The Killian's Love
Dianggap sebagai pembawa sial dalam keluarga. Joana Alexandra harus hidup dalam kemiskinan yang berbanding terbalik dengan semua saudaranya yang bergelimang harta dan tidak pernah kekurangan.
Joana merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara. Meskipun Dia anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Dia dianggap aib keluarga karena kelahirannya yang merupakan hasil hubungan gelap antara Ibu dan kekasih gelap Ibunya. Hingga pada saat kematian Ayahnya, Joana ditinggalkan tanpa warisan sepeserpun. Kakaknya juga juga tidak sudi membagi sedikit warisan dari Ayah kandung kepada anak yang tidak jelas.
Joana bekerja di perusahaan penerbitan buku, Dia bekerja menjadi editor novel dengan pangkat karyawan biasa.
Hari-harinya bekerja tampak biasa.
Pagi itu Joana sampai di kantor tempatnya bekerja, Ia tampak sibuk mengedit kalimat-kalimat dalam naskah yang Dia edit sebelum diserahkan kepada pusat percetakan. Naskah yang kali ini Joana revisi adalah sebuah novel tragedi yang berlatar kerajaan dengan genre fantasi. Yang mana dalam novel diceritakan tentang jiwa seorang tentara wanita yang berpindah dimensi masuk kedalam novel menjadi antagonis. Sang tentara tersebut harus menghindari kematian yang sudah tertulis di dalam novel, sehingga dengan pengalamannnya sebagai tentara, Dia berhasil mengubah takdir dan mencintai sang antagonis pria yang bernama Killian.
Entah karena apa kehidupannya yang begitu sial, Joana bangun di tempat asing dengan tubuh lemas tak berdaya.
Ketika membuka matanya, Joana mendapati dirinya di sebuah ruangan bernuansa retro ala eropa kuno. Dengan dinding yang berwarna putih polos dan furnitur yang kebanyak terbuat dari kayu yang sangat bagus kualitasnya dengan ukiran yang sangat indah tentunya.
Joana bangun dengan tertatih hingga akhirnya setelah berjuang keras ia dapat bersandar di sandaran ranjang yang bertiang dengan korden putih yang senada dengan alas tidurnya.
“Kau, bisakah kau membantuku?” Ujar Joana dengan suara serak pada seseorang yang memakai gaun pelayan berwana hitam dan putih ala pelayan zaman dulu.
Wanita paruh baya itu hanya diam seolah mengabaikan Joana yang tengah berusaha bangun.
“Hei, Kau.” Sekali lagi Joana memanggil wanita itu. Tapi sayangnya wanita itu tidak bergerak sama sekali.
Joana mencoba membuka matanya lebih lebar mengamati sosok disamping pintu besar yang berukirkan corak dengan emas.
Memang benar Dia tidak salah lihat, memang benar ada seseorang disana.
“Hei-“ Sebelum Joana berteriak lebih dalam, tiba-tiba kepala Joana terasa sakit seperti ada sebuah martil besar yang menimpa dari atas kepalanya dengan sangat keras.
Di iringi dengan dengan rasa sakit yang luar biasa, tiba-tiba ingatan yang bukan miliknya mulai menyeruak masuk di otaknya.
“Ahhh- Sak—ittt” Joana menggeram kesakitan menarik rambutnya sekuat mungkin mencoba mengurangi rasa sakit dikepalanya. Joana terjatuh dari kasurnya, tergeletak meringkuh kesakitan dengan kedua tangan masih menarik rambutnya yang hitam.
Sementara pelayan yang terlihat tadi hanya menampilkan wajah biasa dan meninggalkan kamar seperti tidak terjadi apa-apa.
Joana kemudian terisak tersedu-sedu setalah ingatan-ingatan kejam dari orang lain masuk seakan menjadi ingatannya sendiri.
“Apa ini? Ini bukan ingatanku?” Joana meringis menahan kesakitan dan ingatan yang masuk perlahan.
Flashback on
Joana sudah selesai merevisi novel pada jam 11.30 malam. 30 menit menuju tengah malam. Joana pulang dengan berjalan kaki karena letak kos-kosannya berdekatan dengan kantor Dia bekerja.
