kehidupannya dan masadepan ibunya jauh lebih penting dari semua permasalahan cintanya. Wanita itulah salah satu alasan sehingga akhirnya dia bertahan dan mancapai titik karir yang lebih tinggi. Hidupnya terlalu berharga hanya untuk menangisi dan meratapi sebuah penghianatan.
Hari itu waktunya mengantar Bu Wanti pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menabung akhirnya Anin bisa merenovasi rumah yang ditinggalkan Winah di kampung. Meskipun sebagian biaya renovasi masih berhutang kepada tempatnya bekerja, akan tetapi hatinya cukup puas ketika para kontraktor yang dipesannya memberikan gambar hasil akhir dari rumah baru mereka. Rumah minimalis dengan dinding bata merah dan sebuah kios kecil untuk ibunya berjualan nanti.
Tidak lama transportasi online yang ditumpangi Anin sudah tiba dikediaman Faisal. Gadis itu meminta supir tranpsortasi online tersebut menunggu di depan gerbang istana megah tersebut. Beberapa kali Anin memijit bel hingga akhirnya seorang lelaki paruh baya membukakan pintu gerbang.
“Maaf Pak, bu Windartinya ada?” tanyanya dengan ramah, sebelum lelaki tersebut bertanya.
“Ada Mbak, mari masuk, dengan siapa ya?” tanyanya sopan sambil membungkuk.
“Saya Anindita, mau jemput Bu Wanti Pak.” Anindita menjawab sambil mengikuti laki-laki itu menuju teras.
"Silahkan duduk Mba, saya masuk dulu panggilkan ibu,” ujarnya.
“Terimakasih pak,” dengan sopan Anindita menjawab seraya mendaratkan tubuhnya pada kursi rotan yang sudah mengkilap.
Ceklek
Pintu terbuka, Anin sontak berdiri dan menengok ke arah pintu, berharap ibunya yang muncul disana. Tetapi dugaannya salah, yang muncul ternyata sosol lelaki yang sudah tidak asing lagi. Faisal tersenyum dengan sumringah dan menghampirinya. Dari pakaiannya terlihat sudah rapi.
“Anin ayo masuk, Bu Wanti masih beres-beres.” Dengan mata berbinar, Faisal mengajak gadis yang disukainya dalam diam masuk ke dalam rumahnya.
“Makasih Bang, si Bapak tadi kemana?” Anindita menelisik keberadaan lelaki tua yang tadi.
“Oh, Mang Omon, dia pergi ke belakang sedang menyuruh istrinya membuat minum.” Jawab Faisal enteng sambil menggiring Anin ke ruang tamu.
“Mang Omon sama istrinya?” kalimat gantung Anindita serta merta dipotong oleh Faisal.
“Mereka yang akan menggantikan Bu Wanti kerja disini,” ucapnya.
“Siapa yang datang Nak?” terdengar suara Bu Windarti memecah percakapan mereka dari lantai atas.
“Calon mantu Ibu!” Suara Faisal lantang yang dibalas lemparan bantal sofa dari gadis yang baru saja duduk dihadapannya.
Faisal hanya terkekeh, melihat Anin yang terlihat tidak nyaman dengan ucapannya. Tak berapa lama Bu Windarti menuruni anak tangga dengan pakaian yang sudah rapi juga. Anin bergegas berdiri dan menghampiri wanita yang sudah memberikan jalan untuk kehidupan baru baginya dan ibunya.
“Ibu apa kabar?” Anindita lebih dulu menyapa dan mencium tangan Bu Windarti.
“Baik Nin, ” jawab Bu Windarti tersenyum sambil menatap lekat gadis yang ada dihadapannya.
“Sal, ini betul calon mantu Ibu?” Ucapannya kali ini ditujukan pada Faisal, sambil melirik ke arahnya.
“Iya Bu,” dengan enteng lelaki itu menjawab.
Anin mendelik kearahnya, tetapi sebelum dia mengeluarkan kalimat pembelaan, seorang wanita setengah baya dan mang Omon muncul dari belakang bersama wanita yang begitu dia rindukan. Sekilas terlihat jelas binar kebahagiaan terpancar dari wanita yang selalu dia banggakan itu.
“Ibu!” Anindita berhambur memeluk wanita itu yang menenteng tas kecil ditangannya. Mang Omon meletakkan dua ransel besar yang ditentengnya di samping sofa, sementara wanita yang satunya membawa satu nampan berisi teh manis hangat untuk tamunya. Tak ada kalimat panjang lebar yang dua orang itu bicarakan, pelukan dan airmata yang mengalir merupakan luapan kerinduan dan kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata.
“Silahkan diminum tehnya Mbak,” suara wanita yang masih memegang nampan membuyarkan keharuan mereka.
“Iya makasih Bu, Ibu gantinya ibu saya disini?” tanya Anindita sambil tersenyum kearah wanita itu seraya tangannya menggandeng lengan ibunya.
“Iya Mbak, nama saya Tati.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Mbak Anin cantik, pantas saja kalau Mas Faisal suka.” Ucap Tati dengan polosnya.
“hah?” Anin bingung harus menanggapi apa, dia melirik kearah Faisal meminta jawaban, sementara lelaki itu hanya tersenyum usil melihat wajah bingungnya.
“Ayo, nanti keburu siang nih,” Faisal segera berdiri sambil mengambil kunci mobil dari atas meja dan mengabaikan sorot penasaran gadis didepannya itu.
“Bang Faisal mau kemana?” tanya Anin spontan.
“Nganterin kamu sama ibu lah, ayo Mah.” Faisal melirik kearah Bu Windarti yang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Anin udah pesen Go Car Bang,” Anin setengah berteriak karena Faisal sudah berjalan menjauh memunggunginya.
“Entar Abang suruh pulang Abang Go Car nya.” Jawabnya sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
-bersambung-
***
JANGAN LUPA LIKE, COMENT & VOTE YA JIKA KALIAN ADA MAMPIR KE NOVEL INI. TERUS KEMBALI KE GAMBAR SAMPUL DAN BERKAN BINTANG LIMA YA... MAKASIHHHH.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
💐 💞mier🌹❤️
ada stok kayak Faisal gak.....
mencintai dalam diam aku suka....🥰🥰🥰
semangat Thor🤗🤗🤗
2020-10-07
2
Nona Cherry Jo
sukaaaa faisalnya...
2020-10-06
2