Sugar Daddy & Sukma
Saat ini. Sukmawati sangat kebingungan, ketika rumah peninggalan orang tua satu-satunya itu harus berpindah tangan alias di sita oleh BANK.
Sebab sebagai jaminan tuk membayar hutang-hutangnya orang tua semasa hidup dan hutang tersebut buat biaya sekolahnya Sukma dan adik-adik yang masih SMP, Jihan yang masih kelas dua dan Marwan yang baru di kelas satu.
''Gimana kak? kita akan kemana?'' tanya Jihan dengan wajah sedih menatap sang kakak yang tampak kebingungan.
Ketiganya duduk di teras rumah mereka yang sudah di sita oleh pihak BANK tersebut, menghadapi tas-tas pakaian mereka dan hanya itu yang bisa mereka bawa. Sebab barang-barang yang sedikit berharga di dalam rumah tersita semua.
"Nggak tau nih, kakak masih pikirkan." Jawab Sukma sambil menghela napas panjang dan berat, tatapannya kosong ke depan.
"Aku lapar, Kak." Keluh Marwan nimbrung, sambil memegangi perutnya yang terasa perih itu.
Sukma menoleh, lantas membuka dompetnya yang cuma ada tiga lembar uang warna biru. Itupun sisa tabungannya yang ia pakai sehari-hari dalam sebulan ini, semenjak kepergian sang ayah dan sang ibunda. Ia menelan saliva nya sendiri, merasa berat untuk menghadapi hidup ini.
"Ya, sudah. Kita pergi yu sambil cari kontrakan." Sukma berdiri dan membawa tas pakaiannya.
"Bagaimana kita cari kontrakan rumah Kak? bayarnya dari mana?" protes Jihan sambil cemberut.
Sukma terdiam sejenak. Benar juga di dompet cuma ada uang segitu. Belum buat makan, belum lagi buat ongkos jalan.
"Em, untuk sementara ... kita nginep saja di rumah Bibi. Nanti setelah Kakak kerja, baru kita mencari kontrakan. Kita tidak boleh tergantung sama orang," ucap Sukma menatap keduanya.
"Baik Kak," sahut kedua adiknya dengan sangat lesu, beranjak mengikuti langkah kakaknya.
Mereka berjalan membawa tas nya masing-masing. Namun sebelum ke tempat tujuan, mereka singgah di warung makan dan kebetulan mengenal mereka bertiga, toh masih satu kampung.
Sukma membeli 2 bungkus nasi dan lauknya, tempe dan tahu saja, cukuplah untuk makan bertiga.
"Kalian mau kemana, bawa tas segala?" tanya si penjaga warung heran menatap intens kepada mereka bertiga.
"Em ... kami mau ke tempat bibi di kampung sebelah Bu," sahutnya Sukma sembari mengangguk.
"Lho, rumah kalian gimana kalau mau ditinggalkan?" tanyanya lagi heran sambil membungkus nasinya.
"Rumah beserta isinya disita BANK, Bu." Celetuk Marwan.
"Shuttt," Jihan mendelik ada Marwan yang nyablak namun benar adanya.
"Ha ... di sita? jadi kalian gak punya tempat tinggal lagi?" Bu Warung kaget.
Sukma mengangguk pelan. "I-iya, Bu."
"Ya , ampun ... kalau saja rumah Ibu luas, Ibu gak keberatan kok kalian tinggal bersama kami, bener dah." Ibu warung ikut bersedih menatap ke arah Sukma dan adik-adiknya.
"Oh, makasih, Bu. Terima kasih? tapi tidak apa-apa kami mau ke tempat bibi saja." Sukma mengangguk, hatinya mencelos sedih jadi ingat lagi pada orang tua yang sudah tiada.
Ketiganya menyantap nasi bungkus dengan lahap. Terutama Jihan dan Marwan, sementara Sukma tak berselera makan dan sengaja membiarkan adik-adiknya saja yang kenyang.
Dia sendiri biarlah, tak jadi masalah membawa perut yang keroncongan juga gak bakalan banyak bicara. Pikir Sukmawati.
Netra nya menatap sedih, pada kedua adiknya itu yang harus terlunta-lunta tanpa tempat tinggal, hatinya pilu bagaikan diiris sembilu. Tak terasa buliran air bening menggenang di sudut matanya dan langsung ia seka dan menyembunyikan wajah sedihnya itu.
Wajah Sukma menghadap kelainan arah dan menghela napas panjang tuk membuang semua beban yang ada dalam hatinya. Dan berusaha agar tidak menangis. Tiba-tiba Jihan memanggil.
"Kak, kok makannya sedikit?" Jihan memandangi sang kakak yang entah melihat ke mana?
"Ha! Kakak sudah kenyang, habiskan saja ya?" Sukma pura-pura kenyang dan bersendawa.
"Ya, sudah. Aku habiskan saja kalau begitu, sayang kan. Jangan buat makanan menjadi mubazir." Gumam Jihan sambil menghabiskan makannya.
"Ayo, habiskan Wan. Biar kenyang." Sukma menatap sang adik bungsunya dengan tatapan pilu.
Marwan pun segera menghabiskan makannya. Jihan juga, setelah habis! mereka bersiap untuk pergi ke tempat bibinya yang berada di lain kampung. Itupun entah mau menerima kedatangan mereka entah tidak.
Sebelum pergi, tidak lupa berpamitan pada ibu warung dan membayar dua bungkus nasinya itu.
"Bismillah ... semoga Bibi bisa menampung kami. Untuk sementara waktu." Gumamnya Sukma dalam hati.
Ketiganya naik angkutan umum. dengan tujuan tempat bibi. Adik dari sang ayah. Selang beberapa lama berada di angkot, akhirnya mereka turun dan berjalan lagi tuk sampai ke tempat yang dituju.
Suasana sudah hampir malam dan suara adzan Maghrib terdengar berkumandang.
"Kak benarkan ini alamatnya?" tanya Marwan, maklum dia baru menginjakan kaki di tempat ini.
"Benar, dan itu rumahnya bibi," sahutnya Jihan. Gadis itu menggendong tas punggung yang berisi pakaian.
Sukma mengangguk membenarkan jawaban dari Jihan. Lalu melanjutkan langkahnya mendekati teras.
"Assalamu'alaikum ..." suara Jihan dengan lantang dan jelas.
Tidak lama kemudian, terdengarnya langkah kaki yang teratur mendekati pintu.
Blak!
Pintu terbuka. Dan tampak bibi Lilian berdiri menatap lekat pada tamunya. Dengan spontan Sukma memberi contoh yang baik untuk kedua adiknya, dengan cara menyalami tangan bu Lilian.
"Sehat Bi?" suara yang keluar dari mulut Sukma sambil mencium tangan bibinya.
"Sehat, kalian ngapain ke sini malam-malam? bawa ransel segala? mau kemping atau gimana?" selidiknya Lilian bukannya menyuruh masuk malah memberondongkan pertanyaan.
Setelah kedua adiknya bersalaman pada bibinya, Sukma berkata. "Bi, kami mau numpang tinggal di sini tuk sementara waktu. Sampai aku mendapat pekerjaan Bi." Dengan nada sungkan.
Lilian terkejut mendengarnya. "Maksud mu mau tinggal di sini? ayo masuk dulu." Pada akhirnya menyuruh keponakannya masuk.
"Alhamdulillah ... akhirnya disuruh masuk juga. Kaki dah pegel nih," gumamnya pelan Jihan, selepas sang bibi mendahului masuk.
"Beneran Kak ditanya mulu." Timpal Marwan.
"Shuttt ... kalian harus sopan, jangan gitu." Protes Sukma pada adik-adiknya.
"Em, Bi. Sebelum melanjutkan obrolan, kami mau salat dulu." Sukma seakan meminta ijin.
"Oh, boleh-boleh. Tuh di dekat dapur ada kamar kosong." Seraya menunjuk ke sebuah kamar di dekat dapur.
"Makasih Bi?" ketiganya berjalan menuju kamar tersebut yang setelah berada di dalam mereka melongo dengan kondisi kamar yang sangat berantakan bak gudang.
"Kak, ini kamar apa gudang sih?" tanya Jihan melirik ke arah Sukma.
Pandangan Sukma dan Marwan masih menyisir seisi kamar itu yang persis seperti yang Jihan bilang.
"Huuh." Sukma membuang napas melalui mulutnya. "Ya sudah. Kita bereskan sedikit dulu asal ada buat salat saja."
Sukma langsung menyingsingkan lengan bajunya, menurunkan tas dari punggung dan langsung membereskan sementara buat salat.
Saat ini mereka duduk di lantai seakan membuat lingkaran. Menghadapi beberapa gelas minuman di tengahnya.
"Sekarang katakan, apa maksud kalian datang membawa tas ke sini?" selidik bibi Lilian menatap semua keponakannya satu demi satu.
Sukma melirik ke arah adik-adiknya terlebih dahulu sebelum bicara, kemudian pandangannya mengarah pada Bibinya. Bi Lilian. "Begini Bi."
Sukma menceritakan semua yang menimpanya, bahwa rumah disita oleh pihak BANK karena beberapa bulan tak membayar cicilan orang tuanya, bekas segala keperluan anak-anaknya sekolah.
Sehingga sekarang ini mereka tak punya tempat tinggal, dan sekolah pun harus berhenti ....
.
...Bersambung!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
Mae Fathur Rohman
lanjut kak ini
2023-01-02
0
Indri Ani40
aahhhh😣😣😣😣kasian sekali
2022-12-31
1
Wiek Soen
mampir Thor
2022-12-20
1