Dengan tubuh sempoyongan lelah akibat seharian duduk mengamit komputer, Joana dengan lemas memperhatikan jalanan yang masih sangat ramai penuh dengan hingar bingar meski sudah masuk tengah malam.
Sejenak ia melihat gedung pencakar langit yang terlihat sangat berkilau di tengah malam yang dingin menusuk. Itu adalah perusahaan milik keluarga Ibunya yang sudah diambil alih oleh kedua kakak laki-laki yang membuangnya. Ia menatap gedung tinggi itu dengan tatapan sendu, Apakah ini salahnya harus dilahirkan sebagai anak haram? Sepersekian detik air mata menetes di mata hitamnya, tapi langsung dia hapus seketika.
Joana kembali melangkahkan kakinya menuju gang yang tidak terlalu menyeramkan karena penerangan masih menyala dengan terang.
Joana tersenyum lega ketika melihat kosnya sudah nampak didepan mata.
Namun pada detik berikutnya, senyum Joana luntur merasakan nyeri dibagian dada sebelah kirinya.
Ia menunduk menatap tajam pada sebuah tangan besar yang menusukkan pisau tepat di jantung gadis itu dari depan sesaat sampai di pertigaan gang.
Joana terkapar lemas di atas jalanan yang sepi. Pria berjubah hitam itu kemudian mengambil pisau yang masih tertancap di dada Joana lalu meninggalkannya sendiri tergeletak bersimbah darah yang kian banyak ketika pisaunya dicabut untuk meninggalkan barang bukti.
Flashback off
Joana terbangun dari tidurnya dengan meringkuk di sisi bawah ranjang yang besar. Ia tertidur setelah menangis menahan rasa sakit luar biasa dan ingatan aneh yang tiba-tiba masuk di otaknya.
Joana bangkit dan berjalan sempoyongan menuju cermin yang digunakan sebagai meja rias.
Ia mengamati bayangan dirinya dari pantulan cermin, tubuh yang sama namun berbeda. Joana memegang pipinya dan kemudian menamparnya. “Aww. Sakit.” Racaunya pada diri sendiri masih menatap cermin menyamakan gerakannya dengan di cermin.
Mengenakan gaun tidur tebal berwana putih dengan renda yang berputar di bawah gaunnya. Ia mengamati wajah putihnya, rambut hitamnya, tubuh kurusnya.
“Ini wajahku, ini tubuhku, tapi... Mata ini...” Gumam Joana kemudian menatap tajam bayangan warna bola mata yang tampak di cermin. “Mata Biru...”
Hingga setelah beberapa saat mengamati dirinya dari balik cermin. Joana berganti menatap ruangan asing dimana ia berdiri. Ia merasa familier dengan ruangan ini. Ruangan putih yang ada dalam ingatannya.
“Iya, ingatan.” Gumam Joana. “Aku di tusuk di bagian dada.” Sambungnya seraya menyentuh area dada bekas tusukan yang seharusnya sakit tapi tidak terasa sakit sekalipun.
Sedetik kemudian, Joana menyadari situasi dengan ingatan yang bukan miliknya tiba-tiba menyeruak di dalam otaknya.
“Apa aku pindah dimensi?” Joana mulai gusar dengan ingatan dan tempat yang asing namun familier baginya. “Oh, God. Jika kau mau membuangku kesini setidaknya berikan aku kehidupan yang bahagia, damai, dan sentosa. Jangan malah kehidupan sial yang sama dengan kehidupanku dulu.” Joana merutuki siapapun yang dianggapnya sebagai penyebab ia di Negeri antah berantah bernama Kerajaan Foresta Fredda yang berarti Kerajaan Hutan Dingin.
Bagaimana Joana tidak merutuki, dia berada ditubuh Joana Adalberto. Putri bungsu yang terabaikan dari keluarga Duke Ferio Adalberto yang terkenal kejam dengan sihir kegelapannya.
Namun yang lebih kejam disini adalah, Joana harus hidup menggantikan putri Duke yang lemah dan tidak memiliki sihir, sehingga Dia diabaikan seluruh keluarganya. Dan bahkan Duke memilih mengadopsi anak perempuan seusianya menggantikan Joana yang tidak berguna.
