Yang terlintas di benak Adam, ketika dia sudah tiba di Jakarta dan bertemu langsung dengan Zahra, dia akan melihat adiknya itu terpuruk, atau setidaknya semua wajahnya lebam karena kebanyakan menangis.
But now, kekhawatiran Adam, ketakutan Adam, bahkan Adam yang beberapa hari ini tidak bisa fokus dengan apa yang seharusnya dia kerjakan dengan benar, semua itu malah seperti sia-sia, terlebih ketika dia yang baru sampai di pintu bersama papa, dan keduanya langsung bertatapan dengan Zahra juga senyum lebar milik gadis itu.
"Welcomeee!" Juga rentangan tangannya yang tidak kalah lebar, meski hanya satu tangan tapi gadis itu terlihat sangat antusias. Benar-benar jauh dari apa yang Adam pikirkan.
Adam masih diam, memilih untuk tetap berdiri tanpa melakukan pergerakan apa pun di saat papa sudah beranjak, melepas kopernya begitu saja lalu memeluk Zahra dengan erat. Pasalnya, apa seharusnya Zahra seperti ini?
Pada diam itu Adam bertanya-tanya.
"I missing you." Dan ketika Zahra mendekat untuk memeluknya, Adam hanya bisa menghela napas panjang, ia balas pelukan itu tidak kalah erat, bahkan dia sempat mencium pelipis Zahra dalam waktu yang lama—sampai dia merasa perasaanya lebih membaik.
"Maaf karena mas nggak bisa pulang kemarin."
"Nggak papa." Sekali lagi Zahra mengusap-usap punggung Adam.
"Mama ada buat aku selama 24 jam."
"Tangan kamu gimana?" tanya Adam, tepat ketika mereka sudah selesai makan bersama, bahkan Adam belum ke kamar sama sekali, selesai makan dia langsung menyusul Zahra ke kamar gadis itu.
"Butuh waktu lama, sih, buat sembuh dan balik normal kayak dulu, sekitar dua tahunan kayaknya."
"Impian kamu udah berubah?" tanya Adam yang saat itu sudah duduk, tepat di belakang Zahra. Bahkan di detik selanjutnya Zahra memutar arah kursinya untuk balik menatap Adam.
"Enggak." Lagi, jawaban tenang itu,
"Aku masih pengen jadi dokter bedah." Dan binar mata yang akan selalu sama ketika dia berbicara soal impiannya yang ingin menjadi dokter bedah.
"Kenapa emang?"
"Aneh aja." jawab Adam. Laki-laki itu tidak langsung menjelaskan aneh yang dia maksut, sebaliknya dia malah merebahkan tubuh lelahnya di ranjang Zahra, membiarkan Zahra untuk terus berlama-lama memandangi dia.
"Untuk ukuran orang yang punya mimpi sebagai dokter bedah, rasanya aneh waktu dia keliatan baik-baik aja sementara dia habis kecelakaan dan dia mengalami cidera parah ditangannya, bahkan butuh waktu yang sangat lama untuk nyembuhin cidera itu. Mulut bisa aja bohong Zah, tapi binar kamu itu—dia yang ngebuat mas yakin kalau kamu beneran nggak papa dengan ini, you fine."
"Dan mas nggak tahu, mas nggak ngerti alasannya apa."
°°°
Beberapa hari ini, Zahra terus memikirkan, apa yang terjadi dengan dia sekarang jika seandainya, di hari itu, dia dan dokter Fahriza tidak bertemu. Apa dia akan menangis sepanjang malam? menangisi mimpi dan kerja kerasnya yang malah seperti sia-sia setelah dia mendapat musibah kecelakaan. Apa dia akan beteriak dengan keras menyalahkan keadaan? menyalahkan mobilnya? atau bahkan menyalahkan tikungan yang dia lewati saat itu?
Bahkan, rasanya bisa saja Zahra memilih untuk mengakhiri hidup, sebab tidak bisa dipungkiri bagaimana sedihnya dia di hari pertama, bagaimana luka itu menusuknya terus-menerus ketika dia sadar, dia membuka mata dan tangannya sudah tidak normal, di saat Zahra sendiri sudah menyimpan banyak harapan pada tangan tersebut.
Yang Zahra rasakan saat itu bukan hanya seperti dijatuhkan dari ketinggian yang begitu tinggi, tapi juga—rasanya seperti dikhianati oleh kerja kerasnya sendiri. Dan itu sangat menyakitkan.
"Mama bilang kamu ketemu sama seseorang di rumah sakit. Who him?" Adam tiba-tiba datang, dan meletakan coklat hangat di depan Zahra. Keduanya tengah berada di balkon kamar Zahra, dan menikmati sepoi angin yang hadir malam itu.
"Namanya Farizah, dia dokter." Ada sedikit tawa ketika Zahra mulai bercerita, dan mengingat lagi bagaimana mereka bertemu.
"Tahu nggak mas, bagian mana yang paling menyedihkan?" Adam diam, sementara Zahra tersenyum sekali lagi.
"Waktu aku ngira perjalanan aku untuk bisa jadi dokter semakin dekat, ternyata aku salah, dan sebaliknya, aku jatuh, aku jauh lagi, bahkan aku malah nggak bisa melihat garis finish yang sebelumnya udah sempat kelihatan."
"Aku kayak dipermainin, aku kayak di khianati sama kerja keras aku, sama usaha-usaha aku."
"Dan dia—dia tiba-tiba aja dateng dengan keyakinan yang besar, kalau aku dan impian aku nggak sejauh itu, di saat aku sendiri udah nggak punya keyakinan sama sekali. Dia tiba-tiba aja datang dan bilang ke aku kalau aku masih bisa jadi dokter bedah, karena tangan aku ini, cidera aku ini, ini bisa sembuh, meskipun nggak bisa senormal dulu."
"Mas tadi nanya, kan, kenapa dengan keadaan aku yang sekarang aku malah keliatan nggak papa? Ya mungkin karena itu. Karena dia yang secara nggak langsung mengingatkan aku untuk tetap punya keyakinan bahwa one day, semua akan baik-baik lagi, meskipun hari ini lagi nggak baik."
Adam lebih dari bangga ketika semua kalimat itu selesai, dia juga sempat mengusap rambut Zahra dan memeluk adiknya tersebut.
"Sejak kapan, sih, adik mas jadi sehebat ini?" tanya Adam. Di sebelahnya Zahra mendongak dengan dengusan.
"Yeuh!"
°°°
Hari ini Zahra ada jadwal untuk ke rumah sakit, mengecek bagaimana kondisi tangannya, kali ini dia datang dengan mama, melainkan Adam, sebab kakaknya itu sangat antusias menemani Zahra dan menyuruh mama agar mama di rumah saja, menemani papa, ya bagaimana, sebagai anak pertama yang pengertian, Adam tahu jika mereka berdua pasti sangat merindukan satu sama lain setelah empat bulan Adam dan papanya tidak bisa pulang, jadi sebelum jauh-jauhan lagi, ada baiknya jika mereka menghabiskan banyak waktu bersama.
"Mau beli minum dulu nggak kamu?"
"Boleh, aku kopi sama coklat hangat."
"Nggak usah aneh-aneh, kamu tadi habis minum obat." Yang diingatkan seketika menghela napas panjang. Zahra baru saja akan mengangguk pasrah, tapi urung ketika matanya melihat siluet Fahriza.
Iya Fahriza.
Tahu apa yang aneh saat itu?
Yang Aneh, ketika siluet itu membunuh siluet yang lain.
Siluet itu mengunci mata Zahra.
Dan siluet itu membuat Zahra terdiam pada waktu yang sangat lama, sampai Zahra merasa ditarik kembali ketika Adam menjentikan jarinya tepat di depan Zahra.
"Bengong terus kenapa, sih, kamu?"
"Mas, kayaknya aku emang harus beli kopi."
"What for, kamu tuh habis minum obat Zahraa!"
"For him."
"Zahra mau bilang makasih sama dia."
"Siapa?"
"Dia—"
Dia kemana?
Zahra yakin tadi itu Fahriza.
"Siapa hm?" Bahkan Adam langsung mengelengkan kepalanya, dan turun dari mobil, dia haus, dia butuh sesuatu yang menyegarkan seperti es kopi.
"Satu coklat hangat kan? Tunggu di mobil sebentar." katanya cukup keras.
Sementara Zahra masih mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Fahriza.
Tapi akhirnya sama seperti hari itu. Fahriza tidak ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments