DMS 14

Pulang dari kantor, Mila disambut oleh Saga dengan suka cita. Anak itu langsung memamerkan sepeda barunya dan menceritakan tentang keseruannya bermain games. Bukan hanya sekali, berkali kali Saga memuji kehebatan Elgar.

"Om El itu hebat mah, larinya cepet banget. Dia juga gak keberatan pas gendong Saga. Tadi Saga dan Om El main piano bareng. Pokoknya, Om El hebat."

Dan masih banyak lagi pujian pujian Saga untuk Elgar. Melihat Saga yang begitu menyukai sosok Elgar, membuat Mila merasa senang. Mungkin ini yang dinamakan ikatan batin. Meski Saga tak tahu jika Elgar ayahnya, Saga merasa nyaman bersama pria itu.

Bu Rahmi memanggil Mila lalu mengajaknya mengobrol berdua. Sejak tadi, dia penasaran dengan sosok om Elgar yang diceritakan Saga. Mungkinkah itu Elgar yang sama dengan papa kandung Saga?

"Ibu penasaran dengan Om Elgar yang diceritakan Saga? Mungkinkah dia adalah..."

"Iya Bu, dia Elgar yang sama."

Mila menunjukkan video yang dikirim miss Naomi padanya. Mata Bu Rahmi membulat sempurna saking kagetnya. Jadi pria yang membuat Saga bahagia hari ini, adalah papa kandungnya.

"Mila bingung Bu, bagaimana Elgar bisa tiba tiba ada di sekolah Saga? Mungkinkah Elgar sudah tahu tentang Saga?"

Bu Rahmi menggeleng. "Sepertinya belum. Menurut Saga, pria itu adalah pemilik yayasan Sinar Mentari, jadi wajar Elgar ada diacara itu."

Mila bernafas lega. Sepertinya dia sudah salah sangka pada Elgar.

"Mil, apa gak sebaiknya, kamu kasih tahu tentang Saga pada Elgar?"

Mila menggeleng. "Elgar sudah bahagia dengan kehidupannya Bu. Mila tak nau kehadiran Saga mengganggu rumah tangga Elgar dan Salsa. Bagaimanapun, tak ada wanita yang akan baik baik saja jika tahu suaminya punya anak dengan wanita lain. Salsa pasti akan kecewa jika tahu Elgar pernah menikah sebelumnya, bahkan punya anak."

Bu Rahmi menghela nafas lemah. Kali ini, dia tak sependapat dengan Mila. Mengusik kebahagiaan wanita lain memang tidak baik, tapi mengorbankan kebahagiaan Saga juga bukan pilihan yang tepat.

"Kalau memang kamu gak ingin memberitahu siapa papa kandung Saga, lebih baik carikan saja dia papa baru. Setidaknya dia bisa merasakan kehadiran sosok ayah dalam kehidupannya. Jangan cuma kebahagiaan Elgar dan Salsa saja yang kamu pikirin, Saga dan kamu juga berhak bahagia. Si Billi kayaknya naksir sama kamu."

Mila seketika tergelak. "Tak ada kandidat lain apa? Takkan ibu mau berbesanan sama tetangga sebelah?"

"Jangan jarak yang kamu pertimbangkan, melainkah orangnya, hatinya. Billi terlihat tulus. Dia juga punya kerjaan yang mapan. Dan yang paling penting, dia bisa menerima Saga. Saga juga tampak akrab denganya."

Sejak awal berkenalan, Bu Rahmi sudah menyukai Billi. Menurutnya, Billi adalah sosok yang baik dan periang. Meski ibunya kalau bicara sekeras toa masjid, tapi sebenarnya dia baik. Selain itu, mereka berasal dari kelas ekonomi yang sama. Hal itu lebih baik daripada kesenjangan ekonomi yang nantinya akan memperumit rumah tangga.

"Bu, itu Pak RT, kayaknya naksir ibu deh. Gimana kalau kita cariin Saga kakek baru."