Di dunia ini sihir adalah segalanya. Sihir menduduki puncak piamida kekuasaan. Jika tidak memiliki sihir maka orang tersebut akan dianggap sebagai buangan masyarakat. Apalagi Joana yang sudah terkenal menjadi aib keluarga Adalberto sebagai Lady bangsawan yang terbuang.
Joana tertawa getir meratapi kehidupan keduanya ini. Ia masih berdiri di depan cermin yang menampakkan sosok cantik dibaliknya. “Hahaha” Joana tertawa seakan menertawakan kehidupannya yang memang tidak pernah baik. Baik di kehidupan pertama maupun kehidupan kali ini.
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berjalan masuk ke kamar tanpa ketukan atau izin untuk memasuki kamar seorang Nona yang dilayaninya.
Dengan tatapan meremehkan, wanita itu berjalan dengan santai membawa semangkuk sup menjijikan diatas meja yang biasa Joana gunakan untuk makan di dalam kamarnya.
Joana ingat, Dia adalah wanita yang mengabaikan saat dirinya merintih kesakitan. Juga dalam ingatan Joana sebelumnya, wanita itu sering membawakan makanan sampah yang mau tidak mau dimakan oleh Joana karena hidup sebagai Lady terbuang.
Joana menatap wanita dengan pandangan dingin, sementara wanita berbaju pelayan itu dengan santai meletakkan mangkok dengan sembarangan sehingga cairan kotor itu sedikit terciprat ke atas meja.
“Silahkan dimakan, Nona.” Ujar pelayan dengan nada merendahkan. Meskipun dengan embel-embel nona di depan, Dia tidak memberikan rasa hormat sama sekali.
Joana mengamati wanita itu dengan wajah datar namun terkesan menekan. Ia berjalan pelan ke arah meja dan kursi yang terdapat sup menjijikkan itu. Terlihat senyum miring di bibir wanita tua itu, mungkin yang ada dipikirannya adalah selamat menikmati hidangan sampah mu nona.
Joana tidak duduk. Dia mengambil mangkuk itu kemudian melemparkannya tepat mengenai kening pelayan tua itu.
Cairan menjijikkan itu juga terciprat kesembarang arah. Joana tidak peduli. Saat ini yang Dia pedulikan adalah membalas wanita tua yang tidak tahu rasa hormat mempelakukan majikan dengan semena-mena.
Wanita itu menggeram kesakitan. Darah mengalir deras di kening keriput itu. Namun Joana hanya diam dengan wajah datar kemudian duduk di samping ranjang dan menyilangkan kakinya dengan anggun.
“Apa seperti itu sikapmu melayani nona muda keluarga Duke Adalberto?” Tanya Joana masih memasang wajah dinginnya.
Wanita tua itu terkejut dengan tindakan nona di depannya. Biasanya nonanya hanya menunduk dan memasang wajah murung. Tapi apa ini? Dia memasang wajah tegas seperti kaum bangsawan.
“Hei, kalau nona tidak mau makan ya sudah, Saya tidak akan membawakan makanan lagi untuk Anda.” Ujarnya dengan senyum sinis memegangi keningnya yang berdarah dan hendak meninggalkan kamar.
“Kau mau kemana?” Joana menghentikan langkah pelayannya.
Pelayan itu berbailik dan masih dengan angkuh, “Apa lagi?”
“Jilati itu.” Timpal Joana dengan melirik cipratan cairan manjijikkan diatas lantai yang dibilang sup oleh pelayan itu.
“Apa Kau sudah gila? Bagaimana mungkin Aku menjilati sampah itu?” Pelayan itu ternganga tidak percaya dengan perintah nonanya. Joana yang selama ini bersikap lembut dan pemalu sudah hilang, diganti dengan Joana yang dingin dan tegas.
“Jika menurutmu sampah, kenapa Kau malah memberikan padaku?” Joana dengan tatapan dingin menatap tajam netra coklat dari pelayannya itu. “Cepat jilati sampah itu atau-“ Joana menggantungkan kalimatnya mengamati reaksi pelayan kurang aja di dedepannya. “Kupecat kemudian kubunuh seluruh anggota keluargamu tanpa ada boleh satupun yang hidup.” Sambungnya dengan nada mengancam.
