Adam jatuh tidak sadarkan diri. Tubuhnya jatuh tepat di pangkuan Ardi dan Harsha. Mereka dengan sigap menahan tubuh lemah Adam.
Utari mengambil alih tubuh putranya dan meletakkan di pahanya
"Adan. Maafkan Mama, sayang. Maafkan Mama." Utari terus membelai wajah mulus putranya dan mencium keningnya. "Tidak seharusnya Mama mengatakan ini semua padamu. Seharusnya Mama mencari waktu yang tepat untuk menceritakan semua ini padamu." tangis Utari semakin pecah.
"Sudahlah, Utari. Semuanya sudah terjadi. Kau jangan menyalahkan dirimu terus. Lagian juga Adam harus tahu semua ini," ucap Alin menghibur.
"Kita bawa Adam ke kamarnya. Dzaky, kau hubungi dokter Nurman suruh dia kesini," ucap Bagas pada putra sulungnya.
"Baik, Pa." Dzaky, lalu mengambil ponselnya dan menghubungi Dokter Nurman.
Reza menggendong tubuh lemah Adam ke kamar. Sesampainya di kamar, Reza membaringkan Adam di tempat tidur dengan hati-hati. Dapat mereka lihat wajah Adam yang pucat.
Utari mendekat pada putranya dan menggenggam tangan putranya kesayangannya.
"Maafkan Mama, sayang. Maafkan Mama," batin Utari. Air matanya kembali menetes.
"Paman Nurman telah datang!" ucap Dzaky.
Lalu sang Dokter memeriksa kondisi Adam. Setelah selesai memeriksa Adam, Dokter itu memandangi anggota keluarga Abimanyu satu persatu.
"Apa yang terjadi pada keponakanku, Nurman?" tanya Yoon Bagas.
"Untuk saat ini tubuhnya sangat lemah. Dia mengalami shock berat dan ditambah lagi dirinya banyak pikiran dan tertekan dengan masalahnya selama ini. Untuk saat ini dirinya harus banyak istirahat. Jangan menambah beban pikirannya, itu akan membahayakan kondisi tubuhnya. Ini resep obat untuk Adam," tutur Dokter Nurman sambil menyerahkan kertas kepada Bagas.
"Baiklah," balas Bagas pada Nurman.
"Kalau begitu aku permisi dulu," pamit Dokter Nurman.
"Aku antar, paman." Harsha berucap.
"Terima kasih, Harsha!" jawab Dokter Nurman.
Lalu mereka pergi meninggalkan kamar Adam.
^^^
Adam yang sudah terbangun dari tidur dan sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Kampus. Dirinya tidak peduli dengan kondisi tubuhnya masih lemah. Kalau dia tetap berada di dalam kamar dan tidak melakukan apa-apa, itu akan membuat dirinya mati secara berlahan-lahan.
Di meja makan, para anggota keluarga sudah berkumpul untuk melakukan ritual pagi mereka apalagi kalau bukan sarapan pagi. Sedangkan Utari sedang menyiapkan sarapan pagi untuk putra kesayangannya.
"Harsha, Kau izin Adam ya. Adam tidak kuliah hari ini," ucap Utari.
"Ba..." ucapan Harsha terpotong.
"Siapa bilang aku tidak kuliah hari ini? Aku akan tetap pergi kuliah walau dalam keadaan sakit sekalipun," sahut Adam ketus.
"Tapi sayang, ka..." Adam memotong perkataan ibunya.
"Aku akan tetap kuliah," jawab Adam dengan tatapan sendunya.
Adam melangkahkan kakinya ke meja makan, lalu duduk di kursi paling ujung. Dirinya memilih menjauh dari mereka. Pandangannya fokus pada makanan yang ada di hadapannya. Tanpa ada niat menatap mereka walau hanya satu detik.
Perkataan ibunya masih terngiang-ngiang di otaknya. 'Papamu tidak mengakuimu sebagai anaknya'. Tanpa dirinya sadari air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Kenapa kalian tidak membunuhku saat aku masih bayi," batin Adam dan seketika air matanya menetes membasahi wajah tampannya.
Mereka yang melihat Adam yang menangis, hati mereka sakit. Mereka ingin mendekat, tapi mereka tidak tahu mau berkata apa? Takut salah bicara, bisa-bisa akan membuat Adam mengamuk. Seharusnya Adam bahagia saat dirinya kembali pulang ke rumah. Tapi malah kesedihan yang didapat.
"Adam, sayang. Maafkan Mama, nak! Mama tidak bermaksud melukai perasaanmu," batin Utari.
"Aku sudah selesai!" seru Adam tiba-tiba.
Adam langsung berdiri dari duduknya, lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka semua.
Namun, langkah terhenti saat mendengar suara ibunya.
"Sayang. Kamu berangkat bersama Ardi dan Harsha ya." Utari berucap lembut kepada putranya. Utari berharap putranya mau menurutinya.
