Satu bulan berlalu, keadaan Aryan sudah jauh lebih baik, ia merasa lebih segar dan tenaganya sudah kembali. Meski belum seratus persen, tapi pria pemilik dada bidang itu sudah tak betah berlama-lama di tempat tidur, dan seputaran rumah saja.
"Mau kemana Kak? jangan terlalu banyak bergerak dulu, kalau tidak nanti kakak pusing lagi."
Ah, suara lembut itu lagi.
Tiara, wanita yang selalu ada di sisnya. Merawatnya dengan sangat baik dan begitu telaten, Tiara yang selalu menyiapkan makanannya, mengurus pakaiannya, mengatur jadwal minum obat ramuannya.
Wanita cantik itu begitu menumpahkan segala bentuk perhatiannya. Perasaan Aryan saat ini tidak mudah untuk di jelaskan. Yang pasti, segala sesuatu yang dilakukan Tiara, mampu menggetarkan hati terdalamnya.
Sejak Tiara dan Aryan memutuskan untuk mengakrabkan diri, pria itu meminta Tiara untuk mengubah panggilannya.
Sebenarnya, Aryan meminta Tiara untuk memanggil langsung namanya saja, namun Tiara adalah Tiara, ia merasa itu kurang sopan hingga mau tak mau Aryan menyetujui usulan Tiara yang memanggilnya dengan sebutan 'Kakak'.
"Aku ingin melihat-lihat keluar, kalau kau begitu khawatir, kau boleh menemaniku Ara."
"Boleh aku memanggilmu seperti itu?" Aryan bertanya dengan sorot mata tak lepas menatap wajah Tiara yang selalu tampak cantik.
Terlihat Tiara yang berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju. "Kedengarannya bagus, baiklah. Hanya kau yang boleh memanggilku seperti itu Tuan." Ujar Tiara.
"Tuan?" Aryan mengernyit, namun sudut bibirnya berkedut menahan senyum.
"Maksudku, Kak... maaf, aku belum terbiasa." Cicit Tiara. Padahal ia sendiri yang mengusulkannya, tapi tetap saja lidah Tiara masih terasa kaku.
"Sudah ku katakan, panggil namaku saja Ara."
"Akan ku usahakan."
Tiara berdiri, kemudian mengikuti Aryan yang sudah lebih dulu berjalan. Mereka berjalan-jalan menyusuri perkampungan yang hampir keseluruhannya berprofesi sebagai nelayan, karna hanya itu yang jadi matapencaharian mereka.
"Berjalanlah di sampingku, jangan di belakangku." pinta Aryan, ia menghentikan langkahnya sebentar, kemudian menarik tangan Tiara pelan.
"Seperti ini?" Tiara mensejajarkan diri di samping Aryan, bahkan ia membalas tautan tangan pria yang jauh lebih tinggi darinya itu. Tinggi Tiara hanya sedadanya saja.
Mereka berdua saling melempar senyum, kemudian segera melanjutkan perjalanan.
Terlihat anak-anak yang sedang bermain kejar-kerjaran. Para orang tua yang baru berangkat ataupun pulang mencari ikan.
Di atas pasir pantai yang tampak seperti butiran-butiran emas lembut berkilauan lantaran diterpa sinar matahari. Aryan dan Tiara duduk berdampingan, memandangi riak gelombang ombak yang menenangkan.
Aryan mengulurkan tangannya ke arah Tiara. "Berikan tanganmu."
Wanita itu menurut.
Tiara yang hanya mengenakan kaus lengan pendek,dipadu rok di bawah lutut tampak mengelus kedua lengannya.
Aryan menarik dan memasukkan tangan kiri Tiara kedalam kantong mantelnya. "Mendekatlah." Pintanya.
Tiara merangsek, mendekatkan tubuhnya pada Aryan. "Apa kau pernah berpikir, selama kau disini. Ada seseorang jauh disana sedang meratapi kerinduannya padamu. Menunggu kabar darimu, atau bahkan kepulanganmu."
Aryan diam mendengarkan, ia tak bisa menjawab apapun. Tidak ada yang dapat ia perkirakan hingga saat ini, ingatannya masih belum kembali. Meski begitu, samar-samar ia mengingat kejadian mengerikan yang terus mengganggunya.
Mungkin Tiara benar, ada seseorang... entah itu keluarga, orang tua, atau siapapun yang kini menunggunya.