Seketika pelayan itu gemetar dengan sikap nonanya yang tidak biasa. Seperti tidak ada keraguan dalam ucapannya. Pelayan itu kemudian terduduk meminta maaf pada Joana. Badan pelayan itu sudah gemetar dengan ancaman yang terlihat sungguh-sungguh. “Nona, Maafkan Saya. Saya akan membawa makanan yang baru.” Ujarnya sembari bersujud mengemis meminta pengampunan.
Joana kemudian berdiri menuju nakas disamping tempat tidurnya. Dia meraih vas bunga kemudia melempar tepat mengenai pucuk kepala pelayan itu.
Suara riuh vas pecah juga membawa keributan di dalam kamar sederhana Joana.
Wanita tua itu pingsan dengan darah yang semakin banyak keluar dari kepalanya.
Mendengar suara riuh dari balik kamar Joana. Beberapa pelayan dengan santainya masuk ke dalam tanpa mengetuk atau permisi.
Tiga pelayan muda membuka pintu kemudian masuk dan menemukan pemandangan yang cukup mengerikan. Mereka kira nonanya lah yang akan dalam bahaya karena ulah pelayan senior. Tapi pemandangan yang tersaji malah pelayan senior mereka pingsan meringkuk dengan darah di kepala.
Mereka menutup mulutnya karena terkejut, sedetik kemudian melirik seorang gadis cantik bergaun tidur berwana putih dengan tatapan dingin duduk menyilang diatas ranjang.
“Apakah ini cara kalian dididik sebagai pelayan rendahan yang tidak tahu sopan santun?” Suara Joana dengan nada dingin menyerbak seisi ruangan.
Ketiga pelayan itu merasa ketakutan kemudian mendudukkan diri bersujud minta maaf.
“Maafkan kami Nona.” Ujar salah satu pelayan pelayan berambut coklat pendek dengan frekles memenuhi pipinya.
“Kau.” Tunjuk Joana pada gadis yang meminta maaf padanya. “Bersihkan kekacauan ini dan ambilkan aku makanan yang layak.” Sambung Joana melirik kekacauan ulahnya sendiri. “Dan kalian berdua, bawa wanita tua itu enyah dari pandangannku.”
Ketiga pelayan itu mengiyakan dengan gemetar rasa takut.
“Oh, ya.” Joana kembali bersuara ketika melihat ketiga pelayan muda itu bangkit berdiri hendak melaksanakan perintah. “Setelah ini minta gaji dan pesangon pada Kepala Pelayan, karena Aku sudah memecat kalian berempat.”
Ketiga pelayan itu hendak membuka suara tidak terima putusan pemecatan tiba-tiba ini. Dengan rasa takut dan tubuh gemetar, “Maafkan kami nona.” Ketiganya kembali dalam posisi bersujud minta maaf dengan tangis yang tidak bisa dibendung. “Hiks, hiks, maafkan Kami nona, jika Kami dipecat Kami tidak bisa bekerja ditempat lain lagi Nona” Ketiga pelayan itu terisak dengan tangisan.
Joana menatap jengah ketiga pelayan itu. “Apa peduliku? Kalian bersikap kurang ajar pada Nona yang kalian layani.”
“Hiks, tapi nona-“ Salah satu pelayan membuka suara mencoba meminta pengampunan. Ada rasa bersalah pada manik mata ketida pelayan itu.
“Jika dalam hitungan tiga kalian tidak melaksanakan perintahku, kalian akan bernasib seperti wanita tua itu.” Joana dengan nada dingin dan mengancam akhrinya membuat ketiga pelayan itu melakukan perintahnya.
15 menit kemudian, pelayan yang membersihkan ruangan Joana sudah pergi setelah memberikan sepiring steik daging dan potongan kentang.
Joana kemudian memakan makanan tersebut dengan damai.
Sementara itu di ruangan kerja Duke Ferio Adalberto, Kepala Pelayan Eiden sedang membicarakan masalah yang di sebabkan oleh Lady Joana Adalberto.