"Aku bisa pergi sendiri. Aku bukan anak TK yang harus diantar dan dijemput apalagi harus ditemani," jawab Adam dingin.
Setelah mengatakan hal itu, Adam kembali melangkahkan kakinya. Lagi-lagi langkahnya terhenti. Kali ini tangannya ditahan oleh seseorang. Adam membalikkan badannya, dapat dirinya lihat Harsha lah yang menahan tangannya.
"Mau apa kau. Lepaskan tanganku!" bentak Adam.
"Kakak tidak akan melepaskannya. Kau ikut dengan kami ke Kampus. Kita akan pergi bersama," jawab Harsha dengan sedikit membentak.
"Cih." Adam berdecak. "Kau pikir, kau bisa mengaturku. Kau bukan siapa-siapaku? Jadi, jangan sok peduli denganku. Orang tuaku saja tidak menginginkanku hadir di dunia ini. Lalu kenapa kau begitu peduli denganku, hah!" bentak Adam dengan matanya yang tajam.
"Aku memang peduli denganmu, Dirandra Adamka Abimanyu. Aku tulus menyayangimu. Kau adikku. Sampai kapanpun kau akan tetap menjadi adikku. Kau MENGERTI!" ucap Harsha yang sudah emosi.
"Aku tidak peduli. Aku bilang lepaskan tanganku, Ekawira Harsha Abimanyu!" teriak Adam dan menatap nyalang pada Harsha.
"Ada apa denganmu, Dam? Kau menyeramkan sekali kalau lagi marah. Mana Adam yang kakak kenal dulu yang memiliki sifat lemah lembut?" batin Harsha menangis.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau ingin menamparku. Apa tamparan kemarin belum cukup, hah?!" ucap Adam dengan senyuman menyeringai.
Berlahan pegangan tangan Harsha melemah. Saat Adam merasakan tangan Harsha melonggar, Adam menarik tangannya dengan kasar. Lalu dengan segera Adam pergi meninggalkan mereka semua tanpa memperdulikan orang disekitar nya.
***
Adam melangkah dengan indah menyusuri lorong Kampus seakan ditakuti, semua orang menepi dan memberikan jalan untuknya. Dirinya memakai jaket kulit dan celana koyak-koyaknya semakin membuatnya terlihat makin gaya dan terlihat makin tampan. Adam memutuskan untuk pergi ke ruang latihannya dan bermalas-malasan disana. Dirinya tidak berniat untuk mengikuti kuliahnya.
Saat kakinya hendak melangkah menuju ruang latihan, dirinya dihadang oleh beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Tiba-tiba mereka bersimpuh di hadapan Adam yang membuat Adam terkejut.
Adam mundur beberapa langkah. Mahasiswa dan mahasiswi tersebut mewakili teman-temannya yang lain untuk meminta maaf kepada Adam.
"Apa yang kalian lakukan, hah?!" bentak Adam.
"Ka-kami kesini untuk meminta maaf kepadamu Adam," tutur salah satu mahasiswa itu.
"Maafkan kami yang sudah mengumpat dan berkata kasar padamu soal foto itu," ucap mahasiswi lainnya.
"Kami mohon, Maafkan kami."
Adam membuang nafas kasar
"Huff."
"Berdirilah," sahut Adam.
"Kami tidak akan berdiri sebelum kau memaafkan kami."
"Ya, sudah! Kalau begitu bersimpuhlah sampai jam kuliah selesai," jawab Adam dingin, lalu pergi meninggalkan mereka.
"Tunggu!" teriak salah satu mahasiswa tersebut.
Adam menghentikan langkahnya dan berbalik. "Ada apa?"
"Jadi kau akan membiarkan kami seperti ini sampai jam kuliah selesai? Yang benar saja," mahasiswa itu.
"Kalian ini benar-benar membuatku muak. Aku sudah menyuruh kalian untuk berdiri, tapi kalian tidak mau. Saat aku mau pergi meninggalkan kalian. Kalian malah mengatakan bahwa aku membiarkan kalian bersimpuh sampai jam kuliah selesai. Mau kalian sebenarnya apa, hah?!" bentak Adam.
"Terserah kalian. Kalian mau disini sampai jam kuliah selesai atau kalian mau kembali ke kelas, Aku tidak peduli!" teriak Adam dan langsung pergi dari hadapan mereka.
^^^
Para Kakaknya Adam berada di kantin.
"Kak Ardi, Adam dimana? Dari tadi kita tidak melihat Adan. Bahkan dia juga tidak mengikuti pelajarannya," ucap Harsha.
"Apa kalian ada masalah dengannya?" tanya Arka.
"Adam sudah tahu soal ayahnya. Mama Utari sudah memberitahu semuanya kepada Adam. Tapi...." ucapan Ardi terhenti.
"Tapi kenapa kak?" tanya Sakha.
"Cara menyampaikannya salah dan waktunya juga tidak tepat. Jadi terjadilah perang mulut antara Mama Utari dan Adam. Bahkan Adam hampir mau pergi dari rumah. Kami berhasil mencegahnya," tutur Ardi.
