Sepasang mata itu akhirnya terbuka. Bau bunga persik, dan satu kelopak bunga melayang-layang di depannya. Dia kini tertidur menghadap ke samping dengan kedua kaki sedikit Tertekuk. Dingin. Dia merasa dingin, sungguh dingin.
Rambutnya yang hitam menyapu rumput hijau itu. Buih-buih air masih menggelantung di sana.
Sakit. Dia merasa sakit di bagian bawahnya. Sorot matanya bergerak ke sana kemari, melihat dimanakah dirinya sekarang. Dia mengerakkan kaki dan tangannya. Namun, tidak satu pun yang bisa dia gerakan.
Air mata tidak terbendung menetes. Mengalir dari kedua matanya lalu menyentuh rambutnya. Dia teringat akan pembantaian yang telah terjadi di keluarganya. Peristiwa yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan, Bahkan untuk seumur hidupnya. Isak tangis mulai terdengar.
Sejak kecil, dia mengetahui, di mana ada pertemuan di sana akan ada perpisahan, itu adalah hal yang sangat umum. Tapi dia tidak menyangka kepergiannya akan seperti itu.
Sakit. Dia menjerit kesakitan di bagian bawahnya lagi. Apa yang telah terjadi, aku berada di mana? Mengapa dia tidak membunuhku? Apa yang akan dilakukannya?
Satu jam berlalu, akhirnya dia bisa mengerakkan tubuhnya. Kemudian bersandar di pohon tua itu. Baru dia mengetahui apa yang telah terjadi. Cairan darah menyelimuti rumput, dan dia telah telanjang bulat tanpa sehelai kain pun.
Dia lagi-lagi menangis dan menangis. Kini dia tahu mengapa pembunuh itu tidak membunuhnya. Dia pasti ingin membuatnya menanggung malu untuk seumur hidupnya.
Tentu dia tahu ini akan terjadi, namun dia tidak berkehendak itu terjadi dari bukan orang yang di cintainya.
Dia memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya di sela-sela lutut. Kemudian, terdengar isak tangis yang pilu dan menyedihkan.
Di siang hari, saat matahari terlihat kasihan kepadanya, dia sudah mulai pulih. Tubuhnya sudah mulai lebih baikkan, namun, dia tetap memeluk lututnya. Dia sedang tidur.
Kelopak-kelopak bunga persik berterbangan, ada yang mendarat di atas kepala, ada juga yang mendarat di rumput.
Di Siang itu seorang gadis mungil duduk memeluk lututnya di bawah naungan pohon persik tua.
......................
Suara langkah kaki terdengar, semakin dekat, semakin dekat, dan akhirnya berhenti di depan gadis itu. Sebuah kain di lemparkan ke atas kepala dengan kasar.
“Ayo ganti! Kita akan pergi ke rumah bordil untukmu. Aku tidak mau kita telat, bahkan satu menit pun.”
Dia tidak menjawab.
“ayo ganti!” tendangan pun mendarat di kakinya, dia menjerit, lalu perlahan-lahan mengangkat wajahnya.
“K-k-kau siapa?” dia bertanya dengan lembut. Dia melihat seorang pria tampan dengan rambut yang indah dan panjang. Hidung mancung, kulit putih dan sangat pas.
“aku adalah pembunuh keluargamu!” jawab dengan bentakkan.
“m-m-membunuh keluargaku?” dia bertanya layaknya orang bodoh. Faktanya, dia sudah mengetahui Pria di depannya adalah orang yang kemarin menendangnya hingga babak belur, bahkan menimbulkan memar, tapi dia berusaha seperti orang bodoh untuk tidak membuatnya terlihat sedih sehingga membuat pembunuh di depannya tidak terhibur olehnya.
“jangan pura-pura! Aku tidak akan segan-segan membunuhmu jika kau bersikap seperti ini!” ujung pedang sudah di arahkan ke leher rampingnya.
“b-b-baik.” Rasa takut mulai menyeruak merasuki tubuhnya. Dia langsung memakai kain itu dan mengikatnya dengan kain putih.
Setelah itu mendekati Pria yang sudah berdiri jauh menantinya. Dia menunduk dan menyapa Pria itu. Jika dia bisa, dia ingin sekali membunuhnya sekarang.
Pria itu berbalik, dan berkata, “ ulurkan tanganmu!”
“U-u-untuk apa?” dia masih menunduk. Tubuhnya bergetar karena takut. Dia memang gadis yang lemah dan Tidak mempunyai sedikit keberanian. Bahkan kemarin malam, dia bersikap seperti itu Karena sangat terpaksa.
“Cepat!”
“B-baik.”
Rantai muncul mengelilingi tangan yang putih dan penuh memar itu.
“sekarang ayo pergi. Namaku tang li dan kau?”
“a-aku?” dia bertanya, tapi sudah berani mengangkat wajahnya.
“iya!”
Dia cepat-cepat menunduk dan menjawab, “Li Xin Mei.”
Mereka lalu pergi.
......................
Siang itu akhirnya mereka keluar dari desa persik, desa Yang merupakan tempat Li xin Mei di lahirkan. Tempat yang dia pertama kali sentuh dan rasakan udaranya ketika keluar dari perut ibunya.
