2019
2019 adalah tahun di mana Zahra ingin mengakhiri semuanya. Mimpi dia, apa yang sempat dia perjuangkan, bahkan hidup yang dia jalani. Rasanya dia tidak menginginkan apa-apa lagi saat itu, kecuali satu ...
Mati.
"Hambar kan? Memang akan hambar. Kalau kamu hidup tapi nggak lagi menginginkan apa-apa."
"Tapi menurut saya lebih baik begini—tetap bertahan, dari pada kamu memilih mati dan membebani orang-orang yang kamu tinggalkan."
"Bertahan! Sampai kamu menemukan semangat lagi! Bertahan, sampai kamu mengiginkan sesuatu lagi dan punya niat untuk memperjuangkan itu."
Tahu apa yang membuat Zahra tidak bisa melupakan dia barang sedikitpun?
He is not same.
Iya dia nggak sama. Karena di saat yang lain memaksa Zahra untuk semangat, dia malah seperti satu-satunya orang yang memahami Zahra, dari bagaimana dia menatap Zahra, bagaimana dia bicara, semua itu ... semua itu yang Zahra harapkan.
Dan karena di saat nggak ada satupun orang yang memberi Zahra ruang untuk terpuruk lalu menyelesaikan bagian sedihnya, dia memiliki ruang itu.
Ali Al Farizah.
°°°
Paginya Zahra sengaja bangun lebih awal, lalu keluar ruangan hanya untuk mencari dokter Farizah. Zahra tidak tahu apa yang akan dia lakukan nanti, tapi entah kenapa kaki itu terus saja melangkah, entah kenapa mata itu terus saja mengedar, hingga satu tepukan yang mendarat pada bahunya berhasil menghentikan semua, kakinya, juga matanya.
"Mau kemana?" Bahkan mama belum-belum sudah menghela napas panjang ketika dia melihat Zahra sekali lagi, dengan kondisi itu, dengan infus yang dia bawa. Dan mama langsung meraih pundak Zahra untuk dia tuntun berjalan ke ruangannya kembali.
"Ma, sepuluh menit, setelah itu Zahra bakal balik." Zahra sempat berhenti.
"Nggak ada sepuluh menit sepuluh menit, kamu tuh harusnya istirahat bukan keluyuran begini!" Tapi mama adalah mama. Akan kurang rasanya ketika mama tidak mengomel sambil mengerahkan semua tenaganya untuk mendorong tubuh Zahra perlahan-lahan, sampai Zahra berhasil kembali lagi ke ruangannya—dengan wajah dongkol dan binar mata kelewat kesal.
"Ma, Zahra boseenn." Dan dengan rengekan yang selalu akan sama.
"Dokter Farizah itu siapa, sih, Zah? Perasaan yang kemaren ke sini namanya bukan dokter Farizah."
"Ya emang bukan."
"Gebetanmu?"
"Ma astagaa!" Zahra sampai menoleh dengan bola mata melebar ketika pertanyaan tadi meluncur begitu saja dari bibir mamanya.
"Ya kali baru ketemu langsung Zahra gaet, lagian modelan kayak gitu mana mau sama Zahra."
"Orangnya yang mana? Mama nggak tau loh dia itu wajahnya gimana? Perawakannya kayak apa?"
"Yang kemaren tiba-tiba muncul di taman."
Di detik selanjutnya giliran mama yang menoleh ke Zahra dengan bola mata seperti akan keluar, "Yang ganteng itu?" tanya mama.
Lalu ketika anaknya mengangguk dalam satu kali anggukan, mama semakin melebarkan matanya.
"Ma, itu kalau mata mama keluar ngeri loh!" Zahra sedikit bergidik ketika mengatakan itu. Sebagai anak jelas dia khawatir, tapi mama tidak menggubris, yang ada dia malah mendekat ke arah Zahra dan berbisik lirih.
"Itu yang mama mau." katanya.
"Mama mau duain papa?"
"Ma istighfar! Mama juga umurnya udah berapa? Mana mau dokter Farizah sama mama."
"Mama mau dia bukan sebagai suami, Zah, tapi jadi mantu." mama memperjelas. Dia—Zahra, juga langsung mendengus ketika Zahra menyengir dengan menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia sudah salah paham terlalu jauh.
Dan tidak lama setelah itu— "Eh gimana?"
