kenyataan di depan mata

Berbekal uang pemberian salah satu sipir yang mengenalnya sangat baik, Dafi mencari angkutan umum menuju rumahnya. Ia juga diberitahu dari tempat itu harus tiga kali naik angkutan umum dengan jurusan berbeda untuk sampai di tujuannya.

Dafi yang sudah terlalu lama tidak melihat dunia di luar rumah tahanan tentunya merasa asing dengan sekitar. Banyak yang berubah, terutama di sekitar jalan yang dulu sering dijadikannya rute mengamen.

Deg.

Dafi menatap nanar sepanjang jalan di bawah jembatan S yang pernah jadi saksi bisu kejadian hampir 13 tahun lalu. Tempat itu kini jadi taman yang mana beberapa orang terlihat duduk santai di atas rumput sintetis sambil memainkan ponselnya.

Tak lama kemudian, Dafi bersiap untuk berhenti tepat di pertigaan menuju jalan ke rumahnya. Beruntung ia masih mengenali warung kecil di dekat pohon besar yang ada di sana.

“Kiri, Bang,” ujarnya. Dafi turun dari mobil dan membayar ongkos. 

Dafi mengulumkan senyum menatap lurus ke arah jalan yang akan ia tuju. Dengan langkah lebar ia pun bergegas ingin segera sampai di rumah untuk menemui orang tuanya.

Lima menit kemudian Dafi mulai terlihat bingung. Banyak hal yang berubah di sekitar tempat itu. Bukan lagi pemukiman kumuh dengan bau sampah yang jadi ciri khasnya. Melainkan dua gedung pencakar langit yang masih dalam proses pengerjaan.

Ya. Dafi merupakan anak seorang pemulung. Orang tuanya biasa memulung dan memilah sampah untuk kemudian dijual pada pengepul. Tidak hanya orang tuanya, tetangga dan warga sekitar juga banyak yang melakukan hal serupa. Tapi sekarang terlihat jauh berbeda. Tempat itu kini dikelilingi penghalang karena sedang ada proyek pengerjaan bangunan.

Dafi meneruskan langkahnya sambil melihat ke arah para pekerja proyek yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka di atas gedung. Tiba-tiba saja ia teringat akan ayah dan ibunya. Dafi berlari ke tempat yang semula merupakan tempat tinggal keluarganya, namun nihil tempat itu kini sudah rata, dan dijadikan jalan menuju proyek.

“Kemana bapak dan ibu? Kemana Ica? Kemana Bi Marni, Mang Herman … kemana teman-temanku? Ya, Tuhan! Di mana mereka sekarang?” gumam Dafi dengan tatapan nanar.

Dafi mengedarkan tatapannya, dan tak sengaja melihat sebuah nama yang dirasanya tak asing.

BIANTARA CONSTRUCTION.

Di sana juga tertera sebuah spanduk bertuliskan:

Di tempat ini sedang ada pembangunan BIANTARA TWIN TOWERS.

Rahang Dafi seketika menegang. Nama itu sama dengan nama yang disebutkan pria yang pernah menjenguknya di rumah tahanan. Apa itu artinya penjebakan dirinya ada hubungannya dengan pembangunan menara kembar itu?

Ah. Rasanya tidak mungkin. Ia hanya anak kecil yang tidak mengerti apa-apa saat itu. Lalu apa motif penjebakan dirinya? 

“Ibu.” Dafi tiba-tiba terperanjat saat mengingat sosok ibunya. Dafi memutar arah kembali ke warung kecil yang dilihatnya tadi. Sesampainya di warung itu ….

“Bah. Apa kabar?” sapanya sembari duduk di samping pria tua di kursi kayu panjang yang ada di depan warung.

Pria berumur itu sesaat mengerutkan kening, lalu bertanya dengan ekspresi datar. “Kemana aja kamu? Baru keliatan.”

“Saya … dari suatu tempat, Bah,” sahut Dafi pelan sembari menundukkan pandangan. Dalam hati Dafi menduga-duga. Apa benar pria tua itu tak mengetahui kejadian yang menimpa dirinya dulu?

“Dimanapun kamu, harusnya jangan sampai lupa pulang. Apalagi lupa sama orang tua. Dosa,” ujarnya.

“Nggak mungkin saya lupa sama orang tua, Bah. Buktinya sekarang saya pulang. Saya juga ingat sama Abah. Coba, Abah ingat nggak sama saya?” tanya Dafi dengan senyuman tipis di wajahnya.

“Siapa kamu itu nggak penting. Tapi sebagai anak laki-laki, harusnya kamu ada saat ayahmu meninggal, ibumu sakit sampai meninggal juga. Kok bisa sih kamu setega itu sama mereka? Anak macam apa kamu?” ujar pria itu terdengar sarkas.

“Apa? Bapak dan ibu … meninggal?” Dafi terlihat syok mendengar ucapan pria tua pemilik warung itu. Tapi ia mencoba untuk menepisnya. Sementara itu mendengar pertanyaan Dafi, si Abah bukannya menjawab malah beranjak dari kursi.

“Bah. Apa maksud abah ngomong begitu? Abah nggak salah ucap ‘kan, Bah? Nggak mungkin bapak sama ibu udah meninggal. Abah pasti ngarang. Abah pasti salah orang,” ujar Dafi dengan suara bergetar dan tatapan nanar. Ia ingat saat itu ayahnya memang sedang sakit. Tapi ia tak menyangka jika ayahnya meninggal dunia. Lalu ibunya … kapan ibunya meninggal?

“Toto meninggal beberapa bulan setelah kamu pergi. Satu tahun kemudian, Ayu menyusul. Kalau kamu ingin menemui mereka, kamu tanya tuh sama petugas kebersihan di pemakaman umum Rawa Gede. Kalau dia masih ada dan kamu ingat, pasti kamu tau orangnya. Dulu dia RT di sini,” jelas abah itu dan membuat Dafi seketika terpaku.

Bagaimana tidak, Toto dan Ayu memanglah nama orang tuanya.

Langkah Dafi terlihat lunglai, namun memaksakan untuk tetap melangkah demi mendapatkan kepastian. Meskipun benar yang disebut abah itu nama orang tuanya, sepanjang jalan Dafi berdoa agar kabar itu tidaklah benar.

Hampir tiga puluh menit Dafi berjalan menuju pemakaman. Setibanya di sana, tanpa diduga seseorang menyapa.

“Kamu Dafi ya? Benar ‘kan kamu Dafi?” tanyanya.

Dafi sontak menoleh, dan tentunya mengingat wajah pria di hadapannya. “Pak RT.”

“Alhamdulillah. Kapan bebas?” tanyanya dengan raut wajah lega.

“Hari ini, Pak.”

“Syukurlah. Ke rumah bapak yuk. Bukan rumah sih, tepatnya gubuk,” ujarnya kemudian.

“Terima kasih, Pak. Tapi … Pak RT, saya mau menanyakan tentang Bapak dan Ibu saya.” Dafi terlihat ragu mengatakannya. Bagaimanapun ia tak berharap melihat nisan kedua orang tuanya di sana.

“Kamu udah tau?” Kedua alis pria itu tertaut.

“Tau apa, Pak? Saya mau menanyakan keberadaan mereka karena tadi saya lihat rumah kami yang dulu … nggak ada. Orang tua saya pindah kemana ya, Pak? Barangkali Pak RT tau,” ujar Dafi harap-harap cemas.

Pria itu menghela dalam napasnya. Tanpa berkata apapun juga, ia meminta Dafi mengikuti langkahnya. Dafi bergeming. Bagaimanapun ia berharap kedua orang tuanya masih hidup.

“Ayo. Bapak beritahukan kebenarannya. Kamu harus kuat, Dafi. Itu pesan ibumu.”

Mendengar hal itu, Dafi pun mulai melangkah dan mengikuti pria di hadapannya menyusuri celah jalan setapak yang ada diantara jejeran pusara.

Deg. 

Seketika Dafi merasa hatinya terhempas ke relung yang paling dalam. Kakinya yang semula masih melangkah, tiba-tiba terhenti saat tatapannya mendapati nama kedua orang tuanya tertera di batu masing-masing pusara yang sangat sederhana dan apa adanya.

“Di sinilah mereka, Dafi. Pak Toto dan Bu Ayu sudah meninggal dunia. Nanti bapak ceritakan kejadiannya. Tapi sekarang, berdoalah untuk mereka. Bapak tinggal dulu ya. Bapak ada di tempat yang tadi,” tutur pria itu.

Dafi terpaku. Wajahnya memerah menahan tangis. Ia teringat akan janji menyenangkan orang tuanya. Tapi kini yang ia lihat justru pusara mereka. Seketika Dafi bersimpuh di sisi makam ayahnya sembari menahan tangis yang menyesakkan dada.

“Bu. Pak. Dafi udah pulang,” ucapnya dengan suara bergetar. 

Dafi memejamkan kedua matanya, berusaha menenangkan hatinya yang dirasa bergelora. Sesaat kemudian Dafi pun berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa agar menempatkan orang tuanya di tempat terbaik di sisi-Nya. Setelah agak lama Dafi berada di sana, ia beranjak dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dada.

“Biantara. Aku bersumpah akan membalaskan ini semua,” geramnya di dalam hati.

_bersambung_

Terpopuler

Comments

Rhina sri

Rhina sri

iyaa dafi km harus membalas mereka yg tlah menjebakmu😏

2022-10-21

1

Massurya

Massurya

tambahin babnya kenapa thor
masa cuma 1 bab aja tiap kali update
10 bab gitu

2022-10-19

1

jack

jack

jangan lama2 thor up nya

2022-10-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!