Ia mengelus lembut kepala Tiara yang kini bersandar di bahunya. "Aku mengerti apa yang kau khawatirkan Ara. Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi kau akan tetap ada di sisiku." Ucap Aryan serius, ia tak lagi menatap lautan luas, karna wajah Tiara mampu mengalihkan segalanya.
Tiara tersenyum lembut, rambut panjangnya yang tergerai indah diterpa angin pantai. Cantik.
"Mungkin kaulah yang akan meninggalkanku, jika ingatanmu telah kembali."
Aryan terkekeh, entah sadar atau tidak keduanya kini sudah berpelukan dengan erat. Tiara tampak nyaman di rengkuhan bahu kekar Aryan.
"Itu tak akan terjadi Ara."
...*****...
Seorang wanita muda masih setia duduk di ujung kamar mewahnya, di atas kursi empuk yang terletak dekat jendela besar hingga terlihatlah suasana perkotaan dengan segala aktifitasnya.
Ia tak bisa menampik, bahwa ia mencintai pria itu. Sampai saat ini ia masih merasa kehilangan. Beberapa kali ia mencari petunjuk melalui orang-orang suruhannya, tapi belum juga membuahkan hasil.
"Kau sudah terlalu lama melamun sayang." bisik seorang pria di telinganya, kedua tangan pria itu sudah melilit di tubuh sang wanita. Ia mendekapnya dari belakang, memberi kenyamanan serta ketenangan.
"Aku hanya penasaran sayang. Jangan salah paham." Ia mengelus pipi sang Pria yang kini menempel di bahu kanannya.
"Yeah, I know." Ucapnya serak, ia menelusupkan wajahnya di ceruk leher sang wanita, menggodanya, dan memberikan tanda kemerahan di sana.
...*****...
"Kau sudah lebih baik Tuan? mampirlah sebentar. Ayahku dapat ikan besar, kita makan bersama."
"Tidak usah Hanna, kami harus segera pulang. Paman Aris sudah menunggu." Tiara menjawab sopan pada anak tetangga yang seusianya.
Sejak Hanna tau bahwa Aryan sudah sadarkan diri, hampir setiap hari wanita itu mengunjungi rumah Pak Aris. Membawakan ikan segar, membawa dedaunan kering, atau hanya sekedar berbasa-basi menanyakan kabar Tiara.
Padahal sebelumnya mereka tidak begitu dekat.
"Aku bertanya padanya, bukan padamu." Ketus Hanna tak suka. Ia sangat mengharapkan bisa lebih dekat dengan pria tampan itu, kenapa lagi-lagi Tiara selalu lebih beruntung darinya.
Bahkan Hanna pernah ditolak pria yang sudah lama ia sukai, hanya karna pria itu telah lebih dulu menyukai wanita lain, dan itu adalah Tiara.
Padahal apa kurangnya? ia selalu memakai pakaian pendek seperti yang disukai para Pria. Tapi kenapa usahanya terus sia-sia.
Hanna berdecak sebal saat bayangan itu kembali melintas di pikirannya.
"Terimakasih Nona, tapi Tiara benar. Kami harus segera kembali, Pak Aris pasti sudah menunggu."
Aryan dan Tiara mengangguk ramah, kemudian pergi meninggalkan Hanna yang masih menggerutu kesal di tempatnya.
"Sudahlah Hanna, trikmu itu sudah tidak mempan. Berapa pria yang kau rayu dengan cara yang sama, tapi semuanya gagal bukan!" Ujar seorang ibu paruh baya bertubuh gemuk yang sejak tadi memperhatikan obrolan ketiganya.
"Ini salahmu Bu, harusnya aku terlahir dari bibit yang jauh lebih baik!" ia menghentakkan kakinya kemudian masuk kedalam rumah.
Sang ibu hanya bisa menggeleng melihat tingkah anak perempuannya.
...Tbc......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
꧁🦋⃟⃟ ˢⁿ᭄𝔎𝔄𝔉𝔎𝔄𝔎꧂
klo di komik si Hanna ini di ibarat kan, si rambut terong {ungu} calon pelakor tingkat ape e
2023-02-20
0
𝐀⃝🥀Jinda🤎Team Ganjil❀∂я🧡
mohon maaf ya kak di bagian kata di sisinya kurang huruf i kak
2023-02-06
1
〈⎳ HIATUS
pasti ini pacarnya si cowok baru selingkuh ya?
2023-02-06
0