Chapter 4

Enam bulan terakhir Zahra habiskan untuk lebih banyak belajar, dia juga punya satu jurnal baru yang tidak kalah tebal dari jurnal-jurnal sebelumnya. Setidaknya banyak yang berhasil dia rangkum dan dia teliti lebih dalam lagi ketika dia menunda koas, dan Zahra rasa, ini tidak begitu buruk.

"Papa bawahin buah kesukaan kamu." kata papa yang baru datang, laki-laki yang rambutnya sudah dominan putih itu sempat menggelengkan kepalanya ketika melihat Zahra tidak berkutik sama sekali, masih fokus, masih sesekali mencatat, dan satu tangannya lagi, masih mengepal-ngepal secara terus menerus. Itu anjuran dokter, agar tangannya yang cidera lebih lues ketika dia gerakkkan.

Ngomong-ngomong soal cidera, makin ke sini tangan itu semakin memperlihatkan kalau dia sudah membaik secara perlahan-lahan, Zahra juga punya rencana kalau Januari nanti dia akan konfirmasi ke pihak kampus untuk segera memulai koasnya, entah saat koas dia langsung diperbolehkan untuk merawat pasien sebagai dokter atau hanya sebagai suster—huh, rasanya ketika mengingat akan kemungkinan itu Zahra jadi lemas sendiri, sampai kemudian dia merentangkan dua tangannya dan baru menatap papa dengan pandangan mata yang begitu sayu.

"I'm tired," kata gadis itu.

Tapi papa tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tersenyum sebelum akhirnya menyodorkan buah-buah yang sudah dipotong tadi ke depan Zahra.

"Zah. Kamu percaya dengan kalimat usaha nggak akan menghiati hasil?" Dan entah kenapa papa menanyakan itu secara tiba-tiba. Membuat tangan Zahra yang baru akan mengambil buah dengan garpu mengambang begitu saja di atas piring, lalu ketika dia mendongak, dia menemukan papa yang justru tersenyum dan menatap ke arah lain. Ke arah yang bukan dirinya.

"Waktu masih muda, papa malah merasa kalimat itu omong kosong, karena nyatanya, papa nggak pernah berhasil ngedapetin apa yang papa mau sekalipun papa sudah berusaha."

"Tapi sekarang, papa punya pemikiran yang berbeda. Papa nggak tahu dari kalimat itu apa yang seharusnya papa garis bawahi, jadi papa lupa kalau gagal juga merupakan hasil."

"Intinya, Zah, ketika kita tengah mengusahakan sesuatu, kita pasti dapet hasil dari usaha yang kita lakukan nantinya, tapi hasil itu—hasil itu nggak selalu tentang keberhasilan."

"Jadi apapun hasilnya nanti, jangan pernah menyalahkan usaha kamu. Jangan pernah berpikir kalau kamu dikhianati dengan kerja kerasmu sendiri, karena seperti yang kita tahu, memang ada beberapa hal yang enggak akan bisa jatuh ke tangan kita sekalipun kita sudah mengusahakannya mati-matian. Dan hal-hal itu adalah hal-hal yang memang dari awal nggak ditakdirkan untuk ada di kehidupan kita."

Zahra diam—bahkan ketika papa sudah selesai dengan kalimatnya.

Dan pada sosok papa yang masih berada di depannya, gadis itu mulai bertanya-tanya 'Apakah dokter bedah menjadi bagian dari takdirnya?'

°°°

Wajar kenapa beberapa hari ini Zahra terlihat murung, sebab nasehat papa kemarin malam nyatanya seperti tidak mau pergi dari benak Zahra untuk terus menerus membuatnya tidak bisa fokus pada apapun. Bahkan ketika mama memintanya untuk menyiram tanaman di belakang rumah, gadis itu tidak melakukannya dengan baik, terbukti dari bagaimana hanya satu tanaman saja yang terlibat basah, dan sisahnya masih kering. Padahal sudah akan setengah jam dia berdiri di sana, dengan selang dan air yang terus-terusan memancur.

"Setahu mas, sih, kalau siram tananam tuh gerak-gerak dikit gitu ya, bukan cuma berdiri di tempat. Lagian belakang rumah cukup luas loh, kalau kamu cuma ngelamun dan diem terus di sini ya kasian yang lain, terus bunga ini, dia bisa mati karena kebanyakan air." Yang Adam maksut adalah bunga-bunga lavender yang Zahra siram sedari tadi karena bunga itu yang paling dekat. Sementara yang lain malah belum Zahra siram sama sekali.

"Minggir ahh." Lalu sekonyong-konyong dia mendorong pelan bahu Adam, dan melenggang begitu saja untuk menyiram sisahnya. Adam jelas masih di sana, bahkan dia berdecak dengan keras karena bingung adiknya itu kenapa lagi? Di saat kemarin saja dia masih terlihat baik-baik saja, pagi ini sikapnya justru sangat berubah.

"Ada yang kamu pikirin?"

"Nggak kok."

"Nggak usah bohong," kata Adam, dia langsung merebut selang yang Zahra pegang dan menggantikan tugas Zahra.

"Dari tadi kamu kayak nggak fokus gitu, kenapa, sih? Ada masalah?"

"Zahra lagi males cerita Zahra kenapa. Dan, mas, harus ya Zahra ceritain semuanya ke, Mas Adam?"

Asli, Adam sampai menoleh dengan cepat ketika kalimat barusan keluar dengan begitu mudah dari mulut adiknya.

"Udah, ya, Zahra mau masuk." Dan Adam ditinggalkan begitu saja. Tanpa penjelasan, tanpa jawaban yang dia minta.

"Adikmu kenapa?" Lalu ketika mama datang, Adam masih menatap punggung Zahra dengan pandangan paling tidak mengerti.

"Tuh anak kenapa sih, Ma?"

"Mama barusan nanya loh, Dam, ke kamu. Ini kamu malah nanya balik ke mama."

"Adam juga nggak tahu dia kenapa. Mungkin ada yang ganggu pikiran dia, cuma pas Adam tanya, dia nggak mau bilang ke Adam karena apa."

°°°

Bukan karena tidak menghargai pedulinya Adam, Zahra tidak mau bercerita karena dia rasa—tidak selamanya Adam harus ikut riweh dengan urusannya, dengan perasaannya, karena Adam juga punya kehidupan sendiri, Adam juga punya masalahnya sendiri.

Ketakutan itu, kekhawatiran itu—Zahra ingin menyimpannya rapat-rapat tanpa sepengetahuan siapa pun, termasuk Adam, yang notabenya selalu menjadi orang yang mendengar keluh kesah dia. Setidaknya Zahra akan memulai itu dari sekarang. Zahra tidak akan mencari-cari Adam lagi, Zahra tidak akan membuat kakaknya itu repot, dan Zahra, dia akan membiarkan Adam untuk lebih fokus kepada dirinya sendiri, karena selama ini, dia selalu menjadi bagian yang paling banyak di hidup Adam.

"Makasih udah peduliin aku, tapi Mas, sekarang ini aku udah gede loh. Bukannya aku nggak butuh Mas lagi, tapi gimana yaa, Mas juga punya hidup sendiri, Mas punya urusan sendiri, jadi nggak seharusnya Mas terus aku bebanin dengan masalah-masalah aku," kata anak itu pada pagi harinya ketika dia dan Adam duduk di belakang rumah.

"Biarin aku selesain semuanya sendiri mulai sekarang." Lagi dia menambahkan.

"Meskipun perlu waktu yang lama—tapi aku yakin, aku yakin aku bisa."

'Untuk buang semua ketakutan ini.

Untuk buang kekhawatiran yang besar ini.

Dan untuk buang keraguan yang nggak tahu ada sejak kapan.'

"Mending Mas fokus sama pekerjaan Mas, supaya Mas bisa melakukan semuanya dengan baik, kalau perlu cari cewek sana, jangan ngurusin Zahra terus. Nggak capek apa jomblo terus. Zahra aja yang lihat capek."

"Mas udah punya pacar, ngapain cari lagi."

"Seriously?" Ketika Zahra bertanya dengan pandangan tidak percaya, di sampingnya Adam justru tertawa renyah.

"Iyalah, ngapain Mas bohong ke kamu."

"Kok nggak pernah di ajak ke sini? Curang banget lagi nggak di kenalin ke aku."

"Awal tahun nanti Mas bawah dia ke sini."

"Sekalian Mas ngomong ke mama kalau Mas mau serius sama dia."

Gimana?

Giliran bola mata anak itu yang seperti akan keluar.

"Ya gimana, Mas rasa Mas udah nemuin sosok yang pas, jadi nungguin apa lagi, kami juga udah sama-sama siap buat menikah."

Rasanya Zahra ingin menendang Adam detik itu juga, karena bisa-bisanya kakaknya itu punya rahasia sebesar ini.

"Orangnya gimana?" Tapi niat itu Zahra buang jauh-jauh.

"Cantik. Dia juga baik, bahkan, dia bisa ngertiin mas lebih dadi siapa pun."

"Dan mas bahagia sama dia?"

"Kalau nggak bahagia mas nggak akan cerita soal dia ke kamu dengan senyum-senyum nggak jelas begini."

"Iya juga sih."

"Doain mas yaa,"

"Pasti."

Lalu yang terakhir, Zahra memutuskan untuk memeluk Adam dengan erat.

"Mas baik, jadi mas harus dapat yang baik juga."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!