Bab 3

Freya terbangun dengan mata yang bengkak. Ia menangis sebelum tidur karena akhirnya hubungannya dengan Irfan harus kandas. Grace menguatkannya semalaman. Bagaimana pun, Ia akan terus mendukung Freya.

"Frey, sarapan, yuk?"ajak Grace yang baru saja mandi.

Freya mengangguk dengan tidak bersemangat. Wanita itu melangkah gontai ke kamar mandi. Ia menyelesaikan ritual mandinya dengan cepat dan pergi sarapan dengan lesu.

Grace memperhatikan Freya di meja makan."Kamu masih kepikiran sama pacar kamu itu?" Wanita itu menggelengkan kepalanya,"ucapannya agak kasar, ya, Frey."

Freya tersenyum lesu."Maaf, ya, Mbak. Situasinya jadi kacau begitu. Harusnya kita ķan senang-senang." Situasi ini benar-benar membuatnya tak nyaman. Ia memang butuh kekasih tapi, ia lebih membutuhkan ketenangan batinnya.

"Ya gimana, Frey, kamu juga terlalu membiarkan dia begitu. Aku nggak pernah ada di posisi itu jadi nggak bisa komentar. Tapi, jangan dipikirin, Frey. Aku bisa memaklumi aja." Grace menepuk pundak Freya pelan.

Ponsel Freya berbunyi. Sebuah email masuk. Freya terbelalak sampai tangannya gemetaran.

Ia bahkan harus membacanya berulang kali. Ia takut ini hanyalah mimpi.

"Freya, kamu kenapa?" Grace mulai khawatir. Ia berpikir kalau wanita itu menerima pesan dari kekasihnya lagi. Lalu, keduanya akan bertengkar lagi.

Freya berusaha menyadarkan diri. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja. "Mbak~" Freya menggenggam tangan Grace.

Grace menatap Freya heran,"kenapa?"

"Aku keterima, Mbak~katanya aku disuruh ke kantor sekarang untuk penanda tanganan kontrak." Suara Freya bergetar, matanya berkaca-kaca.

Grace tersenyum dan mengusap tangan Freya. "Syukurlah, Frey~kamu keterima kerja. Ya udah kamu sarapan cepat, langsung ke kantornya."

"Tapi, Mbak gimana?" Freya tak enak hati. Padahal Grace sudah jauh-jauh datang ke sini. Tetapi, ia harus menghadapi situasi yang tak seharusnya atau ada di luar rencana mereka.

"Gampang lah, Freya...Mbak bakalan tunggu kok. Lagi pula, kamu cuma sebentar sih. Aku bisa ketemu sama Penulis lain yang masih ada di sini." Grace berusaha meyakinkan agar Freya bisa tenang.

"Maafin aku, ya, Mbak." Freya menatap Grace penuh haru. Ia bersyukur memiliki teman yang sangat pengertian seperti itu.

"Santai aja, Freya~" Grace terkekeh.

-----

Freya sudah kembali ke Hotel setelah beberapa jam di gedung besar itu. Wanita itu mematung di kamar. Ia sudah memegang sebuah amplop berisi tiket dan surat kelengkapan lainnya. Ia telah menanda tangani kontrak kerja. Hari ini ia senang sekaligus sedih. Ia tidak tahu apakah keputusan ini benar atau tidak. Ia harus pindah ke wilayah lain. Freya sudah mengatakan kalau ia nersedia di tempatkan di mana saja. Ini sangat berat, tapi, ia sangat membutuhkan pekerjaan.

Grace baru saja tiba ke kamar. Ia melongok dan mengerutkan dahi. Freya tak menyadari kedatangannya. Ia pun menghampiri Freya yang tampak terus melamun."Gimana, Frey? Urusannya lancar?"tanya Grace.

Freya melonjak kaget. "Iya, Mbak." Freya menganģguk lemah. Ia berusaha tersenyum di sela-sela kegundahan hatinya. ."Mbak dari mana?"

"Ke Hotel sebelah. Ketemu beberapa Penulis lain yang masih di sini. Mereka adakan pertemuan kecil. Aku diperbolehkan ikut. Ya cuma dengerin aja. Maklum, masih bukan siapa-siapa, ya, kan." Grace tertawa.

"Ada Màs Bintang juga?" Entah kenapa Freya harus menanyakan lelaki itu. Rasa kagumnya terhadap pria itu tidak pernah bisa ditepis.