“Tuan, Saya mendapat laporan Nona Joana memecat tiga pelayan muda dan membunuh satu pelayan senior yang melayaninya, Tuan.” Ujar pria berambut putih yang termakan usia.
“Apa anak itu membuat masalah lagi, Eiden?” Balas Duke tanpa menoleh ke arah kepala pelayan dan masih fokus dengan berkas di tangannya.
“Nona memukul pelayan senior hingga meninggal, Tuan.” Kepala Pelayan mengucapkannya dengan sedikit ragu. Pasalnya jika nonanya itu membuat masalah, maka nonanya akan mendapat hukuman pemecutan dari Ayahnya.
Mendengar penjelasan Kepala Pelayan, akhirnya sang Duke menatap tajam pria tua di depannya. “Apa kegilaannya kali ini sampai membunuh seorang pelayan?” Sahut Duke dengan tatapan tegasnya. Seperti sudah biasa mendengar kegilaan dari putri kandung yang selalu meminta perhatiannya.
“Karena pelayan memberikan makanan sampah, Tuan.” Jawabnya dengan ketakutan pada sosok Duke kegelapan.
Duke Ferio lantas tersenyum sinis mendengar penjelasan kepala pelayan. “Aku akan menemui Anak itu sekarang.” Duke Ferio bangkit dari duduknya berjalan menuju lantai tiga tempat Joana tinggal di ikuti kepala pelayan dari belakang.
Joana tinggal dilantai tiga sendirian, sementara kedua kakak laki-laki dan saudara perempuan yang diadopsi oleh Duke Ferio tinggal di lantai dua kediaman Duke Adalberto.
***
Joana menatap malas pada kedua pria berbeda usia yang membuka pintu kamarnya tanpa permisi. Mereka adalah Ayah dari sosok dari tubuh yang tempatinya dan yang berdiri di belakangnya pasti Kepala Pelayan Eiden.
Joana membuang napas, “Bisakah kalian memberikan kedamaian padaku?” Gumam Joana lirih sembari menatap malas kedua pria itu dan memilih melanjutkan memotong daging steiknya.
“Jadi apa yang Kau inginkan sekarang, Joana? Apa kau membunuh pelayan agar mendapat perhatian lagi?” Sahut sinis duke pada putrinya, seakan tahu setiap keributan Joana pasti bertujuan untuk meminta perhatian darinya.
Joana tersenyum sinis kemudian meletakkan alat makannya diatas piring. “Jadi dia mati? Syukurlah.” Balas Joana mengulas senyum yang terkesan menyeramkan. Kemudian menoleh ke arah orang yang disebut Ayah oleh pemilik tubuh. “Saya tidak butuh perhatian dari Anda lagi, Tuan Duke Ferio Adalberto Yang Terhormat.”
Kedua pria berbeda usia itu terkejut dengan balasan yang diberikan padanya. Biasanya putri kandungnya ini akan menangis dan bersujud meminta maaf atas kesalahannya. Tapi apa ini? Bahkan tidak ada rasa takut atau bersalah di wajahnya. Dan bahkan berani menjawab ucapannya dengan tegas.
“Oh, ya Kepala Pelayan.” Lirik Joana pada Kepala Pelayan yang berdiri dibelakang sang Duke. “Mulai hari ini, pecat semua pelayan yang melayaniku. Aku tidak mau melihat satupun pelayan lalu lalang di depanku.” Sambungnya dengan dingin memerintah Kepala Pelayan.
Duke Ferio terkejut dengan perubahan sikap putrinya. Seperti ada sosok lain yang menempati putrinya.
Sementara Kepala Pelayan yang mendapat perintah pemecatan, hanya diam dibalik punggung tuannya. Ia harus menunggu instruksi dari majikan di depannya.
“Siapa Kau?” Tanya Duke Ferio yang merasa tidak mengenal gadis di depannya. Karena Joana yang ia kenal adalah gadis penakut dan pemalu, selalu menundukkan kepala dimanapun berada. Serta dengan panggilan Duke Ferio Adelbarto yang Terhormat?.