"Aku bahkan menamparnya, kak Arka." Harsha berucap dengan nada sedihnya.
"Kenapa kau sampai menamparnya, Sha?" tanya Gala.
"Aku menamparnya hanya ingin menyadarkan Adam." Harsha menjawab pertanyaan dari Gala.
"Maksudmu?" tanya Kenzie bingung.
"Saat Adam mau pergi meninggalkan rumah, saat itu juga mama Utari berteriak dan mengatakan semuanya kepada Adam soal ayahnya. Adam mendengar semua ucapan Mama Utari, tapi tidak menunjukkan reaksi apapun. Adam hanya diam mematung tanpa mengubah posisinya berdiri menghadap pintu utama dan membelakangi kami semua. Kami semua khawatir dan panik melihat Adam dalam keadaan seperti itu. Lalu aku dan kak Ardi mendekati Adam. Kak Ardi berulang kali memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi sama sekali darinya. Bahkan kak Ardi juga menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi tetap saja tidak ada reaksi sama sekali. Jadi aku terpaksa menamparnya. Alhasilnya, Adam menolehkan wajahnya kearahku dengan tatapan sayunya. Dan kemudian Adam jatuh pingsan." Harsha bercerita panjang lebar.
"Kami pergi ke Kampus tidak bersama Adam. Adam pergi duluan sebelum kami," ucap Ardi.
"Sekarang kita tidak tahu dimana dia sekarang," lirih Harsha.
"Apa sudah dicari ke tempat latihannya?" tanya Sakha.
"Sudah. Pintu ruangan latihan itu terkunci dan ruangan itu gelap," jawab Ardi.
"Jadi Adam dimana sekarang?" tanya Gala yang juga mengkhawatirkan Adam.
Saat mereka sedang membicarakan tentang Adam, tiba-tiba terdengar para mahasiswa dan mahasiswi sedang membicarakan tentang Adam juga. Mahasiswa dan mahasiswi yang sedang membicarakan Adam itu sangat menyukai kepribadian Adam. Jadi tidak semua mahasiswa dan mahasiswi yang membenci Adam.
"Kenapa tiba-tiba kak Adam membatalkan semua jadwal latihan ya? Udah tiga hari ini tidak ada latihan."
"Iya, ya. Kenapa ya? Padahal dia selalu ada di ruangan itu."
"Apa karena masalah yang menimpanya itu, sampai membuat kak Adam tidak mau melatih kita lagi."
"Aku sangat menyukai kepribadiannya. Dia baik, lembut dan suka menolong. Mereka mereka saja yang bodoh sudah mengumpat tidak jelas tentang Adam."
"Dan sekarang mereka kena batu nya."
"Oh, ya. Aku dengar kalau Adam itu adik sepupunya kak Ardi dan kak Harsha."
"Baguslah. Jadi paling tidak mereka semua akan mikir dua kali buat nyari masalah sama geng Brainer."
"Tapi aku kagum sama Adam. Sekalipun dia punya dua kakak sepupu yang ditakuti di Kampus, tapi dianya tidak sombong dan tidak mau membully teman-temannya."
Seperti itulah percakapan beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berada di kantin. dan didengar oleh geng Brainer.
"Oh, ya. Aku lupa. Tadi pagi aku melihat kak Adam masuk ke ruang latihan, loh! Dan aku yakin sampai sekarang ini dia belum keluar dari ruangannya itu."
DEG!
Geng Brainer yang mendengarnya pun kaget dan tidak percaya. Mereka menoleh dan melihat ke arah mahasiswa dan mahasiswi yang duduk tidak jauh dari mereka.
"Hei, kalian." Harsha memanggil mereka dengan lembut.
"Iya, kak Harsha."
"Siapa yang barusan mengatakan bahwa Adam berada di ruang latihannya?" tanya Harsha.
"Saya."
"Apa itu benar?" tanya Ardi.
"Benar, kak Ardi. Saya benar-benar melihatnya masuk kesana."
"Tapi kami baru dari sana. Dan keadaan ruangannya terkunci dan gelap," ucap Harsha.
"Ada kunci cadangannya, kak Ardi. Kunci itu kami letakkan di vas bunga yang tergantung di dinding di depan pintu itu. Kami memegang satu. Jadi, sebelum kak Adam datang, kami sudah datang terlebih dahulu menunggunya di dalam."
Terukir senyuman di wajah mereka saat mendengar ucapan mahasiswa itu.
"Apa mungkin Adam ada disana? Atau mungkin dia sengaja mematikan lampunya. Biar tidak ada yang tahu keberadaannya oleh kita," tutur Kenzie.
"Ya, kau benar sekali Kenzie. Kenapa kita tidak kepikiran dari tadi. Aish." Arka berucap kesal.
"Ya, sudah. Tunggu apalagi. Buruan kita cek!" seru Harsha yang tidak sabar.
"Ayooo!" seru mereka semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments