The Assassin'S Transmigration

The Assassin'S Transmigration

Familiar Namun Asing

"Kau tidak akan pernah bisa merencanakan masa depan di masa lalu." —Edmund Burke

'Aroma yang harum.'

Bau harum ruangan memasuki Indra penciuman Evelin. Dia sedikit menggeliat saat mencium aroma asing di hidungnya.

'Aku yakin tidak menyemprotkan pengharum ruangan.'

Evelin mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba membiasakan matanya terhadap sinar matahari yang menembus gorden.

Dia bangkit dan menggeliat, merilekskan tubuh yang kaku. Setelah beberapa menit mengumpulkan kesadarannya Evelin melihat sekeliling ruangan.

'Ini.. di mana?'

itu adalah ruangan yang di dominasi warna hitam dan putih. Di dinding terdapat foto seorang gadis dengan berbagai pose dan ukuran.

Evelin mengambil foto yang terletak di atas nakas. Itu adalah foto ukuran 3R dengan bingkai warna putih. Gadis dalam foto tersebut menggunakan seragam sekolah yang berlatar belakang sekolah.

Dia memiliki kulit putih pucat dengan rambut hitam panjang bergelombang yang tergerai. Bibirnya melengkung bagai bulan sabit, matanya berwarna hitam pekat bagai kegelapan di malam hari.

Siapa pun yang melihatnya pasti akan enggan memalingkan wajah dari pemandangan indah itu. Namun, Evelin mengerutkan keningnya melihat foto tersebut.

Bagaimana tidak, gadis di foto itu sangat mirip dengannya. Tapi, dia yakin dia tidak pernah berfoto menggunakan seragam sekolah. Bahkan foto yang pernah dia ambil bisa di hitung dengan jari.

Apalagi bagaimana bisa dia berfoto menggunakan seragam sekolah jika dia saja tidak pernah sekolah? kerutan di dahi Evelin semakin bertambah melihat kembali ruangan yang terlihat asing.

saat kepalanya sedang memproses semua informasi yang tak terhitung jumlahnya. Suara pintu yang di ketuk terdengar dari luar ruangan diikuti suara seseorang yang diperkirakan Evelin sebagai wanita paruh baya.

"Selamat pagi, Nona Evelin."

Evelin tidak pernah mendengar suara tersebut di mana pun namun dia tetap membalas.

"Masuk."

Benar saja, seorang wanita paruh baya yang menggunakan seragam pelayan memasuki ruangan. Keriput yang terlihat di wajahnya memperlihatkan wajahnya yang terlihat sudah tua. Dia membungkukkan badannya dengan hormat setelah memasuki ruangan.

"Apakah Anda ingin sarapan di kamar lagi hari ini?"

Evelin memperhatikan lagi wanita paruh baya di depannya. Umurnya mungkin sekitar 50-an dan di lihat dari ucapannya yang mengatakan 'lagi' Evelin pasti sering makan di kamarnya daripada ruang makan.

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?"

Evelin tidak tahu dimana dia berada sekarang, namun dia tidak mungkin menanyakan hal tersebut secara blak-blakan. Apalagi jika dia terlihat mencurigakan, dia tidak tahu apa yang akan terjadi.

Pelayan tersebut sedikit mengerutkan kening heran dengan pertanyaan majikannya namun dia segera menjawabnya ketika melihat tatapan Evelin yang mengintimidasi.

"30 tahun.. Nona."

Jika dia sudah bekerja selama itu, dia pasti tahu banyak tentang keluarga ini. Jadi, Evelin bertanya lagi.

"Apa pekerjaanmu sebelum bekerja di sini?"

Pelayan tersebut kembali mengerutkan kening bingung dengan pertanyaan majikannya. Dia tidak pernah melihat gadis sombong yang merupakan majikannya begitu penasaran dengan seorang pelayan.

Evelin biasanya sangat abai dan tidak peduli dengan pelayan di rumah ini. Bahkan dia tidak pernah ingin repot-repot mengingat nama dan wajah pelayan.

Dia bahkan tidak akan ingat wajah pelayan yang pernah dia usir atau hal kasar yang dia lakukan kepada pelayan. Karena, dimata Evelin mereka hanyalah orang rendahan yang tidak berguna yang bisa di pakai dan di buang kapan pun dia mau.

Butuh beberapa detik sebelum pelayan tersebut menjawab pertanyaan Evelin.

"Saya pengangguran sebelum bekerja di kediaman Nelson.. Nona."

'Nelson' sepertinya dia pernah mendengar nama tersebut di suatu tempat. Namun, untuk mengkonfirmasi tebakannya dia berkata lagi.

"Sebutkan nama ayahku."

Saat dia mengatakan itu, dia berharap dalam hati bahwa tebakannya salah dan itu hanya imajinasinya saja namun suara yang dia dengar berikutnya menghancurkan harapannya bagai kaca yang pecah dan hancur berkeping keping.

"Tuan James Fortes Nelson."

Pelayan itu sedikit gemetar saat menjawabnya karena Evelin menatapnya dengan tajam.

'Ah... Tidak.. Bagaimana ini bisa terjadi?'

Batinnya berteriak mendengar nama tersebut. Itu hanya tebakannya namun dia tidak pernah berharap kalau itu benar.

Setelah beberapa menit hening, Evelin kembali melihat pelayan di depannya yang masih membungkuk hormat.

Evelin melambaikan tangan kanannya untuk menyuruh pelayan keluar dan tangan kiri menekan pangkal hidungnya.

Pelayan yang melihat itu akan segera keluar ketika dia mengingat alasan dia datang kesini.

"Jadi, apa Anda akan makan di kamar?"

Pelayan bertanya sekali lagi untuk mengkonfirmasi. Suaranya sedikit bergetar saat menanyakannya karena dia tahu majikannya tidak suka pelayan yang tidak mendengar perintahnya.

Tapi, jika dia pergi begitu saja tanpa menanyakannya, bagaimana jika dia membawa makanan ke kamar tapi majikannya ingin makan di ruang makan dan begitupun sebaliknya.

Dia pernah mendengar pelayan yang di pecat karena Masalah sepele oleh Evelin. Jadi, dengan keberanian yang di kumpulkannya dengan susah payah dia berhasil mengeluarkan suaranya.

Namun, bertentangan dengan ketakutannya Evelin hanya menjawab dengan santai.

"Aku akan makan di ruang makan."

Untuk sekarang Evelin akan mencari tahu semua informasi termasuk 'keluarganya' dan untuk itu dia harus melihat wajah mereka.

"Baik.. kalau begitu saya permisi."

Pelayan kembali membungkuk hormat sebelum keluar dan menutup pintu dengan pelan.

Evelin merebahkan badannya ke atas kasur setelah pintu tertutup. Dia melihat jam di atas nakas yang menunjukkan angka 07.06 yang berarti dia harus segera bersiap dan pergi ke sekolah.

"Huft.."

Evelin menghela nafas berat memikirkan situasinya saat ini.

Sekarang mau tidak mau dia harus menerima kenyataan dia telah masuk ke dalam sebuah novel yang dia baca. Itu adalah satu-satunya novel yang pernah dia baca.

Karena pekerjaannya sebagai pembunuh dia jarang bersantai karena dia jarang memiliki waktu luang.

Bahkan jika dia memiliki waktu luang, dia akan melihat senjata yang dia gunakan untuk membunuh dan memodifikasi mereka.

Jika tidak membunuh, yang dia lakukan adalah memeriksa, memperbaiki dan memodifikasi senjata karena dia tidak tahu kapan seseorang akan menyelinap dan menancapkan senjata mereka di jantungnya.

Jadi, dia harus selalu siap jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi.

Namun suatu hari, sahabatnya yang merupakan seorang gadis normal dari keluarga kaya memberikan sebuah novel sebagai hadiah ulang tahunnya.

Dia mengatakan kalau itu adalah novel yang dia buat sendiri. Dia juga mengatakan jika dia memasukkan nama Evelin ke dalam novel tersebut walau bukan sebagai pemeran utama.

Evelin hanya mengatakan tidak apa-apa dan menerima novel tersebut.

Meskipun karakter yang memakai namanya mempunyai akhir tragis, dia tidak pernah marah atau kesal kepada sahabatnya.

Karena dia tahu alasan kenapa sahabatnya melakukan itu.

'Ah.. Apa ini hukuman untuk semua yang telah aku lakukan?'

Evelin menutup matanya merasakan matanya sedikit memanas. Dia tidak pantas meneteskan air mata dengan semua hal yang telah dia lakukan dan dia bahkan..

'..Tidak pantas hidup.'

Terpopuler

Comments

Murni Dewita

Murni Dewita

👣

2024-07-21

0

Amelia

Amelia

salam kenal ❤️❤️❤️

2024-04-17

0

Ibuk'e Denia

Ibuk'e Denia

aq mampir thor

2024-03-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!