Berulang kali Drabia melihat jam dingding di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun Ansel belum juga pulang dari tadi pagi. Drabia menjadi kawatir terjadi sesuatu pada Ansel.
"Kemana dia?, nomornya pun tidak bisa di hubungi" gumam Drabia saat menghubungi nomor Ansel ternyata tidak aktif.
Ceklek!
Pandangan Drabia langsung beralih ke arah pintu yang terbuka dari luar. Drabia pun menghela napas lega melihat Ansel sudah pulang.
"Ansel, akhirnya kamu pulang." Drabia berdiri dari sofa berjalan mendekati Ansel yang baru masuk ke dalam rumah, dengan penampilan acak acakan."Kamu mabuk?" tanya Drabia saat aroma menyengat menusuk ke rongga hidungnya.
Ansel langsung menepis tangan Drabia yang akan menyentuhnya."Urus aja dirimu" Ansel menatap tajam Drabia.
Tadi dia minum sedikit hanya untuk menenangkan pikirannya, dan dia juga tidak sampai mabuk. Buktinya dia masih bisa pulang menyetir kenderaan sendiri.
"Ta- tapi kenapa kamu meminum minuman memabukkan itu?" tanya Drabia menatap Ansel dengan tatapan meneduh. Ansel tidak pernah meminum minuman itu sebelumnya. Ansel bisa dikatakan pria yang baik dan soleh. Sungguh sangat di sanyangkan menurut Drabia jika Ansel berubah karena pernikahan mereka.
"Kamu tanya kenapa?" Ansel berbicara merapatkan giginya ke arah Drabia. Pertanyaan itu berhasil memancing emosi Ansel."Kamu tau, gara gara aku menikahimu. Di luaran sana orang beranggapan akulah pria yang tidur bersamamu!" bentak Ansel.
Drabia terlonjang dan langsung membeku di tempatnya.
"Aku tidak pernah menyentuh wanita sama sekali. Tapi kenapa aku harus ikut menanggung malu atas perbuatanmu?" Ansel memandang Drabia dengan mata berkaca kaca.
Tadi saat Ansel sampai di kantor, Ansel tidak sengaja mendengar beberapa karyawan membicarakannya. Mengatakan kalau dialah pria yang tidur bersama Drabia. Entah dari mana orang orang itu bisa membuat cerita baru seperti itu.
"Ma- maaf" lirih Drabia tanpa berani melihat Ansel.
"Bisa bisanya Pak Ilhan mempunyai putri sepertimu" ucap Ansel kemudian berlalu dari hadapan Drabia.
Sampai di kamarnya, Ansel mengeluarkan barang barang Drabia dari dalam kamarnya. Dia tidak mau lagi sekamar dengan Drabia.
"Terserah kau mau tidur dimana" ucap Ansel melihat Drabia sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Ansel pun langsung menutup pintu itu.
Drabia hanya bisa menarik napasnya, dia harus sabar menghadapi kemarahan Ansel. Ia pun memungut barang barangnya yang berserakan di lantai memasukkannya ke dalam koper, membawanya ke salah satu kamar yang berada di lantai bawah rumah itu.
**
Tok tok tok!
"Ansel! apa kamu sudah bangun?" Drabia memanggil Ansel sambil mengetuk pintu kamarnya. Drabia ingin memastikan suaminya itu sudah bangun.
Tidak mendengar suara dari dalam, Drabia pun mencoba membuka pintu di depannya, untungnya tidak di kunci. Jadi Drabia bisa membukanya.
"Dia belum bangun" gumam Drabia melihat kamar Ansel masih gelap. Drabia pun menghidupkan lampu kamar itu, kemudian berjalan mendekati ranjang.
"Ansel, bangun" ucap Drabia lembut tanpa berani menyentuh tubuh Ansel. Namun Ansel masih bergeming tidak mendengar sama sekali suaranya.
"Ansel sudah subuh, gak shalat?" Drabia mencoba membangunkan Ansel lagi dengan menyentuh sedikit lengan Ansel dan menggoyangnya.
"Sudah pagi" ucap Drabia melihat Ansel mengerjabkan matanya.
Ansel membuka kelopak matanya, mengarahkan tatapannya ke wajah Drabia yang mengulas senyum.
"Maaf" lirih Drabia menundukkan pandangannya, melihat tatapan Ansel berobah menyeramkan.
Ansel diam saja, ia pun langsung turun dari atas tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi.
Drabia menghela napasnya melihat Ansel menghilang di balik pintu kamar mandi. Tadinya dia sempat takut jika Ansel akan memarahinya, karena sudah lancang masuk kekamarnya, ternyata dugaannya salah.
Setelah merapikan kamar dan menyiapkan baju untuk Ansel, Drabia pun keluar dari kamar itu. Dia akan membuat sarapan untuk mereka, berharap hati Ansel luluh mau memakan masakannya.
"Ansel aku memasak makanan kesukaanmu" Drabia melangkahkan kakinya mendekati Ansel yang datang ke dapur. Drabia mengulas senyumnya melihat Ansel memakai pakaian yang di pilihnya.
"Menyingkir!"
langkah Drabia langsung terhenti, senyumnya pun memudar tanpa sisa.
"Aku pikir kamu tidak perlu melakukan itu. Buang buang tenagamu saja, dan...." Ansel menjeda kalimatnya dan menatap wajah Drabia dengan Intens." Jangan berharap aku akan luluh dengan perbuatan baikmu. Bagiku...kau hanyalah sampah yang mengotoriku. Jadi kamu tidak perlu berlagak seperti istri soleha yang selalu siap melayani suaminya."
Drabia terdiam, pandangan meneduh. Melihat Ansel memakai baju yang di siapkannya, Drabia pikir hati Ansel sudah luluh, tidak marah lagi, ternyata Drabia salah.
"Pernikahan ini sudah terjadi Ansel, apa salahnya kita mencoba menjalaninya?" ucap Drabia mencoba memberanikan diri membalas tatapan Ansel.
Satu sudut bibir Ansel tertarik ke atas."Untung di kamu" ucapnya.
"Aku akan berusaha menjadi istri yang baik Ansel. Beri aku kesempatan untuk mengambil ha...."
Ucapan Drabia terhenti saat Ansel mendekatkan wajahnya, berbicara tepat di dekat wajah Drabia." Sadar, jangan bermimpi ketinggian, ini masih pagi."
Ansel kembali menjauhkan wajahnya, dan segera meninggalkan tempat itu. Tadi dia ke dapur untuk minum, namun urung karena Drabia mengganggunya.
Dan Drabia hanya bisa menatap nanar punggung Ansel yang semakin menjauh. Drabia sadar akan dirinya, tapi salahkah dia mencoba mengambil hati suaminya?, mempertahankan pernikahan yang sudah terjadi?.
Selesai menghabiskan sarapannya, Drabia membersihkan dapur bekas memasaknya tadi. Setelah selesai, Drabia masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri. Dia harus mencari pekerjaan, karena melihat sikap Ansel, tidak mungkin Drabia berani meminta uang untuk biaya hidupnya. Jika ia meminta uang pada Ayahnya, jelas nanti Ayahnya bertanya. Drabia tidak mau keluarganya tau permasalahan rumah tangganya dengan Ansel.
Selesai bersiap siap, Drabia keluar dari rumah. Memakai kemeja putih dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam, dan tidak lupa menutup kepalanya dengan hijab. Meski awalnya Drabia bukan wanita berhijab, tapi setelah menikah, Drabia memutuskan untuk menutup auratnya.
Drabia terpaksa naik taxi, karena kenderaannya masih di rumah keluarganya. Meski di garasi masih ada mobil milik Ansel, Drabia tidak berani memakai itu.
"Berhenti, Pak" ucap Drabia kepada supir taxi yang membawanya.
Drabia turun di depan sebuah perusahaan. Dia akan mencoba melamar ke perusahaan yang informasinya menerima lowongan.
"Maaf mbak, kami menerima lowongan yang minimal sarjana S1" ucap orang yang memeriksa berkas berkas lamaran Drabia.
Drabia menarik napasnya dalam. Drabia terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya karena berita memalukan itu. Drabia malu, selalu menjadi bahan pembicaraan orang orang di kampus. Dan orang orang selalu manatapnya hina. Bahkan semua teman temannya menjauhinya, kecuali sahabatnya Lea.
"Maaf ya Mbak" ucap orang itu melihat senyum getir Drabia.
"Gak apa apa Mbak" balas Drabia mengambil kembali berkas berkasnya.
Drabia berjalan menelusuri trotoar jalan, sudah lima perusahaan dia coba. Namun tidak ada yang menerima lamarannya. Tubuhnya sudah lelah, keringat pun hampir membasahi tubuhnya. Drabia bingung harus mencoba melamar kemana lagi. Tapi Drabia masih tetap semangat, hari esok masih ada.
* Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
meE😊😊
memandang hina org yg melakukan kslahan tnp d sengaja y sdgkn diri sndri sengaja mlakukan kesalahan.. sbner y yg lbh hina siapa ya??
2023-06-24
0
Anna Rima
katanya Ansel baik dan Soleh tp ga bisa Nerima yg sudah jd takdir dan mencoba menerima serta ikhlas...tp ini malah menghina...sama aja munafik
2022-11-30
2