Menantu katanya?
Lalu Zahra tersenyum lebar-lebar sambil mengusap pundak mama.
"Ekspetasinya jangan tinggi-tinggi, Ma. Yang paket komplit begitu cuma akan mau sama yang paket komplit juga." Zahra bukannya tidak percaya dengan istilah tidak ada yang tidak mungkin, hanya saja dia kini tengah bersama sudut pandangnya yang realistis.
Orang seperti Farizah—pasti akan mencari perempuan yang tidak hanya cantik. Betul bukan? Karena sama seperti yang lain, Farizah juga mau yang terbaik.
°°°
Satu minggu kemudian.
Ketika mama sibuk membereskan barang-barang Zahra, Zahra justru sibuk dengan helaan napasnya sendiri. Hari ini dia sudah diperbolehkan untuk pulang, tapi Farizah ... Zahra belum juga bertemu dengan laki-laki itu.
Zahra tidak berharap banyak, dia hanya ingin bertemu untuk kemudian berterima kasih, iya sesederhana itu. Tapi sepertinya akhir-akhir ini Farizah tengah bertugas di rumah sakit lain.
"Papa sama kakak mu nanti pulang." Beritahu mama ketika beliau sudah menyelesaikan tugas-tugasnya, tinggal merapikan selimut Zahra.
"Aku mau marah sama papa, sama mas Adam juga." Pasalnya mereka dengan tega tidak pulang ketika mendengar Zahra kecelakaan. Sesaat Zahra melirik mama 'Ya karena nggak dibolehin juga, sih, sama mama' batin gadis itu.
"Jangan gitu ahh, nggak baik." Kan!
Menurut mama, selain masalah pada tangannya, semua baik-baik saja, jadi mama tidak mau membebani papa dan Adam—anaknya yang juga tengah berada di luar negri bersama sang suami. Mama juga merasa kalau dia bisa meng-handle Zahra sendiri.
"Ngomong-ngomong, Zah,"
"Kayaknya dokter Farizah memang lagi nggak bertugas di rumah sakit ini." Mama masih memberaskan ranjang Zahra. Membuat anaknya itu perlahan-lahan menoleh dengan binar yang redup.
Sepertinya memang begitu.
"Jatuhnya lucu ya, Ma, lucu gimana Zahra berharap supaya bisa ketemu lagi sama dia." Lalu pada udara kosong di depannya gadis itu menguarkan tawanya. Mungkin dari awal, seharusnya Zahra tidak mengharapkan apa-apa lagi tentang Farizah. Hanya saja dengan dia yang tiba-tiba muncul, dengan dia yang mampu memahami Zahra, dengan dia yang tidak menuntut sama sekali di saat yang lain menuntut Zahra untuk bisa rela secepatnya, apa bisa Zahra tidak berharap soal apa-apa?
'Mungkin nggak akan sampai ke kamu, tapi yang jelas saya berterima kasih.' batin Zahra ketika dia dan mama sudah melangkah meninggalkan rumah sakit.
Zahra sempat menoleh ke belakang, tapi lagi-lagi yang dia cari tidak ada di sana.
Tapi hari itu—hari di mana Zahara keluar, bukan karena Farizah yang dinas ke rumah sakit lain, sebab Farizah ada di sana—bahkan Farizah dapat melihat Zahra ketika gadis itu tidak melihat Farizah sama sekali.
Lalu ketika Zahra menoleh ke belakang, Farizah tiba-tiba saja mengulas senyumnya.
Sampai seseorang datang dan membuyarkan senyum itu.
"Zah, kamu uda balik?"
Dia perempuan, juga dokter bedah yang kebetulan satu tim dengan Farizah.
"Subuh tadi saya baru ke sini."
"Gimana di sana? lancar?"
"Alhamdulillah, semuanya lancar. Ngomong-ngomong Dry, pasien yang baru keluar tadi kamu kan yang menanggani?"
Audry—dokter cantik itu mengikuti kemana mata Farizah.
"Pasien yang—oh Annas maksutnya."
"Iya aku yang menanggani, tapi waktu oprasi dokter utamanya bukan aku."
"Keadaan dia sudah membaik?" Lagi-lagi Farizah bertanya. Dan Audry menjawabnya dengan senyum.
"Yaa, seperti yang kamu lihat, dia udah baik-baik aja."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments