Terjerat Kembali

Kejora memutuskan untuk kembali bekerja setelah libur selama dua hari dengan berdiam diri di rumah. Pagi ini ia datang ke tempat kerjanya tanpa mengenakan seragam kerja dikarenakan seragamnya rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Tidak ada senyum semringah di bibir Kejora seperti biasanya. Wajah datar dan tatapan kosong begitulah ekspresi Kejora saat ini.

Kejora menapakkan kakinya di lobi hotel. Baru saja ia datang sudah disambut bisik-bisik kurang mengenakkan dari para pekerja lain sambil melihatnya. Kejora merasa risih, tapi sudah terbiasa disudutkan seperti ini.

"Kejora, ada apa denganmu? Kenapa kau dua hari ini tidak masuk kerja? Dan juga, di mana seragam kerjamu?" tanya salah satu teman kerja Kejora yang paling dekat dengan Kejora.

"Seragamku sudah rusak. Aku meninggalkannya saat menyetrika. Bolehkah aku meminta seragam baru lagi?" Kejora menatap teman kerjanya yang menatap dengan lekat.

"Oh, baiklah. Tunggu di sini dulu. Akan aku ambilkan." Teman kerjanya Kejora tadi segera beranjak untuk mengambilkan seragam baru di suatu ruangan.

Kejora menunggu sambil memainkan jari di depan paha. Ia begitu gugup berada di lingkungan kerja yang toxic ini. Dia berharap segera saja hari ini berlalu dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi.

"Enaknya, ya, jadi anak kesayangan manager. Absen dua hari saja dibolehkan. Pasti kalau kita-kita sudah ditegur tuh habis-habisan." Salah satu pekerja di bagian resepsionis menyeletuk.

"Ya, pastilah. Kalau kita yang berbuat seperti itu, pasti akan langsung dipecat. Kalau dia mah mau nggak kerja seminggu pun pasti tetap disayang." Seseorang lagi menyahut dengan sinis.

Kejora terdiam mendengarkan semua sindirian itu. Baru saja ia hendak berpikir tenang, malah sudah dibumbui sindiran sinis di pagi hari seperti ini.

"Eh, Kejora, sebenarnya apa sih yang kamu perbuat sampai Pak Zein tunduk sama kamu? Apa kamu menggodanya?" Seseorang mengamati Kejora dengan sinis.

"Pastilah dia menggodanya. Jaman sekarang kan maunya yang serba cepat. Kalau dia tidak menggoda, tidak mungkin Pak Zein akan merekrutnya menjadi pekerja di hotel ini."

Kejora mengepalkan tangan di samping badan. Perkataan mereka sudah sangat keterlaluan. Namun, Kejora tidak bisa berbuat banyak. Karena itu bisa mengancam karir kerjanya.

"Kejora!"

Kejora menoleh ke sumber suara. Ia menegakkan tubuh dan membungkuk hormat ketika seseorang memanggil namanya. Kejora cukup tahu siapa orang itu, orang yang sama yang sudah membantunya untuk bisa bekerja di hotel ini.

"Kau ke mana saja dua hari ini, Kejora? Katanya kau titip absen pada Vio." Zein menatap seorang wanita di depannya yang sudah dua hari tidak ia temui.

"Saya izin sakit, Pak. Jadi tidak masuk kerja," jawab Kejora.

Zein menaikkan sebelah alis. "Sakit? Sakit apa? Apa sudah minum obat?"

"Sudah. Sekarang saya sudah sembuh. Bapak tidak usah khawatir." Kejora tersenyum.

"Syukurlah kalau sudah sembuh. Sudah kubilang untuk makan teratur supaya tidak gampang sakit, tapi kau sangat sulit sekali diingatkan," keluh Zein sambil menatap gusar Kejora.

Kejora tersenyum pias. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak."

Zein berdehem. Memandang area sekitar di mana semua orang malah memandangnya aneh.

"Apa yang kalian lihat? Sudah tidak mau bekerja lagi?" gertak Zein penuh dengan nada ancaman.

Zein memang sangat berpengaruh. Buktinya semua langsung rajin dan pergi ke tempatnya masing-masing. Sebenarnya tanpa sadar perlakuannya itu membuat Kejora dikatai sebagai anak emas oleh pekerja lain. Lalu dibenci dan dihindari.

"Kejora, ini seragamnya——Pak Zein." Vio—Teman kerja Kejora tadi mengangguk hormat ketika melihat atasannya berada di dekatnya.

"Untuk apa seragam itu?" tanya Zein.

"Seragam milik Kejora rusak, Pak. Jadi saya mengambilkannya yang baru di loker."

Zein mengangguk. Melihat penampilan dan aura Kejora yang sangat berbeda dari biasanya. Kejora adalah tipe gadis yang periang dan pekerja keras, tapi di depannya sekarang hanya terlihat seseorang yang putus asa dan kehilangan harapan.

"Terimakasih," ucap Kejora kepada temannya.

"Di mana tanda pengenalmu, Kejora?" Zein melihat tidak adanya kartu pekerja yang mengalung di leher Kejora.

Kejora membulatkan mata. Ia juga meraba bagian lehernya. Tidak tersematkan kartu pekerjanya. Kejora belum melihat benda itu sejak pulang malam dari hotel malam itu. Kejora yakin bahwa kartu miliknya pasti terjatuh saat ia tengah membersihkan kamar atau bahkan waktu pulang ke rumah.

"Maaf, Pak. Nanti saya akan mencarinya," tukas Kejora.

"Kejora, apa kau tidak tahu betapa pentingnya kartu itu? Segera temukan dan pakailah. Kalau tidak ketemu, laporkan padaku." Zein berkata dengan nada tegas dan berwibawa.

Kejora menunduk. "Baik, Pak."

Zein tersenyum. Kejora memang penurut dan mudah diatur. Terbukti waktu ia pertama kali melihat ketulusan Kejora di suatu jalan dekat kota. Karena merasa bahwa dia orang baik, Zein akhirnya membawa Kejora untuk bekerja di hotel tempatnya bekerja.

"Permisi," sela seseorang dari arah pintu bersama seorang asistennya.

Suara pantofel beradu dengan lantai membuat suara khas yang menyita pandangan.

Sosok pria bertubuh tinggi tegap, berjalan dengan dada membusung mendekati manager hotel tersebut. Kacamata yang bertengger di hidungnya dilepaskan lalu dimasukkan ke saku jas miliknya. Pesona dan aura pria berjas navy itu mampu membius tatapan semua orang. Pria itu adalah Nicholas Maferik, orang yang digadang-gadang akan menjadi penerus dari MP Corp.

Kejora menoleh ke belakang ketika mendengar bunyi ketukan itu. Matanya membulat. Pria asing yang memerkosanya waktu itu tengah berjalan ke arahnya dengan aura angkuh dan sadisnya. Mendadak tangan Kejora bergemetar. Berkeringat dingin. Trauma akan pemaksaan malam itu kembali membayangi dirinya.

"Selamat pagi, Pak Zein. Kami adalah orang yang sebelumnya sudah membuat janji dengan Anda," ucap Hans memperkenalkan, memberikan kartu nama milik perusahaan.

"Selamat pagi. Kalau begitu, mari ikut ke ruangan saya," balas Zein sambil mempersilahkan kedua tamunya untuk menuju ke ruangannya.

Nicholas tersenyum, lantas ia menatap seseorang yang berada tidak jauh dari tubuh Zein.

"Aku juga membutuhkan salah satu pekerjamu untuk membantu sesuatu. Apa bisa kau memenuhinya?" tanya Nicholas.

Zein menaikkan sebelah alis. "Untuk apa? Bukankah kita hanya akan membahas pekerjaan?"

"Tuan Nich perlu pelayan untuk melayani keperluannya, Pak. Rasanya sangat aneh jika Anda yang melayani sendiri." Hans menyela supaya keraguan di hati Zein terhapuskan.

"Ah, baiklah. Kalau begitu ...."

Salah seorang pelayan tiba-tiba datang dan menawarkan diri. Wanita itu bernama Agnes. "Saya saja, Pak!"

"Mm, boleh saja. Mari, Tuan, kita pergi," ajak Zein sebelum perkataan Nicholas menghentikannya.

Nicholas menolak. Ia menolak putusan itu. Tatapannya sama sekali tidak beralih dari Kejora yang nampak gugup dan bergerak mundur untuk pergi. Kegugupan itu bisa Nicholas rasakan meskipun tanpa ada perkataan apa pun.

"Tidak. Aku memilih dia untuk ikut denganku," ucap Nicholas sambil menunjuk Kejora yang nampak terkejut dengan perkataannya barusan.

Kejora membulatkan mata. Langkahnya seketika terhenti. Tangannya meremas seragam barunya yang ia peluk di depan dada. Kejora masih ingat bagaimana wajah pria yang sudah merenggut kesuciannya itu. Kejora pun tidak menyangka ia akan dipertemukan dengan kondisi seperti ini. Apalagi tiba-tiba ia dipilih tanpa alasan yang jelas.

"S-saya, Tuan?"

Terpopuler

Comments

Sri Faujia

Sri Faujia

aduh dagdigdug ne mau di bawa kemn y kejorany

2022-10-27

1

Odah Saodah

Odah Saodah

ko cuma dikit upnya

2022-10-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!