Bu Rahmi langsung melotot sambil mengaplok lengan Mila. Yang dibahas dia dan Billi, kenapa tiba tiba nyambungnya ke Pak RT. Milla terkekeh geli melihat ibunya yang seketika melengos lalu pergi begitu saja.

...----------------...

Di kantor, Aden mengomel sambil mengerjakan laporan yang seharusnya menjadi pekerjaan Dina. Sudah 3 hari Dina tak masuk dengan alasan yang sama, yaitu anaknya sakit. Ingin sekali dia memaksa Elgar untuk memecat Dina, bukannya dia tak berperasaan, hanya saja, harusnya Dina sadar diri. Jika sudah merasa tak sanggup membagi waktu, harusnya dia mengundurkan diri. Bukan seperti ini, yang ada malah merepotkan banyak orang.

Aden keruangan Elgar untuk menyerahkan laporan yang baru dia kerjakan.

"Dina tak masuk lagi?" tanya Elgar.

"Sudah waktunya dia digantikan Pak."

"Dia sudah lama bekerja disini. Dan saya sudah sangat cocok dengannya. Rasanya masih tak rela jika harus menggantinya." sahut Elgar.

Ya, dulu Dina memang pegawai yang sangat bisa diandalkan. Tapi semua berubah setelah dia punya anak, apalagi anaknya sakit sakitan.

"Apa Salsa menghubungimu? Kapan dia pulang?" Ini sudah seminggu lebih Salsa tak pulang.

Tawa Aden hampir saja meledak. Kalau tidak ingat yang bertanya barusan adalah bosnya, dia pasti sudah meledeknya habis habisan. Salsa itu istrinya, kenapa malah tanya pada aspri kapan istrinya pulang. Sungguh membagongkan.

"Kenapa kamu ketawa?"

"Lucu Pak."

"Apanya?"

"Bapak."

Elgar mengernyitkan dahi.

"Bu Salsa itu istri Bapak. Yang seharusnya dihubungi dan tahu kapan dia pulang, tentu saja Bapak, bukan saya."

Elgar mendengus melihat Aden yang menertawakannya. Sejak Salsa telepon malam itu dan mengabarkan kalau ayahnya sakit, sampai sekarang, mereka tak pernah ada kontak. Sebenarnya Elgar juga tak peduli kapan Salsa pulang, tidak ada dia justru terasa lebih baik. Sayangnya mamanya terus bertanya kapan Salsa pulang, sampai sampai telinga Elgar panas.

Aden berkali kali mengumpati Elgar saking anehnya pria itu. Hanya saja dalam hati, mana berani bilang langsung. Dia masih cinta dengan pekerjaannya.

"Oh iya, saya hampir lupa mengatakan. Pak Rendra, mengidap kanker otak stadium akhir."

Deg

Elgar seketika meletakkan berkas yang dia pegang. Kanker otak stadium akhir, apa ini tandanya pria itu akan segera mati? Astaga, Elgar mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia mendahului takdir dan mendoakan keburukan pada orang lain. Bukan orang lain lebih tepatnya, melainkan mertuanya sendiri.

"Apa Salsa tahu tentang ini?"

"Sepertinya tidak."

Elgar tahu sesayang apa Pak Rendra pada putrinya itu. Dia pasti merahasiakan ini dari Salsa. Tapi jika dia mati, siapa yang akan melanjutkan bisnis bawah tanahnya? Sampai matipun, Elgar takkan sudi menyentuh bisnis haram itu. Meski keuntungannya sangat besar dan menjadi penguasa yang disegani, tapi resikonya juga tidak kecil.

"Tolong buatkan saya kopi."

What! Aden seketika melongo. Inilah alasan dia makin gencar minta Dina diganti. Karena semua tugas Dina mendadak turun padanya. Bahkan membuat kopipun, sekarang menjadi tugasnya juga.

"Kamu tahukan takarannya?"

Aden menghela nafas lalu mengangguk. Dia memang pernah diberi tahu saat Dina tak masuk dulu. Tapi sekarang, takkan tugas itu menjadi pekerjaan pokoknya. Selera Elgar susah susah gampang, dia selalu tak cocok dengan kopi buatan ob.