Air mata tidak dapat dia bendung, dia menangis sambil menoleh ke gerbang kota, gerbang yang selalu menyambut seseorang yang datang, entah pelancong ataupun para penduduk yang pulang dari kerjanya.
Orang-orang di sekitar mereka tidak mempedulikan Li Xin Mei sedikit pun, bahkan tidak memandangnya. Mereka hanya bercakap-cakap dengan yang lainnya atau fokus pada barang dan gerobak yang mereka bawa. Li Xin mei tidak mempercayainya, Tapi dia heran Mengapa orang-orang menganggapnya Tidak ada? Atau mungkin dia tidak terlihat?
Tidak mau mempedulikannya, Li xin mei kembali menoleh ke depan dan melihat punggung pria di depannya Yang lebar dan pas. Ingatan-ingatan mengenai darah dan rasa sakit itu tergambar di benaknya. Apa aku sudah... Dia tidak bisa melanjutkannya. Sesuatu yang terpenting bagi seorang wanita sudah di rebut oleh orang yang ada di depannya.
Andai saja aku mati saat itu atau sekarang, mungkin saja aku tidak akan menderita seperti ini. Tetapi bisakah aku bebas darinya? Tidak... Itu tidak mungkin. Huh... Aku tidak menyangka, hidupku akan berubah dalam semalam, batinnya sambil melihat punggung pria di depannya yang bergerak naik turun.
Saat menjelang sore, akhirnya mereka tiba di depan desa bukit. Tubuh li xin mei sudah tidak kuat lagi berdiri. Dia kelelahan akibat tidak pernah beristirahat sedikit pun, dia juga tidak pernah berjalan sejauh itu, membuat kakinya sangat sakit.
Bibirnya pecah-pecah karena tidak pernah menyentuh air sedikit pun, kecuali air keringat yang masam. Perutnya juga sakit karena tidak makan seharian itu.
Tang li menghela nafas, entah apa yang dia pikirkan saat ini.
Dengan sekuat tenaga, li xin mei ingin tetap berdiri, tetapi Dia tidak bisa. Jika hari ini aku mati, aku akan sangat bersyukur. Dia akhirnya perlahan-lahan jauh dan tidak merasa apa pun lagi.
......................
Perlahan-lahan kedua matanya terbuka. Kepalanya terasa sakit, tapi dia bisa menjaga kesadarannya. Bau harum dia cium. Sebuah ruang yang indah dengan pas bunga ada tidak jauh darinya. Dia mengerakkan kepalanya untuk melihat setiap bagian dari rumah ini.
Di mana aku? Apakah aku sudah ada di rumah bordil? Mungkin iya. Tidak berselang lama, suara langkah kaki anggun terdengar. Dia menoleh, Seorang gadis cantik memakai han fu yang indah datang. Di tangannya ada sebuah cangkir, makan dan wadah minuman.
Dia membantu xin mei untuk bangun. Lalu menuangkan air ke dalam cangkir yang sebelumnya dia letakkan.
“Apa kamu merasa baikkan?” wanita itu bertanya sambil mengulurkan cangkir.
Xin mei lama memandang ke arah cangkir tersebut. Dia memiliki pengalaman yang buruk ketika ada seorang melayaninya seperti ini. Dia pernah hampir di racuni karena terlalu gegabah, untungnya dia berhasil selamat. Olehnya dia harus berhati-hati terhadap orang asing.
Meski kini dia sendiri di dunia ini, kesucian juga sudah di rebut dan di perlakukan seperti seorang budak, sebagai seorang manusia tentu dia tetap menjaga dirinya dan tidak ingin mati lebih cepat.
Wanita itu tersenyum, lalu menaruh cangkir tersebut di meja sambil berkata, “entah apa yang laki-laki itu perbuat sehingga kamu seperti ini. Dia laki-laki yang buruk, dan tidak punya kasih sayang sedikit pun. Awalnya ketika dia membawamu ke sini dengan karung, aku pikir kamu akan di buang di sini dan menjadi adik angkatku.”
Wanita itu lalu duduk di sisi ranjang. “ ternyata Dia tidak seburuk itu. Namaku Fang liang. Kamu bisa panggil aku kakak Fang.”
Xin mei mendengar setiap kata yang keluar dari mulut merah dan indah dari wanita yang ada di depannya. Ada rasa bersalah ketika dia tidak mengambil minuman yang di berikan oleh Fang liang.
“N-n-namaku Li Xin Mei. Kakak Fang, m-maaf.” Dia berusaha meminta maaf dengan baik, Namun sikapnya yang selalu gugup ketika berhadapan dengan orang yang baru dia kenal membuatnya kesulitan.
“untuk apa?” Fang liang menoleh sambil tersenyum.
“U-u-untuk.”
“tidak usah di lanjutkan, aku mengerti.” Fang Liang mengelus rambutnya. “Apa kamu masih merasa sakit?”
Pertanyaan itu seketika membuatnya terkejut. Dia lalu memeriksa tubuhnya, dan semuanya tidak ada yang sakit. Bagaimana bisa? Apa ada obat yang membuat orang sembuh dengan cepat seperti itu?
Xin Mei menggeleng pelan.
“tabib di sini memang hebat. Baiklah, setelah beristirahat dan makan, ganti pakaianmu, aku tunggu di luar.
Xin mei mengangguk. Dia lalu membiarkan Fang Liang menutup pintu lalu tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments