DMS 19

Ucapan Elgar menggema dikepala Mila. Tidak pernah bahagia, apa maksudnya? Bukankah malam itu, Elgar bilang jika dia baik-baik saja?

Elgar menyandarkan punggungnya disandaran jok, matanya terpejam. Mungkin Mila akan menertawakannya. Akan mencibir jika ini adalah karma bagi pecundang sejati sepertinya. Tapi Elgar sudah tak peduli lagi, dia tak mau berpura-pura bahagia di depan Mila.

"Aku tak bahagia selama 7 tahun ini, Mil. Aku tersiksa, setiap saat aku hanya merindukanmu."

Jika memang seperti itu kenyataannya, Mila merasa jika hidupnya jauh lebih baik. Setidaknya dia masih punya mood booster, yaitu Saga.

Elgar membuka matanya, dengan punggung yang masih bersandar, dia menatap lalu lalang kendaraan dari kaca jendela.

"Kalau kau bertanya kenapa aku tak mencari kabar tentangmu selama 7 tahun ini? Jawabannya cuma satu Mil. Aku belum siap, lebih tepatnya, belum siap melihatmu menjadi milik pria lain."

Devan adalah pria yang sempurna, wanita mana yang tak terpikat dengan pesonanya. Apalagi dia tahu Devan mencintai Mila, Elgar belum siap menerima kenyataan jika Mila bersama Devan. Bahkan setiap kali Pink datang ke rumah untuk mengunjungi neneknya, Elgar memilih menjauh, dia takut jika Pink akan menyampaikan kabar jika papanya akan menikah dengan Mila.

"Hari itu, saat Mama memberitahuku jika Devan akan menikah, aku pikir dia akan menikah denganmu. Hatiku hancur, Mil. Aku bahkan sampai mengalami kecelakaan hebat hingga koma selama 10 hari."

Mila terkejut mendengarnya. Dia tak tahu sama sekali jika Elgar pernah hampir meregang nyawa.

Jadi Bu Dirga tak mengatakan dengan siapa Devan menikah? Apakah dia sengaja melakukan ini agar Elgar putus asa?

Mila menggigit bibir bawahnya sambil menengadahkan wajah. Tidak, dia tidak boleh menangis.

"Aku pikir kau benar benar sudah menikah dengan Dev. Tapi kemarin," Elgar menegakkan punggunya lalu menatap kearah Mila.

"Kemarin aku baru tahu jika statusmu masih single, itu artinya, bukan kamu pengantin Devan."

Bertahun-tahun Devan berusaha mengambil hati Mila. Tapi hati yang terlanjur membeku itu, tak bisa mencair sama sekali.

Elgar meraih kedua tangan Mila lalu menggenggamnya.

"Tunggu aku, Mil. Aku janji tidak akan lama. Aku akan segera bercerai dengan Salsa."

Mila menarik tangannya sambil menggeleng. Ini tidak benar. Meski Elgar mengaku tidak bahagia hidup dengan Salsa, tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab hancurnya sebuah rumah tangga.

"Aku tak mau jadi orang ketiga dalam rumah tanggamu, El. Aku tak mau menyakiti hati wanita lain. Dulu aku sudah pernah menyakiti Salsa dengan merebut hati kekasihnya. Dan sekarang, aku tak mau merebut suaminya."

Elgar membuang nafas berat, kembali menyandarkan punggungnya lalu merogoh ponsel yang ada disaku celana. Membuka ponselnya dan mencari foto-foto Salsa dan Ben yang tersimpan digalery.

"Lihatlah!" Elgar menyodorkan ponselnya pada Mila.

Dengan ragu-ragu, Mila menerimanya. Matanya membulat sempurna melihat foto-foto mesra Salsa bersama seorang pria bule. Dilihat dari tempat dan pakaian yang berbeda beda, jelas mereka sangat sering menghabiskan waktu bersama.

"Saat ini pun, mereka sedang bersama, liburan di Eropa."

Rasanya Mila masih belum bisa percaya. Dia pikir Salsa sangat mencintai Elgar. Dia memilih tak mau mencari tahu tengang Elgar dan menyembunyikan Saga, karena dia tak merusak kebahagiaan mereka.

Elgar kembali melajukan mobilnya menuju tempat yang ingin dia tuju sebelumnya. Setelah beberapa menit, mobil yang mereka kendarai sampai di depan sebuah restoran.

"Ini." Mila menyodorkan kembali ponsel milik Elgar yang dia bawa.

"Bawa aja."

"Tapi kalau Salsa telepon?"

"Angkat saja," sahut Elgar enteng sambil tersenyum simpul.

Mila mendesis sambil mendelik. Ogah dia dianggap pelakor karena mengangkat telepon milik suami orang. Dia menarik telapak tangan Elgar lalu meletakkan ponsel disana.

Elgar tersenyum melihat tingkah Mila. Digenggamnya ponsel itu kemudian dia letakkan di atas dashboard.

"Aku tak ingin diganggu saat bersamamu."

"Tapi nanti kalau kliennya telepon?"

"Dia sudah tahu kita menunggu disini."

Elgar melepaskan seatbeltnya, begitupun Mila.

"Gak usah bawa itu," ujar Elgar saat Mila hendak membawa tas laptopnya.

"Ta_"

"Buruan!"

Mila menghela nafas, meletakkan kembali tas berisi lap top, lalu membawa tas jinjingnya. Mereka berdua berjalan beriringan masuk kedalam cafe.

Mila berdecak kagum, 7 tahun yang lalu, masih belum banyak cafe estetik sebagus ini di Jakarta. Ide pemilik cafe patut diacungi jempol.