Dengan langkah malas, Aden berjalan menuju pantry. Kepalanya sudah lumayan pusing gara gara mengerjakan pekerjaan Dina yang terbengkalai. Tapi sekarang, masih harus membuat kopi juga.

Brakk

Aden menendang pintu pantry sebagai pelampiasan rasa kesalnya.

"Astaga." Seru seseorang didalam pantry yang kaget karena ulah Aden.

"Maaf maaf, saya pikir gak ada orang." Ujar Aden sambil nyengir.

"Kamu...kamu..."Aden menunjuk wanita yang sedang membuat kopi dipantry itu. Dia seperti pernah melihatnya, tapi dimana?

Ya, wanita di pantry itu adalah Mila. Tapi Mila juga tak ingat pernah melihat Aden. Mungkin karena saat kejadian itu pikirannya sangat kacau, ditambah bertemu Elgar setelah 7 tahun, dia jadi tak fokus pada orang lain.

"Ada apa Pak?" tanya Mila.

"Saya seperti pernah melihat kamu, tapi lupa." Hari itu penampilan Mila sangat acak acakan, ditambah lagi dia selalu menunduk, membuat Aden kurang jelas melihat wajahnya.

"Mungkin kita pernah berpapasan dikantor. Namanya juga satu kantor."

"Karyawan baru?" tebak Aden.

"Iya, belum ada satu minggu."

"Ohh..."

"Kamu merebus air, mau bikin kopi?" Aden memperhatikan cangkir berisi kopi didepan Mila. Tampak juga air yang hampir mendidih diatas kompor.

"Iya Pak."

Kebetulan sekali. Elgar, bosnya itu tak mau kopi yang airnya berasal dari dispenser. Mumpung ada yang lagi bikin kopi, sepertinya numpang bukan ide yang buruk.

"Bisa sekalian buatin untuk saya ?"

"Boleh." Jawab Mila sambil tersenyum. Tak ada raut keberatan sama sekali diwajahnya.

Yaelah, nih cewek senyumnya manis banget. Bikin jantung gue karja keras aja.

Mila menambahkan air kedalam panci supaya cukup untuk dua cangkir.

"Suka kopi hitam atau ko_"

"Hitam, jawab Aden cepat."

"Gulanya?"

"Gak usah manis manis, karena kamu udah manis."

Mila mengernyit sambil menahan tawa mendengar gombalan gak bermutu itu.

Aden duduk dikursi pantry sambil memperhatikan Mila dari belakang. Sepertinya dia memang sudah waktunya mencari pasangan. Melihat cewek didepan kompor jadi merasa pengen nikah biar ada yang melayani.

Setelah airnya mendidih, Mila segera menyeduh dua cangkir kopi. Setelah siap, dia meletakkan kopi untuk Aden atas meja dimana tepan didepan pria itu duduk.

"Silakan kopinya. Saya permisi dulu, masih banyak kerjaan," pamit Mila.

"Iya, silakan." Sahut Aden dengan lembut sambil tersenyum. Begitu Mila pergi, dia memegangi dadanya. Jantungnya berdebar kencang.

Apa jomblo abadi ini akhirnya menemuka belahan jiwanya?

Aden masih terngiang ngiang pesona Mila. Dia mengangkat cangkir berisi kopi didepannya dan hampir saja menyeruputnya jika tidak ingat itu kopi untuk Elgar.

"Ya elah, sampai lupa. Inikan kopi buat Pak Elgar." Aden meletakkan kembali cangkir kopi diatas lapik lalu membawanya ke ruangan Elgar.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BAGUS, BIAR CEPAT MMPUS, KLO RENDRA MMPUS. TK ADA YG BSA BEKINGI SALSA LAGI.. MUDH BUAT EL LEPASKN SALSA
.

2024-04-05

1

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

WAHHH SI ADEN JUGA JATUH CINTA PADA PANDANGN PERTAMA DGN MILA

2024-04-05

1

Dewi Dama

Dewi Dama

sudah 2x baca tapi masih semangat baca nya...

2024-03-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!