DMS 12

Riuh rendah terdengar dihalaman TK Sinar Mentari. Kekompakan antara ayah dan anak diuji disini. Bisa jadi, ini healing kecil-kecilan untuk para ayah yang biasanya sibuk bekerja. Ada tiga games yang hari ini dilombakan. Mulai dari estafet kelereng, menggendong anak sambil memindahkan bola dan adu bakat kekompakan.

Netra Bu Dirga berbinar menatap Elgar yang menggenggam tangan Saga. Hatinya menghangat. Andai saja Elgar punya anak, masa tuanya pasti lebih berwarna, tak kesepian seperti ini.

Saga sudah bersiap-siap dengan sendok berisi kelereng diantara kedua bibirnya. Tak jauh darinya, Elgar sudah menunggu untuk melakukan estafet.

Begitu peluit berbunyi, Saga segera melangkah hati-hati sambil berusaha mempertahankan kelereng di sendoknya agar tidak jatuh.

Begitu Saga tiba, Elgar segera berjongkok untuk memindahkan kelereng tersebut keatas sendok yang ada dimulutnya. Setelah kelereng berpindah, ganti Elgar yang membawanya. Saga segera berlari kedepan untuk estafet berikutnya.

"Ayo papa, ayo." Seruan teman-temannya membuat Saga menoleh. Dia menatap teman temannya yang berteriak untuk menyemangati papa mereka. Andai saja pria yang menemaninya main games adalah papanya, dia pasti lebih senang lagi.

Elgar mengernyit melihat Saga yang tampak murung. Bukankah beberapa saat yang lalu, anak itu tampak ceria. Ada apa dengannya?

Sampai di tempat Saga berdiri, Elgar kembali mengoper kelerengnya. Kali ini, tugas Saga untuk membawa kelereng tersebut sampai garis finis. Sayangnya, kelereng tersebut lebih dulu jatuh sebelum sampai digaris finis. Sungguh sayang, padahal posisi Saga paling depan dibanding teman temannya.

Elgar mendatangi bocah itu lalu mengusap kepalanya pelan.

"Tak masalah, masih ada 2 games lagi yang bisa kita menangkan," hiburnya. Melihat Saga sedih, entah kenapa, dia seperti ikut sedih.

"Untuk games selanjutnya, kita gak usah ikutan," ucap Saga sambil menunduk lesu.

"Kenapa?"

"Saga berat, Saga gak mau bikin om capek." Saga merasa tak nyaman jika harus digendong Elgar, orang yang bukan siapa-siapanya. Pria di depannya itu bukan papanya, mereka juga baru kenal. Dia tak mau membuat pria itu lelah karena harus mengangkat bobot tubuhnya yang tidak ringan.

"Masak sih?"

Tanpa aba-aba, Elgar langsung mengangkat tubuh Saga keatas. Membuat Saga memekik kaget sekaligus senang.

"Berat juga ya, tapi Om masih kuat." Elgar tertawa renyah lalu kembali menurunkan Saga.

"Jadi Om gak keberatan menggendong Saga?"

"Enggak sama sekali," jawab Elgar sambil mengacak pelan puncak kepala Saga

Senyum merekah dibibir mungil Saga. Tak menyangka jika hari ini dia sangat beruntung karena ada orang baik yang mau menemaninya bermain games.

"Om, apa kita pernah bertemu?" Saga seperti pernah melihatnya, sayangnya dia lupa kapan dan dimana.

Elgar mengerutkan dahi, rasanya baru hari ini mereka bertemu. Tapi entahlah, mungkin Saga tak sengaja pernah melihatnya disuatu tempat.

"Sepertinya tidak pernah," sahut Elgar.

"Oh...tidak pernah ya. Pasti Saga salah orang." Tapi Saga belum puas dengan jawaban itu. Dia masih berusaha mengingat.

Disaat bersamaan, Bu Dirga datang dengan 2 botol minuman ditangannya. Dia memberikannya pada Elgar dan Saga masing masing satu. Saat Elgar minum, dia baru teringat kapan dan dimana melihat Elgar. Pak Pram, ya, dia adalah Pak Pram, teman mamanya yang hari itu ada dibalkon hotel. Pria yang berdiri dibalkon sambil meminum soft drink.

"Om Pram! Iya, Saga ingat. Om ini, Om Pram kan, temannya mama?"

Elgar mengernyit bingung, begitu pula dengan Bu Dirga.

"Ini Om Elgar, bukan Om Pram," koreksi Bu Dirga.

Saga meletakkan telunjuknya didahi. Melirik keatas sambil mengingat ingat wajah Om Pram. Rasanya, dia tak salah. Ingatannya masih cukut tajam.

"Saga mungkin salah orang," Elgar menyahuti.

"Tapi muka Om sama persis dengan Om Pram."

Sepertinya wajahku ini terlalu pasaran. Tak hanya bocah kecil ini saja yang mirip denganku. Ternyata masih ada pria bernama Pram yang juga mirip denganku.

Terdengar suara pangilan dari panitia. Nama Saga dipanggil agar siap-siap untuk games selanjutnya.

Elgar menggandeng tangan Saga menuju tempat lomba. Bu Dirga merasa sedikit aneh. Elgar adalah orang yang dingin dan cuek, terutama setelah perpisahannya dengan Mila. Tapi hari ini, putranya itu mendadak menjadi pribadi yang hangat. Terlihat sekali dari cara dia menatap dan memperlakukan Saga. Mungkinlah hal ini karena faktor Elgar yang sudah sangat merindukan kehadiran anak dalam hidupnya?