Elgar memilih meja paling pojok. Meski bagian depan dekat kaca tampak lebih bagus view nya, tapi dia sedang tak ingin terganggu dengan lalu lalang orang. Jadilah meja paling pojok, pilihan paling tepat.

Mila mengernyit saat Elgar menyuruhnya memesan makanan. Kenapa tak menunggu klien dulu. Jangan-jangan feelingnya benar, mereka tak sedang menunggu klien, tapi ini hanya akal akalan Elgar untuk bisa makan siang dengannya.

Begitu pelayan pergi, Elgar melepaskan dasinya.

"Bisa tolong simpankan ini?" Elgar mengangsurkan dasinya pada Mila.

Tak ada pilihan lain, Mila menerima dasi warna silver itu, melipatnya rapi lalu dimasukkan kedalam tas.

Elgar terus-terusan tersenyum sambil menatap Mila, membuat wanita itu salah tingkah.

Astaga, apa matanya tak bisa sebentar saja beralih menatap yang lain? Tenang Mil, tenang. Ambil nafas.... buang, jangan terlalu kelihatan jika dirimu gugup.

Untung kecanggungan itu segera reda saat pelayan datang membawakan pesanan mereka.

Mila menatap bingung makanan di depannya. Haruskah dia makan sekarang? Tapi bagaimana jika klien tiba-tiba datang disaat mereka masih makan? Rasanya kurang sopan jika menyuruh klien menunggu mereka menghabiskan makanan?

"Makanan itu tak akan habis jika hanya kau pandangi. Atau jangan jangan, kamu berharap aku akan menyuapimu?" goda Elgar sambil menahan tawa.

Mila seketika mengangkat pisau dan garpu yang ada di depannya. Dia sudah tak peduli lagi jika klien tiba-tiba datang. Tapi, kembali dia mengurungkan niat untuk memotong daging yang tampak empuk diatas hot plate. Dia teringat Saga, biasanya dia selalu menyempatkan diri menelepon bocah itu saat jam makan siang. Saat ini, apakah anak itu sudah makan? atau tengah menunggu telepon darinya?

"Ada apa?" Elgar melihat raut Mila yang mendadak berubah.

"Tidak." Mila kembali fokus pada makanan di depannya dan mulai memotong daging. Sudahlah, nanti dia bisa ijin ke toilet untuk menelepon Saga.

Tapi sepertinya, Elgar tak bisa membiarkan Mila makan dengan tenang. Pria itu terus terusan menatap Mila hingga wanita itu merasa kesusahan menelan makanannya.

"Makanan anda tidak akan habis jika anda menatap saya terus."

Elgar terkekeh pelan mendengar Mila membalikkan kata katanya tadi. Pria itu lalu menggeser makannya kedekat Mila.

Apa-apaan ini? Aku disuruh makan 2 porsi gitu? Apa makanku terlalu rakus sampai kelihatan seperti orang kelaparan?

"Tolong potongkan."

Mila seketika melongo. Bukankah kedua tangannya menganggur. Dia juga bukan anak kecil. Masa iya memotong steak saja harus minta bantuan.

"Biasanya sekretaris yang lama melakukan itu untukku."

Jangan bilang jika sekretaris lama juga menyuapinya.

Huft, Mila membuang nafas lalu meletakkan garpu dan pisau miliknya. Terpaksa menjeda makan demi melakukan pekerjaan sebagai sekretaris. Ya, membantu bos memotong daging mendadak ada dalam daftar kerjaan sekretaris.

"Apa saya juga harus menyuapi anda?" sindir Mila.

"Of course! Jika kamu tidak keberatan."

Mila memutar kedua bola matanya malas lalu menggeser kembali makanan Elgar kehadapan pria itu.

Saga saja bisa makan sendiri, kenapa papanya lebih manja.

Elgar tersenyum puas setelah berhasil mengerjai Mila. Senang sekali rasanya bisa kembali seperti dulu. Selalu merepotkan Mila dan membuat wanita itu kesal sekaligus selalu merindukannya.

"Selere Aden sungguh buruk," celoteh Elgar setelah menelan sepotong daging. "Dia bilang steak disini sangat lezat, nyatanya rendang bikinan kamu jauh lebih lezat."

"Bukankah dulu anda selalu mengomeli masakan saya. Tidak enak lah, kampungan dan membosankan?" ledek Mila dengan mata tetap tertuju pada makanan.

Elgar terkekeh mendengarnya, membuat atensi Mila seketika tertuju padanya.

"Aku senang kau masih sangat ingat seperti apa aku dulu."

Glek

Mila langsung menelan ludahnya. Dia menyesal karena sudah salah bicara. Tapi memang seperti itulah kenyataannya, dia tak akan pernah lupa semua kenangan mereka. Bahkan semua ejekan dan umpatan Elgar masih selalu dia ingat.

Tak mau memusingkan Elgar, Mila kembali fokus pada makanannya. Tak mau peduli lagi entah Elgar menatapnya atau tidak.

Sedangkan Elgar, masih terus saja senyum-senyum sambil kembali makan. Melihat rambut Mila yang tampak mengganggu, tangannya bergerak untuk menyelipkan rambut Mila di belakang telinga.

Suhu badan Mila seketika memanas diperlakukan seperti itu. Dirinya seperti tersengat aliran listrik bertegangan tinggi saat jemari Elgar menyentuh daun telinga.

Terpopuler

Comments

Indah Alifah

Indah Alifah

,aku suka yg clbk2 dan cowok bucin🤭

2024-04-17

0

harmawati fathindy

harmawati fathindy

🤭

2024-03-16

2

BunSay5A

BunSay5A

ya sama mil, disini kemana2 papa ny hrs diantar, anak nya mah pergi sendiri/Facepalm/

2023-12-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!