Dua hari kemudian, Anaya pindah ke rumah Izzar.
Rumah itu terletak di tengah permukiman pinggiran kota. Anaya dan Naira menempati kamar utama yang semula kamar tidur Izzar. Kamar Mba Kemi di kamar kecil di dekat dapur.
“Kamu tidur di mana?” tanya Anaya khawatir harus berbagi kamar dengan Izzar.
“Di sini!” Izzar membuka pintu di seberang kamar Anaya. Sebenarnya, ruang itu adalah kamar tidur yang difungsikan sebagai tempat kerjanya. Ada meja gambar, meja komputer, rak buku, dan sofabed.
Anaya mengigit bibirnya melihat isi ruangan itu.
“Kamu tidur di situ?” Anaya menunjuk sofa bed di sudut.
“Iya… Kenapa? Ngga tega? Mau aku tidur sekamar dengan kalian?” pancing Izzar.
“Jangan ngaco!” Anaya langsung mendelik.
Izzar tertawa. Meski selalu ditanggapi sengit, Izzar seperti tak kapok meledek Anaya.
“Sudah lama kamu tinggal di rumah ini?” tanya Anaya.
“Baru setahun. Dulu aku beli rumah ini rencananya mau direnovasi total dan kujual lagi. Tapi keburu bangkrut,” jawab Izzar santai.
Anaya berkeliling memeriksa rumah mungil Izzar. Hanya ada dua kamar dan satu kamar asisten rumah tangga, ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah, dapur dan meja makan 4 kursi. Ada sedikit halaman di belakang. Kamar mandi ada dua, satu di antara kamar Anaya dan ruang kerja Izzar, dan satu lagi di sudut belakang, dekat dengan ruang cuci.
Semua ruang yang ada ukurannya serba kecil jika dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Seperti rumah boneka saja. Untung saja carport bisa dimuati dua mobil.
Anaya menarik nafasnya. Ia sudah pasti yakin tidak akan betah tinggal di tempat ini.
“Kenapa?” tanya Izzar melihat raut muka tak nyaman Anaya.
“Ngga apa-apa.” Anaya menghindar.
“Dinikmati saja! Toh, kamu ngga akan selamanya tinggal di sini,” ucap Izzar sambil melewati Anaya yang terpaku di pintu kamar tidur yang hanya seperempat dari luas kamar yang biasa ditinggalinya.
Naira bereaksi senang dengan kepindahan mereka. Ia langsung mendapatkan teman, anak perempuan tetangga sebelah rumah yang malu-malu mengintip kedatangan mereka. Naira yang luwes, tak malu menghampiri dan berkenalan dengan anak sebayanya itu.
“Boleh aku main ke rumah teman baruku itu, Ma? Rumahnya di sebelah rumah kita." Rania merayu.
“Siapa?” tanya Anaya heran.
“Namanya Lubna. Boleh ya, aku main ke rumahnya?”
Anaya memandang Izzar yang sedang menggotong boks-boksnya ke kamarnya.
“Zar, kamu kenal anak sebelah?”
“Lubna?”
“Iya!” Naira yang menjawab. “Boleh aku main ke rumahnya?"
“Boleh,” jawab Izzar.
“Tapi…,” Anaya ragu.
“Ngga apa-apa. Aku kenal orang tuanya,” ujar Izzar menenangkan Anaya.
Naira langsung berteriak girang.
“Ngga boleh kesana sendirian! Harus ditemani Mba Kemi!” seru Anaya.
Gadis kecil itu langsung menarik Mba Kemi untuk menemaninya bermain.
Selesai merapihkan semuanya, Izzar pamit kembali ke rumah Anaya untuk mengawasi persiapan pekerjaan renovasinya. Anaya semula ingin mencegahnya, sebab ia masih sangat asing dengan lingkungan di sini. Namun, ia juga merasa risih bila hanya berduaan dengan Izzar. Jadi, ia membiarkan Izzar pergi.
Saat Anaya sedang membenahi pakaian Naira, terdengar suara seseorang meneriakkan salam. Anaya mengintip dari jendela kamar. Ada seorang wanita berkerudung di pintu pagar.
Anaya mencoba untuk tidak peduli dan kembali dengan kegiatannya. Namun, tak berapa lama, wanita itu kembali meneriakkan salamnya.
Akhirnya, Anaya keluar menemuinya dan membalas salamnya. Wanita tersebut seorang ibu setengah baya yang tampak ramah. Tangannya menenteng kantung plastik kresek berwarna merah.
“Mas Izzar ada?” tanyanya dengan senyum lebar.
“Maaf, ngga ada, sedang pergi.” Anaya menjawab santun.