"Semangat!" Teriak Bu Dirga saat mereka berdua sudah bersiap-siap di posisi start.

"Om yakin, gak keberatan gendong Saga?"

Elgar tergelak mendengarnya. Sepertinya bocah ini meragukan kekuatannya. "Om pastikan, kali ini kita yang akan menang." Elgar mengangkat telapak tangannya lalu melakukan tos dengan Saga.

"Semangat!" Seru mereka berdua kompak.

Lomba kali ini adalah memindahkan bola. Mereka harus memindahkan bola sebanyak banyaknya. Si anak tak perlu repot repot berlari karena ayahnya lah yang akan berlari sambil menggendongnya dipunggung.

Begitu peluit dibunyikan, Elgar menaikkan Saga kepunggung dan berlari menuju tempat keranjang bola.

"Ayo, Pa! Ayo pa!"

Kembali lagi, teriakan teriakan temannya membuat Saga iri. Kapan dia akan bisa memanggil seseorang dengan sebutan papa.

Tiba tiba, Saga ingin mengungkapkan keinginannya pada Elgar. Saga mendekatkan bibirnya ketelinga Elgar.

"Om, hanya hari ini saja. Bolehkah Saga memanggil Om, pa.....pa?" tanyanya ragu-ragu.

Tanpa berfikir dua kali, Elgar langsung mengangguk. Tak terkira senangnya hati Saga. Akhirnya, meski hanya dalam games ini, dia bisa memanggil seseorang dengan panggilan papa.

"Ayo, Papa! Cepat, Pah! Lari yang cepat. Kita harus menang," teriak Saga dengan lantang. Raut wajahnya penuh suka cita.

Hati Elgar bergetar. Ada perasaan yang aneh saat mendengar Saga memanggilnya papa.

"Ayo, Papah!"

Dan setiap kata itu keluar, semangat Elgar naik berkali-kali lipat.

Sementara di kantor, Mila merasa gelisah. Raganya memang ada di kantor, tapi pikirannya melayang kesekolah Saga. Bagaimana keadaan anak itu sekarang? Semoga saja, dia tak hanya murung seharian di sekolah. Menyesal sekali dia telah meninggalkan Saga. Harusnya dia tetap memaksa menemani Saga meski anak itu menolak. Tetap bekerja seperti inipun, konsentrasinya tak bisa terfokus, tetap Saga yang dia pikirkan.

Mila ketoilet untuk menelepon Miss Naomi. Dia tak akan tenang sebelum melihat Saganya. Panggilan pertamanya tak terjawab. Tak mau putus asa, Mila kembali menelepon hingga akhirnya dijawab oleh Miss Naomi.

"Siang Miss."

"Siang juga, Bundanya Saga. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Miss Naomi dengan suara lembutnya.

Mila bisa mendengar suara riuh rendah yang berasal dari ponsel Miss Naomi. Teriakan teriakan pembakar semangat terdengar begitu jelas. Yang paling mendominasi, tentu teriakan anak-anak yang sedang menyemangati papanya. Hati Mila makin tak karuan. Saga pasti sangat sedih saat ini.

"Saya ingin menanyakan tentang Saga, Miss. Hari ini, tak ada yang menemani dia ke sekolah. Saya mengkhawatirkan keadaannya."

"Saga baik baik saja, Bunda. Dia juga terlihat happy hari ini."

Mila mengernyit bingung. Antara percaya dan tidak. Saganya happy, benarkah? Dia masih ingat seperti apa wajah murung Saga saat memasuki gerbang sekolah tadi pagi.

"Anda yakin Miss?" Mila khawatir jika Saga hanya sedang berpura-pura baik-baik saja di depan guru dan teman-temannya.

"Sangat yakin, Bunda. Kalau bunda masih ragu, saya bisa mengirimkan vidio Saga. Kebetulan, saat ini Saga sedang bermain games memindahkan bola. Sebentar ya, Bun." Miss Naomi mematikan sambungan telepon untuk memvidiokan Saga.

Sedang bermain games? Tapi dengan siapa? Bukankah semua tema game hari ini, ayah dan anak?

Beberapa saat kemudian, ponsel Mila bergetar. Ada vidio kiriman dari Miss Naomi. Buru-buru Mila membuka vidio itu saking penasarannya.

Bug

Saking terkejutnya melihat vidio yang dikirim Miss Naomi, ponsel Mila sampai terjatuh. Dia tak sedang salah lihatkan? Pria dividio tadi, kenapa mirip sekali dengan Elgar.

Dengan jantung berdebar dan tangan gemetaran, Mila membungkuk untuk meraih ponselnya. Kembali dia buka vidio kiriman dari Miss Naomi.

Mila menutup mulutnya yang menganga dengan sebelah tangan. Air matanya perlahan merembes tanpa bisa dia cegah.

Bagaimana mungkin Elgar bisa bersama Saga saat ini? Mereka bermain games bersama dihari ayah. Wajah keduanya tampak ceria. Dengan semangat 45, Elgar berlari dengan Saga dipunggungnya. Dua orang berwajah bak pinang dibelah dua itu, tampak begitu kompak. Dan apa itu, Saga memanggil Elgar papa? Ada apa ini?

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

SAGA PASTI INGAT WAJAH EL SAAT DIA NLPON MILA..

2024-04-05

1

Yuan Lala

Yuan Lala

mengandung bawang

2024-03-17

1

rinny

rinny

AQ juga semangat 45 bacanya kak outhor

2024-02-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!