Dua hari berlalu Aku ke kampus seperti biasa, Untung saja semalam Aku mengompres mataku yang sembab. Sehingga, tidak terlalu bengkak paginya. Yah, Aku masih menangis selama dua hari itu. Aku tidak tahu apa yang aku tangisi. Mungkin saja, karena malu pada diriku sehingga membuatku menangis lagi.
Aku pun siap-siap, dan menunggu didepan gerbang rumahku. Hari ini Naina yang menjemput ku. Biasanya, Ian yang mengantar jemput diriku. Tapi, karena kejadian semalam kami belum juga berbaikan. Tidak masalah bagiku, toh dulunya Naina yang sering mengantar dan menjemput ku. Dia yang awalnya meminta untuk mengantar jemput diriku.
Beberapa menit Aku menunggu Naina, akhirnya batang hidungnya nampak juga.
Aku pun bergegas naik ke jok motor. Naina pun bergegas mengendarai motornya, kami sudah hampir terlambat.
"Guys, hari ini nggak ada kuliah yah. Pak Fari ada urusan."ucap Andi
"Yah, padahal Aku dah buru-buru. Eh, tahu gini aku lanjut tidur lagi."sahut Naina
"Setelah ini ada kuliah lagi nggak?"tanya Ria
"Nggak ada hari ini satu saja."jawab Cherly
"Ke kos yuk."ajak Ria
"Okey."jawab kami kompak
Setibanya kami di kos, Ria memaksaku untuk menceritakan semua yang terjadi. Aku pun ceritakan apa yang terjadi. Mereka mendengarkan dengan saksama.
"Gini deh, Chi. Kamu jujur sama diri kamu sendiri, please buang gengsi mu dulu. Kamu benar suka sama Ian nggak?"tanya Cherly
"Aku benar-benar tidak tahu perasaan suka ke orang itu seperti apa? Sumpah, Cher."
"Suka tuh seperti yang kamu bilang, kalau didekat orang itu jantung berdegup kencang, malu-malu."ucap Ria
"Lalu kalau memang itu perasaan suka, kenapa tiba-tiba Aku menjadi ilfil?"tanyaku lagi
"Kamu kan orangnya emang gitu. Nggak suka orang ngekorin kamu. Tidak hanya Ian saja, kita kalau jalan trus kamunya kesana dan kita ngikutin kamu, kamu langsung marah. Mungkin salah pahamnya disitu."jawab Naina
"Trus kamu kan nggak suka kalau orang jalan dibelakang kamu."sambung Ria
"Nah, berarti kan Aku suka sama dia. Trus, kenapa dia harus mempertanyakan lagi? Malah melimpahkan kekesalannya ke Kay."sahutku kesal
"Tapi, apa yang Ian katakan ada benarnya juga sih, Chi. Masa kamu nggak cemburu lihat Ian dikelilingi wanita lain? Aku saja kalau lihat Angga dekat sama cewek lain, pengen Aku Jambak."seru Ria
"Cemburu itu seperti apa?"tanyaku
"Astaga, Chi..."keluh Ria
"Antara polos dan be*o nggak beda jauh sih ini."ucap Naina
"Misalnya, Aku nih lihat Angga dekat sama cewek lain. Dadaku terasa sesak dan sakit. Aku tiba-tiba kesal dan pengen ngejambak cewek itu. Kek emosi gitu lihat orang yang kita suka sama cewek lain."tutur Ria
"Itu namanya kamu tidak percaya sama pasanganmu sendiri. Aku nggak kayak gitu, Aku percaya kalau Ian tidak mungkin menghianatiku."jawabku
"Laki-laki itu nggak semua dapat dipercaya. Lagipula, kalian juga belum menikah. Bahkan orang yang sudah menikah saja bisa bercerai."ucap Naina
"Lalu aku harus bagaimana? Aku sama sekali tidak memiliki perasaan cemburu seperti yang digambarkan oleh Ria. Tapi, suka atau tidak, cinta atau tidak bukankah aku sudah menerima lamarannya. Cintakan butuh proses."jawabku
"Tapi, Aku paham sih yang Ian katakan. Sepertinya, kamu kalau sama Kay lebih bersinar. Maksudnya, kamu bisa lebih lepas tersenyum. Kamu bisa lebih peka."sambung Cherly
"Yup, benar. Karena itulah, Yeni marah karena menurut dia kamu tuh seperti tidak menghargai Ian yang ada disampingmu."lanjut Ria
"Trus, aku harus bagaimana sekarang?"tanyaku
"Minta maaf saja. Buang tuh gengsimu."ucap Ria
"Bagaimana caranya?"tanyaku lagi
"Astag tinggal ngomong 'maaf yah'."cicit Naina
"Ngomong aja gampang. Kamu sendiri juga samakan sama aku nggak pernah ngomong maaf."dahulu
"Chat aja sekarang, trus minta maaf."ucap Cherly
"Aku nggak pernah chat orang duluan. Sama kalian saja nggak pernah."Cercaku
"Astaga, Chi. Kamu tuh ribet amat sih jadi orang."tutur Ria
"Buang dulu gengsi kamu."lanjut Ria
Aku pun mulai mendengar perkataan Ria, iya Aku harus membuang gengsiku. Aku pun mulai membuka ponsel ku. Dan ku cari nama Ian untuk mengirimkan pesan 'maaf' kepadanya.
Aku pun mulai mengetik panjang lebar, terus aku baca dengan cermat. Rasnya mau gila, kata-kata terkesan sangat lebay. Aku pun menghapus pesan yang telah kutulis tadi. Aku mengetik pesan baru namun aku hapus lagi.
Aku melakukan hal yang sama berulang kali. Sesekali aku berdiri kemudian duduk, muter-muter dikamar kos. Sehingga, membuat Naina, Cherly dan Ria risih.
"Apaan sih, Chi. Chat doang aja kek gangsing gitu."Cicit Ria
"Tahu, Nih. Tinggal chat 'maaf' doang."sahut Naina
"Ngomong doang gampang."ucapku
"Sini HP kamu biar Aku yang ngetik."ujar Cherly
"Nggak aah, nanti chat kalian nggak sesuai denganku."balasku
"Udahlah urus sendiri deh."ucap Naina
Aku pun menarik napas yang panjang, berkeliling kamar mencari inspirasi kalimat yang tepat untuk mengucapkan kata 'maaf'.
Mulai dari pesan yang terlalu panjang, terlalu pendek, kata-kata yang lebay sebagainya membuatku terus mengurung niatku untuk mengirimkan pesan 'maaf' ke Ian.
Sudah sejam aku mengotak-atik ponselku. Namun, belum juga ada keberanian mengirimkan pesan. Aku pun berbalik melihat ke arah Naina, Cherly dan Ria. Mereka sudah terlelap dalam tidurnya. Melihat mereka yang begitu pulas tertidur. Aku pun berniat untuk tidur juga. Siapa tahu saat terbangun nanti Aku sudah memiliki keberanian untuk mengirimkan pesan ke Ian. Atau mungkin saja Ian yang lebih dulu menghubungi Aku.
Hampir 2 jam kami tertidur pulas. Kami pun bangun karena ponsel Naina yang berdering. Ternyata sudah magrib. Astaga, kami ketiduran sampai lupa waktu.
Naina yang sudah dihubungi orang tuanya pun bergegas untuk pulang. Begitupun dengan Aku yang menumpang di Naina.
Mereka pun bertanya apa aku sudah mengirimkan pesan ke Ian. Namun, dengan polosnya aku menjawab belum sama sekali. Mereka hanya pasrah melihat tingkahku ini. Akupun mengatakan bahwa sesampainya dirumah Aku akan mengirimkan pesan ke Ian. Atau Aku bisa langsung ke rumahnya. Pasalnya, rumah Ian dan Aku sangat dekat, kami bertetangga hanya berjarak 3 rumah.
Naina pun mengantarkan Aku sampai didepan gerbang. Setelah itu, dia langsung pergi.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah.
"Chi, kamu nggak temani Ian."ucap Ibu yang sedang duduk diruang tamu.
"Temani kemana?"tanyaku balik
"Ke bandara, diakan mau berangkat ke kota X. Ayahnya sakit, jadi dia mau menjenguk ayahnya."ucap Ibu
"Nggak, Bu. Ian nggak bilang apa-apa ke Chia."jawabku
"Ya udah, Bu. Aku kekamar dulu."lanjutku
Kok Ian nggak bilang-bilang kalau mau berangkat sih. Aku kembali berlari menuju ruang tamu.
"Bu, Ian baru mau berangkat atau sudah berangkat?"tanyaku pada Ibu yang sedang asik nonton
"Sudah berangkat jam 4 sore tadi. Itu adiknya si Rudi yang nganter. Kalian lagi bertengkar yah, jadi nggak ngomong-ngomong gitu sampe gak tahu kalau ada yang mau pisah."ucap Ibu
"Nggak kok, Bu. Kami fine-fine saja."tuturku yang kemudian kembali ke kamar.
Aku kesal Ian tidak mengabariku, walaupun kami lagi berantem setidaknya dia ngomong kalau mau berangkat kan. Karena kesal Aku pun mengurungkan niat untuk mengirim chat ke Ian.
Dua Minggu pun berlalu, Ian belum juga menghubungi Aku. Begitupun denganku yang tidak menghubungi dia. Teman-temanku sudah pasrah akan sikapku, mereka tidak lagi memaksaku untuk meminta maaf kepada Ian. Karena mereka tahu tingkat gengsiku sudah selevel dewa.
Posisinya aku sedang gabut, kemudian ku cek ponselku. Aku melihat status orang-orang yang muncul. Terselip nama yang sudah kunantikan chatnya, yaitu Ian. Ia memasang status yang mana ada salah satu pria paruh baya yang kemungkinan besar adalah ayahnya.
Ayah Ian dan Ibunya telah bercerai, Ibunya sudah menikah lagi. Sementara ayahnya tetap sendiri. Ayahnya sakit keras, sehingga mengharuskan untuk dirawat dirumah sakit.
Aku pun mendapatkan ide untuk mengomentari postingan itu. Dengan begitu aku pun dapat mengucapkan 'maaf' ke Ian.
Aku pun mengirimkan pesan 'semoga cepat sembuh' kepada Ian saat memberikan komentar distatusnya. Ian belum membalas pesanku, aku pikir dia tidak akan membalas pesanku. Tetapi, beberapa menit kemudian dia pun membalas pesanku dengan emoticon menangis. Aku pun memberikan kalimat-kalimat yang mungkin dapat membuat hatinya sedikit tenang agar dapat merawat ayahnya dengan baik. Ian pun membalas dengan mengucap 'terimakasih'. Disaat itulah aku menyempilkan kata 'maaf'. Dan sangat menyesali pertengkaran yang pernah terjadi. Ian pun juga mengatakan kalau sudah memaafkan Aku dan dia juga meminta maaf kepadaku. Akhirnya, aku dan Ian pun berbaikan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments