Chapter 3

Seharusnya tahun ini Zahra sudah mulai menjalani koas, tepatnya dua bulan lagi, tapi mengingat kondisinya sekarang, mengajukan cuti lalu menunda koas adalah yang terbaik. Kalau pun dia memaksakan keadaan, yang ada pihak rumah sakit yang dia tempati akan rugi.

"Yang perlu lo tahu, sejauh ini, you've done your best." kata salah satu teman Zahra ketika dia tahu Zahra datang ke kampus untuk meminta izin cuti. Dia juga memeluk Zahra cukup lama, sampai dia merasakan bagaimana perlahan-lahan pelukan itu terbalas.

"Selamat yaa ... yang akhirnya bisa koas bulan depan," ujar Zahra.

"Lo juga sudah melakukan yang terbaik sejauh ini. Dan gue sangat-sangat bangga sama lo."

"Gue lebih bangga sama lo." Ziva—teman Zahra itu merenggangkan pelukannya, kemudian dia mendongak dan menatap Zahra dengan mata berkaca-kaca.

Berteman dengan Zahra selama hampir 5 tahun membuat dia bisa mengenali Zahra dengan baik. Bagaimana dia yang berusaha ketika punya keinginan besar, bagaimana dia yang bekerja keras, bagaimana dia yang mengurangi banyak jam tidurnya dengan banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Lalu sekarang, ketika Zahra sudah menyelesaikan pendidikan S1nya, ketika koas yang dia tunggu-tunggu sudah di depan mata, insiden kecelakaan yang dia alami malah mengacaukan semua itu.

"Ann, lo nggak perlu takut kelihatan menyedihkan ketika lo sama gue. Lo boleh nangis, lo boleh bangsat-bangsatin apapun yang menurut lo itu emang bangsat. Bahkan nggak papa kalau lo mau teriak dengan kencang, tentang gimana lucunya semua ini. Karena gue nggak akan menjudge lo. Gue nggak akan jadi bagian dari orang-orang yang nyuruh lo untuk cepat-cepat rela. Gue nggak akan jadi bagian dari mereka yang dengan mudah nyuruh lo untuk kembali semangat lagi tanpa ngasih lo ruang untuk luapin emosi lo yang lain, emosi lo yang bukan lagi soal bahagia."

"Sebelumnya makasih." Sekali lagi Zahra tersenyum, dia juga memegang tangan Ziva erat.

"Tapi Ziv, sedihnya gue, kecewanya gue, putus asanya gue, gue rasa semua itu udah berakhir. Gue rasa gue sudah menyelesaikannya sampai tuntas, sampai ketika gue ngelihat tangan gue, bahkan ketika sesekali gue ngerasain sakit dari sini, gue nggak lagi ingin menyalahkan apa pun. Dan sekarang, ketika gue tahu lo udah mulai koas bulan depan sementara gue harus menunda koas gue, gue tetap bahagia. Gue juga bisa memastikan dengan jelas bahwa gue sama sekali enggak sedih, gue benar-benar senang karena satu-satunya temen gue akhirnya bisa menghapus satu jarak lagi—jarak antara dia dan mimpi dia."

°°°

Sepertinya nggak ada yang nggak beralasan di dunia ini. Termasuk ketika Zahra punya keinginan untuk menjadi dokter bedah. Pertama kali ketika mempunyai mimpi itu, Zahra bingung harus dengan cara yang seperti apa dia mengutarakan kepada kedua orang tuanya, mengingat prosesnya yang panjang, biayanya yang mahal, Zahra jadi ragu ketika dia akan memperjuangkan mimpi tersebut. Jadi dengan pelan-pelan Zahra bertanya pada mama.

Di siang yang tenang, di siang yang hanya ada dia dengan mama.

"Ma, salah nggak, sih, kalau kita punya mimpi besar? Sedangkan kita nggak punya apa-apa."

"Orang yang nggak punya apa-apa juga punya hak untuk menginginkan sesuatu yang besar, jadi menurut mama, sama sekali nggak salah. Kenapa emang? Do you have big dreams? And you feel so small?"

Zahra mengangguk, lalu menunduk dengan helaan napas yang panjang. Sementara mama, dia tersenyum ketika melihat perubahan wajah anaknya yang sangat ketara, lalu perlahan-lahan mama mengusap rambut itu.

"What's that?"

"Sesuatu yang sangat besar, sampai Zahra malu kalau harus mengakui bahwa Zahra memimpikan itu."

"Apa ya ... mama jadi penasaran sama mimpi besar yang kamu maksut."

"Zahra pengen jadi dokter bedah, Ma," kata Zahra, masih dengan ekspresinya yang sama.

"Wow. Its great!"

Alih-alih menertawakan itu mama justru menatap Zahra dengan binar paling cerah. Dalam bayangan Zahra mama akan diam dalam waktu yang lama, untuk kemudian menyuruh Zahra menyerah sebelum dia sempat memulai, sebab mimpi itu terlalu muluk, tapi diluar dugaan mama justru meresponnya dengan hangat. Lalu di detik setelahnya, mama membawa Zahra ke pelukan dia. Tahu jika ada sesuatu yang tak kalah besar—yang tengah menganggu pikiran anaknya.

"Zah, selama kamu menginginkan itu, ya kamu harus berjuang dan mengusahakan itu. Nggak peduli seberapa besar, nggak peduli seberapa susahnya untuk jadi dokter bedah seperti yang kamu mau, berusaha aja dulu. Mama pasti dukung. Papa juga."

"Biayanya juga mahal, Ma, Mama tahu kan?"

"Ya nggak papa, itu urusan mama sama papa, selebihnya kami serahkan ke kamu."

Lalu yang terakhir, "I belive you can." Sebelum akhirnya mama mengecup pelipis Zahra pada saat yang begitu lama.

Kecupan itu—bahkan masih bisa Zahra rasakan dengan jelas hari ini. Kecupan itu mampu tinggal dan Zahra ingat dengan baik. Sampai Zahra tertawa getir ketika salah satu dialog pada hari itu tiba-tiba terlintas.

I belive you can.

Dulu ketika Zahra masih ragu-ragu, Zahra mencoba mempercayai mama yang mempercayainya. Dan sekarang, ketika dia berada di posisi ini, lagi-lagi dia ingin menerapkan konsep itu. Percaya kepada orang yang mempercayai dia, terlepas dari dia yang justru tidak yakin dengan dirinya sendiri.

°°°

Mei berjalan begitu cepat, sampai-sampai ketika Zahra membuka mata, ternyata dia sudah bertemu saja dengan bulan Juni, dan entah kenapa saat itu hujan, meski hari masih sangat pagi.

Sesaat gadis itu tertawa ketika dia membuka selimutnya, apa ini? Hujan bulan Juni?

Hujan yang katanya paling tabah.

Lagi, dia tertawa, dan dia berakhir menyingkap selimutnya, lalu berjalan perlahan-lahan ke arah balkon.

Sebenarnya Zahra bukan tipikal orang yang suka melihat hujan, biasanya, alih-alih melihat hujan yang dia lakukan adalah mengerjakan tugas-tugasnya, tapi sekarang, entah kenapa keinginan itu ada. Keinginan untuk melihat hujan dalam waktu yang lama.

Tentang bagaimana mereka turun, tentang seberapa banyak tumbuhan yang mereka buat basah, atau bahkan tentang bagaimana genangan-genangan di bawah sana, yang tidak kalah ramai dari jatuhnya hujan itu sendiri.

"Kesannya puitis banget ya kalau gue begini." Zahra tergelitik dengan tingkahnya sendiri pagi itu. Hanya saja alih-alih beranjak dia malah memejamkan matanya dengan menghirup udara dalam-dalam.

Hujan ini,

Secara tidak langsung menyadarkan Zahra jika sudah terlewat satu bulan, jarak antara hari di mana dia kecelakaan dan hari ini, tapi kondisi tangannya masih sama seperti di awal. Iya, kata dokter belum ada perubahan sama sekali.

"Tapi meskipun begitu, gue tetap percaya kalau semua akan baik-baik aja."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!