“Oh! … Ini, saya mau mengantarkan mangga. Kami habis panen, biasanya Mas Izzar suka mangga dari pohon kami.” Ibu tersebut menyodorkan kantung plastik di tanganya.
“Terima kasih.” Anaya menerimanya hati-hati. "Maaf, dari ibu siapa ya?”
“Dari Bu Lilis! Rumah saya di ujung jalan ini! Itu di sana!” jawabnya sambil tangan kirinya menunjuk ke sebuah arah.
“Oh! Nanti saya sampaikan kalau mangga ini dari Bu Lilis.”
Langkah Anaya maju sedikit . Ia tak berminat berbincang-bincang lebih banyak. Tapi, kaki Bu Lilis diam bergeming.
“Mba ini siapanya Mas Izzar?” tanya Bu Lilis dengan mata penuh selidik.
“Saya isterinya,” jawab Anaya dengan senyum, meskipun hatinya geli mendengar ucapannya sendiri.
Seketika wajah Bu Lilis berubah. Senyum dan rona ramah menghilang dari wajahnya, berganti raut terkejut.
Anaya melebarkan senyumnya. Namun, Bu Lilis tidak membalasnya. Sikapnya berubah masam. Ia segera pamit dan meninggalkan Anaya dengan langkah tergesa.
Meski heran dengan perubahan sikap Bu Lilis, Anaya membiarkannya pergi. Ia meletakkan mangga di meja dapur, dan menelefon Mba Kemi untuk membawa Naira kembali. Ia khawatir dengan anaknya.
Diikuti Mba Kemi, Naira kembali sambil berseru lapar. Anaya bingung karena lemari es Izzar kosong, sementara perutnya juga mulai merasakan hal yang sama.
“Beli saja, Bu! Kata Mba Titi pengasuh Lubna, di blok sebelah ada rumah makan enak yang menyediakan katering harian juga. Banyak yang bilang enak katanya.” Mba Kemi memberi usul.
Anaya setuju, setelah diberikan uang, Mba Kemi langsung melesat keluar rumah.
Cukup lama Mba Kemi pergi. Ia kembali dengan kantung-kantung berisi aneka lauk pauk yang memang cukup lezat. Selesai makan, Mba Kemi menawarkan diri mengupaskan mangga dari Bu Lilis.
“Nanti saja!” Mengingat sikap Bu Lilis yang aneh, Anaya menjadi enggan mengusik buah yang ranum itu. Kejadian dengan Bu Lilis tersebut diceritakannya kepada Mba Kemi.
“Bu Lilis patah hati berarti,” ucap Mba Kemi.
“Maksudnya?” Anaya penasaran.
Anaya sebenarnya mengajarkan Mba Kemi untuk tidak usil dengan urusan orang lain. Tetapi, biarpun Mba Kemi tidak suka bergosip, ia mendengarkan banyak info saat menemani Naira main dan berbelanja makanan.
“Suami Bu Anaya banyak penggemarnya di sini!” Mba Kemi menutup mulutnya menahan senyum.
Alis Anaya terangkat.
“Bu Lilis itu katanya dulu yang punya rumah ini. Dia punya anak gadis baru lulus kuliah yang sudah lama dijodoh-jodohkan dengan Pak Izzar. Tapi, Pak Izzar ngga nanggapin serius. Terus, tiba-tiba Bu Anaya datang dan ngaku isterinya… Bu Lilis jadi stres dan hebohlah orang sekampung!” tutur Mba Kemi.
Sungguh Anaya ingin tertawa. Dahsyat sekali kecepatan jaringan pergunjingan di lingkungan ini. Padahal baru beberapa jam saja dirinya pindah ke rumah ini.
Mba Kemi menambahkan bahwa tak hanya Bu Lilis yang mencoba mendekati Izzar, tapi banyak wanita-wanita single dan ibu-ibu yang mempunya anak gadis di sekitar sini, berharap bisa mendapatkan perhatian Izzar.
Anaya hanya tersenyum mendengarkan penuturan Mba Kemi. Dalam hati ia mengakui, secara fisik dan pembawaan Izzar yang ramah memang mudah memikat perhatian wanita. Lalu, haruskah ia merasa beruntung karena berstatus sebagai isteri Izzar di saat banyak perempuan yang menginginkannya?
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
lilis herawati
kayaknya Naira bakal betah di sini
2023-04-11
0
Flo-She
kenapa Bu Lilis manyun yaa ehm
2023-04-07
0
al-del
harunya kamu bangga bisa memiliki nya... nanti giliran di ambil orang kamu nangis karena gak rela.
2023-04-04
1