Grace menggeleng."Nggak ada. Nggak mau ikut. Katanya dia itu agak tertutup, sih, orangnya. makanya nggak mau kumpul-kumpul. Ya mungkin karena kebanyakan Penulis itu perempuan. Jadi, ya, wajar aja menurutku. Oh, ya, gimana~gimana kerjaan kamu? Udah tenang dong ada kerjaan."

"Mbak, aku setuju ditempatkan di mana saja. Terus~aku ditempatkan di Makassar." Freya hanya bisa merutuki kebodohannya. Awalnya ia memang akan menyetujui di mana pun ia akan ditempatkan. Tapi, ia tidak menyangka kalau ia harus keluar dari Pulau ini.

"Makassar?" Grace mempertegas.

Freya mengangguk dengan bibir mengerucut. "Iya."

Wajah Grace sedikit khawatir karena tempat itu cukup jauh. Walau ditempuh dua jam naik pesawat, setidaknya Kota itu sudah berbeda pulau dari temoat mereka saat ini. "Tapi, di pusat Kotanya, kan? Bukan di daerah yang butuh waktu berjam-jam dengan transportasi yang banyak?"

"Iya, Mbak. Aku nggak pernah ke sana, Mbak. Aku sama sekali nggak tahu bagaimana di sana. Beneran deh." Freya mulai frustrasi. Ia juga belum memberi tahu Ibunya mengenai masalah ini. Tapi, sepertinya sang Ibu tidak akan mempermasalahkan. Yang penting Freya bisa bekerja dan tidak diremehkan orang.

Grace mengusap punggung Freya."Ya sudah jangan kamu pikirkan. Yang terpenting kamu dapat kerja. Jadi, nggak disepelekan terus. Lagi pula, cari kerja susah, Frey. Kalau ada, ya, terima saja. Kamu tidak akan tahu kalau belum dijalani. Hitung-hitung nambah pengalaman. Lalu, kamu bisa tahu daerah lain."

"Tapi, gimana aku bisa cari tempat tinggal, Mbak? Aku bingung. Katanya, di sana bahasanya juga beda."

"Tapi, mereka tetap bisa bahasa Indonesia toh? Ya udah jangan khawatir. Kamu persiapkan aja semuanya. Nanti kuhubungi saudaraku yang di sana. Jadi, nanti dia yang akan bantu kamu cari tempat tinggal dan memperkenalkan daerah di sana. Lagi pula sekarang jaman canggih, Frey. Kamu bisa cari tahu apa pun di internet."

Freya mengangguk."Terima kasih, Mbak. Tiga hari lagi aku pergi."

"Iya. Ayo kita rayakan ini. Kita makan enak,"kata Grace.

Freya mengangguk senang. Sudah cukup ia bersedih. Ia memang kehilangan kekasih. Tapi, Tuhan sudah menggantinya dengan memberikan pekerjaan yang baru.

freya dan Grace keluar dari Hotel. Freya menggenggam ponselnya erat. Lalu, perlahan matanya turun ke layar ponsel. Ia memikirkan tentang keputusannya kali ini. Ia akan betul-betul pergi dari sini, meninggalkan segalanya.

Freya terbelalak saat menerima pesan dari Irfan. Wanita itu menarik napas panjang dan mengabaikannya. Sudah cukup. Ia tidak mau berurusan lagi. Irfan terus mengiriminya pesan. Freya terus mengabaikannya. Pria itu tak akan berubah, usai menyakitinya dengan ucapan kasar dan mengakhiri hubungan, ia akan datang dan meminta maaf. Begitulah dilakukan secara berulang kali. Hingga Freya berada di titik jenuh

Seperti saat ini. Ditambah lagi Irfan sering menghina hobinya.

"kamu kenapa, Frey?" Grace menyadari wajah Freya yang merengut.

"nggak, Mbak. Yuk." Freya memeluk lengan Grace dan melangkah dengan senyuman semringah. Setelah beberapa langkah, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini bukan sebuah pesan, melaunkan sebuah panggilan telepon. Freya membuka ponsel, menolak panggilan, dan memblokir nomor Irfan. Ia kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. Freya melangkah dan tertawa.

"Nggak penting, sampah! Selanat tinggal laki-laki toxic! Jangan datang lagi ke kehidupanlu!"teriak Freya dalam hati.

...****...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!