Joana menatap jengah kepada Ayahnya lagi kemudian tersenyum culas pada sosok gagah yang memandanginya dengan heran. “Tentu saja Saya Joana, Yang Mulia. Putri kandung keluarga Adalberto yang terbuang.” Ujar Joana dengan nada mengejek pria yang disebut Ayahnya itu.
Deg! Duke Ferio merasa tertampar dengan ucapan putrinya. Memang benar Joana adalah putri yang terbuang karena tidak memiliki kemampuan sihir sama sekali. Tapi apa ini? Kenapa ia merasa bersalah padanya?
“Yang Mulia?” Beo Duke Ferio mengulang panggilan yang diberikan putrinya. Biasanya dia akan menyapanya dengan sebutan ‘Ayah’ dan senyum bodohnya.
Sekali lagi, Joana tersenyum sinis kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan nada dingin tanpa ekspresi. “Apa Anda mau Saya panggil dengan sebutan Ayah? Tapi apa Anda pantas?”
Seakan menohok hati yang terdalam Duke Ferio. Dia menatap putrinya dengan diam tanpa ekspresi beberapa saat, kemudian meninggalkan kamar putrinya di ikuti kepala pelayan. “Baiklah, bersikaplah seperti itu terus, Joana.” Gumamnya lirih sambil berjalan.
Duke berjalan cepat menuruni tangga seraya memikirkan perubahan sikap pada putrinya yang tiba-tiba.
“Ayah.” Panggil seorang gadis muda berambut pirang yang memiliki mata berwarna biru.
Jika dibandingkan, Joana adalah sisi gelap dan Marina ada sisi terang. Begitulah, karena Joana memiliki rambut hitam pekat seperti mendiang Ibunya, dan Marina memiliki rambut pirang yang bersinar.
“Apa Ayah baru menemui Joana? Apa Dia membuat masalah lagi, Ayah?” Tanya Marina yang hendak turun entah kemana.
“Marina.” Balas Duke menyadari keberadaan putri angkatnya. “Iya, Ayah baru menemui Adikmu, Joana.”
Setelah mendengar jawaban Ayahnya, Marina menuruni tangga beringan selayaknya Ayah dan Anak yang terlihat harmonis. “Kau mau kemana?” Ujar Duke mengalihkan pembicaraannya tentang Joana.
“Saya mau berlatih dengan Kak Jeremy, Ayah.” Jawab Marina dengan senyum khasnya.
“Baiklah.” Hanya itu yang Duke katakan kemudian berpisah dengan Marina menuju ruang kerjanya.
Sementara Kepala Pelayan masih di anak tangga terakhir karena Marina mencekal tangannya. “Masalah apa yang Joana perbuat kali ini?” Tanya Marina menyelidik dengan senyum culasnya.
Kepala Pelayan menghela napas kemudian menjawab pertanyaan dari nonanya. “Nona Joana membunuh seorang pelayan, Nona Marina.”
Mendengar hal itu, senyum miring muncul di bibir Marina tatkala mendengar masalah dari saudari perempuannya. “Semakin gila tu anak.” Gumamnya dengan senyum miring yang belum lepas. Kemudian dengan angkuh meninggalkan kepala pelayan menuju barak tempat latihan sihir.
***
Sementara di sisi lain, Joana tengah pusing dengan ingatan dari pemilik tubuh barunya.
Ia merebahkan tubuhnya dikasur empuk kemudian mengingat semua kenangan yang dimiliki Joana yang asli.
Betapa semakin gila dibuatnya ketika ia mengingat setiap nama yang berhubungan dengan pemilik tubuh.
“Marina, Jacob, dan Jeremy Adalberto?” Monolog Joana mengingat nama-nama saudaranya.
“Gilaaaaaaa!” Joana semakin berteriak tidak jelas mendapati nama-nama yang pernah ia kenal di kehidupan sebelumnya. “Bukankah itu nama tokoh di novel The Killian’s Love?” Joana duduk diatas ranjang dan mulai mengacak-acak rambutnya dengan kasar.
Pikirannya melayang mengingat isi cerita dan akhir dari novel yang menjadi tugasnya dalam kehidupan sebelumnya sebagai editor.
Joana bangkit berjalan menuju meja kerjanya. Ia mengambil kertas dan pena dengan gusar.
Well. Tokoh utama sesungguhnya di novel adalah Marina yang seorang transmigran dari abad 21 yang merasuki tokoh antagonis yang mengejar cinta Putra Mahkota. Kemudian tokoh protagonis dalam novel seharusnya Lady Ellia Earlene yang merupakan putri bangsawan jatuh yang di cintai Putra Mahkota, Kinsey De Fredda. Tapi karena Marina yang datang dari dunia abad 21 berjuang merubah takdir yang seharusnya mati terbunuh oleh Putra Mahkota mengajak Killian sebagai sekutu dan menghindari takdirnya mati dibunuh ditangan Putra Mahkota.
“Kemudian Joana? Siapa Joana?” Joana menghentikan tulisannya mencoba mengingat tokoh Joana dalam novel. Seingatnya nama Joana tidak pernah muncul di cerita. Jika pernah muncul pun Dia pasti mengingatnya karena kesamaan nama. “Tunggu-“ Gumam Joana di tengah pikirannya menghubungkan ingatan dalam novel dan ingatan pemilik tubuh.
“Kapan jiwa Marina abad 21 masuk?”
Sekali lagi, Joana merasa frustrasi dengan ingatannya yang dangkal. “Aku bahkan pusing dengan alur yang penulisnya buat!”
“Aku harus mengamati pergerakan Marina, pasti dengan perubahan sikap Marina menandakan jiwa baru memasukinya. Aku bisa memintanya menjadi sekutuku nanti.” Gumamnya kemudian. “Tapi bagaimana cara mengawasinya?” Joana menarik rambutnya dengan kasar kemudian menjatuhkan kepalanya diatas meja saking terlalu frustrasi.
“Ah, Putra Mahkota.” Ujar Joana tiba-tiba setelah mendapatkan pencerahan.
Dengan senyum seakan menemukan jalan keluar, Joana kembali berjalan menuju ranjang merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya.
***
Beberapa hari berikutnya, Joana Alexandra yang sudah menempati tubuh seorang gadis bernama Joana Adalberto tengah asik memasak di dapur yang berada di lantai tiga. Setelah pemecatan semua pelayan yang mengurus lantai tiga, akhirnya Joana dapat hidup dengan damai, tidak ada penganggu dan tidak ada suara tentunya.
“Ini lah hidup.” Gumam Joana memejamkam matanya menikmati hidangan sup Vellutata di Zucca dari Italy.
Meskipun sendirian di lantai tiga, tapi Joana merasakan kedamaian sesungguhnya. Menjadi keluarga kaya raya, tidak pernah kekurangan uang, dan ada bahan makanan yang selalu segar di pagi hari entah siapa yang membawanya, tapi di benak Joana inilah kedamaian yang sesungguhnya. Tetap kaya raya meskipun hanya berdiam diri, tidak peduli dengan urusan apa yang dilakukan oleh keluarganya yang berada di lantai dua.
Setelah makan, Joana memandangi pemandangan putih yang hamparan daratan yang tertutup salju tebal dari balkon kamarnya. Pemandangan yang tersaji hanya rentetan pohon yang entah namanya dengan hamparan salju menggunung. Jadi wajar kalau tempat yang di tinggalinya sekarang bernama Kerajaan Foresta Fredda atau Kerajaan Hutan Dingin. Jadi wajar juga kalau Joana selalu memakai gaun tebal dan syal yang menjaga kehangatan tubuhnya meski didalam rumah.
Kerajaan Foresta Fredda terkenal dengan para penyihirnya yang memiliki kekuatan luar biasa dibanding kerajaan lain. Banyak dari kerajaan tetangga takut dengan kehebatan para penyihir Kerajaan Foresta Fredda. Jika semua penyihirnya disatukan, bisa-bisa menghancurkan seluruh benua.
Ada enam jenis sihir yang ada di Kerajaan Foresta Fredda, yaitu api, tanah, air, udara, kegelapan, dan cahaya. Dan untuk sihir api terbagi lagi kedalam beberapa warna sesuai tingkatannya, dari tingkatan yang terendah yaitu api kuning, jingga, merah, biru, hijau, dan api hitam. Anggota Kerajaan biasanya memiliki sihir api hijau dan sihir cahaya secara bersamaan. Grand Duke Killian Edellyn memiliki sihir api hijau dan sihir kegelapan. Duke Adalberto dan putranya Jeremy memiliki api biru dan sihir kegelapan, sehingga Jeremy diangkat menjadi kepala kesatria di istana. Sedangkan Marina memiliki sihir api kuning, sihir api terendah. Dan Joana? Lady bangsawan terbuang karena tidak memiliki sihir sama sekali.
“Itu Marina?” Gumam Joana menyipitkan mata menemukan seorang wanita berambut pirang menuruni kereta kuda yang berhenti di depan gerbang tinggi. Terlihat Dia di temani oleh seorang pria tampan yang menurut Joana dalam ingatannya adalah sang kakak pertama, Jeremy.
Joana memandangi interaksi keduanya dengan lamat, netra birunya tidak mau melepas pandangannya pada Marina, sosok yang akan ia awasi dan menjadi sekutu.
Tiba-tiba ketika mencoba mengalihkan tatapannya menuju Jeremy, pria itu membalas tatapan Joana dari balik jendela bangunan lantai tiga. Meski Dia berada di halaman luar kediaman Duke, tapi tatapannya begitu tajam dan menusuk.
Sontak Joana terkejut dan menyembunyikan diri agar tidak terlihat. “Hampir saja.” Joana bersembunyi dibalik tirai sambil mengelus dadanya yang berdetak cepat karena takut.
Setelah menunggu beberapa saat mengintip dirasa Jeremy dan Marina sudah hilang dari pandangan, Joana kemudian menutup jendela balkon kamarnya, tidak lupa menutupnya dengan tirai tebal agar suhu dingin tidak masuk kedalam kamar.
Ia menuju meja kerjanya yang berada dekat dengan perapian, Joana mulai mencari lembar kertas dan berniat membuat tulisan sebuah karya novel. Mengingat pekerjaannya dulu sebagai editor novel, tentu Joana sangat ahli mengolah kata merangkai cerita.
Joana berencana menerbitkan sebuah novel romansa yang tokohnya adalah dirinya sendiri di kehidupan sebelumnya namun menggunakan latar kerajaarn agar terlihat nyata.
Di Negeri ini, para gadis bangsawan lebih menyukai berdiam diri ditemani teh dan novel romansa. Karena terkadang pada bulan-bulan tertentu cuaca menjadi sangat dingin dan jarang ada orang yang keluar dari rumah untuk sekedar jalan-jalan.
Setelah beberapa jam berjibaku dengan tulisannya, “Selesai.” Ujar Joana penuh semangat mengangkat lembaran kertas yang berisi novel dari kisah kehidupan dulunya dengan dibumbui sedikit dramatisasi.
Dengan senyum yang merekah, Joana mengangkat dan mencium naskah yang ditulisnya. Tentu tulisan yang digunakan adalah aksara dari dunia ini.
“Apa yang Kau lakukan?” Suara bariton memecah keheningan kamar Joana yang berada di lantai tiga.
Dengan malas dan mulai memasang wajah dingin, Joana berbalik menuju sumber suara. Ternyata Jeremy yang berdiri bersedekap dada di ambang pintu.
“Bukan urusanmu.” Jawab Joana ketus masih memasang wajah datar.
Mendengar respon sang adik, Jeremy cukup terkejut dengan perubahan sikap adiknya. Benar kata Ayahnya, Joana berubah.
Jeremy mencebik tidak peduli kemudian mengutarakan ejekan sinisnya. “Apa rencanamu kali ini?” Lanjutnya dengan suara berat miliknya. Tentu dengan ekspresi datar tentunya. Kakak pertama yang selalu mengejek Joana dengan kasar.
Hah?
“Pergilah jika tidak ada hal penting yang mau dibicarakan. Jangan membuang waktu berhargamu untuk berhadapan dengan Lady terbuang ini.” Timpal Joana dengan memutarkan bola mata malasnya.
Bagaimana Part ini? Jangan lupa kasih komentar :D
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments