Dafi tak pernah menyangka, tugas yang disangka sangat mudah itu justru awal dari kehancuran masa depannya. Meski ia membantah ribuan kali pun rasanya percuma. Bahkan tak jarang ia diperlakukan kasar karena dianggap telah menutupi kebenaran dengan tidak menyebutkan nama sang Tuan pemilik obat terlarang.
"Saya benar-benar tidak tahu, Pak. Siapa nama orang itu, dan apa isi paketnya. Saya berani sumpah, Pak! Saya hanya diminta mengantarkan paket itu. Saya ingin pulang. Pak, bebaskan saya! Saya tidak bersalah!" raung Dafi di ruang interogasi.
Bukti sudah nyata ada di tempat kejadian perkara (TKP). Sebuah paket obat terlarang yang terkesan sengaja diperjualbelikan. Para petugas itu juga nampaknya sudah jengah mendengar pengakuan Dafi yang mencoba membuktikan diri, dengan kalimat yang itu-itu lagi. Mereka pun meninggalkan Dafi dengan seorang sipir untuk dikembalikan ke balik ruangan berjeruji besi.
Tapi tak lama kemudian ....
"Sebentar. Saya ingat nomor plat mobil orang yang menyuruh saya malam itu, Pak" ujar Dafi pada sipir tahanan yang mengantarnya ke sel. Raut wajahnya senang karena menganggap ingatannya itu akan membuatnya mendapatkan kebebasan.
"Kenapa nggak bilang dari tadi?" bentak sipir itu yang kemudian menarik kasar pakaian Dafi ke ruangan seorang petugas sipir lain yang kemungkinan memiliki kedudukan lebih tinggi dari petugas sipir itu.
"Ada apa lagi?" tanya petugas dengan nama Jaka itu ketus.
"Katanya dia ingat plat nomor mobil orang yang menyuruhnya, Pak," sahut petugas tadi sembari memaksa Dafi untuk terduduk di kursi, dan berhadapan langsung dengan Jaka.
Jaka celingukan, kemudian meminta rekannya tadi keluar dan menutup pintu. Dafi merasa heran, namun tak berani menanyakannya.
"Tulis di sini," titah Jaka sembari menyodorkan selembar kertas kosong pada Dafi.
Tanpa diminta dua kali, Dafi pun menuliskan plat nomor yang ia ingat. Dalam hati remaja itu merutuki diri karena sebelumnya sempat melupakan hal yang mungkin saja sangat penting tersebut. Setelah selesai, Dafi mengembalikan kertas itu pada Jaka.
Jaka sempat membelalakan mata. Dengan suara menggeram sipir itu bertanya, “Kau yakin ini plat nomornya?”
“Yakin, Pak. Yakin seratus persen,” angguk Dafi yang dibarengi ekspresi sangat yakin.
“Kau yang di luar. Kemarilah!” panggil Jaka pada rekannya.
Sipir yang tadi membawa Dafi terlihat dari balik pintu. Sembari meremas kertas itu, Jaka meminta rekannya mengembalikan Dafi ke dalam sel.
“Pak. Pak! Saya akan bebas ‘kan, Pak? Saya nggak salah,” pekik Dafi sembari menoleh pada Jaka yang menurunkan pandangan masih dengan tangan yang mengepal kuat kertas tadi.
Dafi kembali diseret menuju sel tahanan. Remaja laki-laki itu didorong untuk masuk ke dalam sel sambil menundukkan kepala. Dafi telah salah menduga. Kesaksiannya akan plat nomor itu justru membuatnya semakin terjebak dalam fitnah sebagai kurir narkoba.
Terekam jelas kesedihan di wajah ibu dan ayahnya yang memaksakan hadir di persidangan walau dalam keadaan sakit. Dafi divonis 13 tahun kurungan penjara. Setelah beberapa bulan, ia dipindahkan ke tahanan khusus bersama narapidana kasus narkoba lainnya. Dan sejak itu, Dafi melarang ibunya untuk menjenguk.
“Ibu percaya sama Dafi ‘kan? Dafi nggak salah, Bu.” Kalimat itu selalu ia ucapkan sambil terisak di hadapan ibunya yang datang menjenguk.
“Ibu percaya, Nak. Meskipun hakim sudah memutuskan kamu bersalah, tapi ibu akan selalu percaya anak ibu nggak bersalah,” ucap Ayu dengan kedua mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Bu. Dafi janji akan bertahan di sini. Suatu hari Dafi akan keluar, lalu akan bekerja supaya ibu dan bapak bisa istirahat menikmati hari tua. Ibu jaga kesehatan ya, Bapak juga. Ibu nggak usah lagi jenguk Dafi di sini, biar Dafi kuat. Kalau ibu sering jenguk Dafi, Dafi jadi pengen ikut pulang, Bu.” Ibu dan anak itu berpelukan sambil menangis tersedu. Meski berat, Ayu mengikuti permintaan Dafi.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak pernah ada lagi yang menjenguk Dafi. Anak itu besar di lingkungan penjara yang tentunya tidak mudah.
Tak ada kasih sayang orang tua. tak ada yang memperhatikan di saat sakit melanda. Bahkan tak jarang Dafi harus bertahan dari bullyan sesama napi yang usianya lebih tua.
Dafi sering dijadikan kacung. Ia juga beberapa kali terlibat perkelahian dengan sesama napi baik itu teman satu sel atau sel lain. Dari yang awalnya diam saja, Dafi mulai melawan jika dirinya memang tak melakukan kesalahan pada napi lain, dan hanya dicari-cari kesalahan. Dari yang awalnya sering babak belur, perlahan tapi pasti seiring berjalannya waktu, Dafi tumbuh menjadi sosok yang berani dan cukup disegani. Ia juga kerap membela napi lain yang mendapat bullyan dari seniornya.
Sampai suatu hari di tahun kesepuluh hukumannya ….
“Dafi. Ada yang jenguk kamu,” ujar seorang sipir yang mendatangi sel tahanan Dafi.
“Saya, Pak? Siapa?” tanya Dafi heran sambil menghampiri petugas tersebut. Beberapa teman satu selnya juga saling menatap heran saat Dafi mengikuti langkah petugas itu.
Mereka tiba di ruang jenguk. Dafi tertegun saat petugas membukakan pintu. Ia sempat bertanya-tanya, mungkinkah yang datang itu ibunya?
Tapi ternyata bukan. Karena yang datang seorang pria. Pria itu kini tengah membelakanginya.
“Lima belas menit cukup ya,” ucap petugas.
Dafi mengangguk. Di saat yang bersamaan, pria itu berbalik dan berucap, “Terima kasih, Pak.”
Dafi menoleh. Untuk sesaat ia kembali tertegun, sampai kemudian suara pintu yang ditutup petugas menyadarkannya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu datar.
Dafi mendekat. Semakin dekat, semakin jelas ingatannya akan sosok pria di hadapannya tersebut.
“Kau, kau supir itu ‘kan? Aku ingat, dan tidak akan pernah lupa. Kau supir bajing*an yang menjebakku.”
Brak!
Dafi menggebrak meja dan berjalan cepat, lalu menarik kerah pria paruh baya di hadapannya.
“Brengs*k. Mau apa kau ke sini, hah? Mau menertawakanku? Awas kau. Kalau aku bebas, kau orang pertama yang akan mendapatkan pembalasanku. Dasar, Anj*ng!” Dafi mendorong kasar pria itu hingga kepalanya hampir terkantuk dinding.
“Dafi. Ada apa ini? Jangan membuat keributan di sini,” tegas petugas yang tadi datang bersama Dafi dari ambang pintu.
“Maaf, Pak. Nggak ada pa-pa kok. Hanya salah paham,” ujar pria itu sembari memaksakan senyum pada petugas. Petugas itupun kembali menutup pintu.
Dafi menyeringai sinis pada pria yang belum diketahui namanya itu sambil berkata dengan mimik mengejek, “Salah paham katamu? Kau dan tuanmu itu telah menjebakku, membuatku terjebak di tempat ini bertahun-tahun, dan kau bilang ini sebuah kesalahpahaman?”
Brak!
Lagi-lagi Dafi menggebrak meja dengan sangat kuat, bahkan pria itu sampai terlonjak. Dafi teramat geram dihadapkan dengan orang yang menjadi awal mula kehancuran hidupnya.
“Sa-saya memang salah. T-t-tapi saya datang ke sini bukan untuk menertawakanmu. S-saya-.”
Brugh.
Pria itu tiba-tiba berlutut di hadapan Dafi yang masih menatap nyalang padanya.
“Maafkan saya. Saya juga tidak tau akan berakhir seperti ini. Saya benar-benar minta maaf,” sesalnya dengan kepala yang tertunduk sangat dalam.
Dafi terdiam. Sikap dan ucapan pria itu membuatnya perlahan mulai bisa menguasai emosinya. Dafi menarik kursi, dan meminta pria itu untuk duduk.
“Duduklah. Yang kau lakukan itu tidak ada gunanya,” ucap Dafi datar.
Pria itupun beranjak dari posisinya, lalu menarik kursi di hadapan Dafi.
“Nama saya Pendi, Den. Seperti yang Aden tau, saya seorang supir. Tapi maaf, saya nggak bisa menyebutkan nama majikan saya,” ucapnya dengan suara pelan dengan tatapan yang ditundukkan.
Dafi menyeringai sinis. Jadi pria itu datang hanya untuk meminta maaf? Ciih.
“Namaku Dafi, bukan Aden. Kalau kau datang hanya untuk minta maaf, aku tidak bisa memaafkanmu begitu saja. Aku mengerti dalam hal ini kau tidak bersalah. Tapi karena kau yang menawariku saat itu, maka kau juga harus bertanggung jawab atas semua ini. Saat aku bebas nanti, aku akan mencarimu. Kau harus memberitahuku siapa baj*ngan itu,” geram Dafi dengan tatapan yang tajam.
“Waktumu habis. Pergilah,” ucap Dafi kemudian.
“Den Dafi, orang yang telah menjebak Den Dafi ada di Biantara Group. Carilah di sana, karena setelah ini mungkin saya tidak akan hidup lagi. Sekali lagi saya minta maaf, Den. Saya benar-benar menyesal telah menjadi penyebab Den Dafi ada di sini,” ujarnya sambil menunduk sangat dalam.
Di saat yang bersamaan, petugas membuka pintu dan memanggil Dafi untuk keluar. Kening petugas itu berkerut melihat Pendi dalam posisinya tersebut.
Dafi beranjak dari kursi dengan raut bingung. Ia tak mengerti apa maksud dari ucapan Pendi.
***
2 tahun 9 bulan kemudian …..
Dafi dinyatakan bebas setelah sebelumnya mendapatkan remisi dasawarsa, yakni mendapat pengurangan 3 bulan masa tahanan. Kini usianya hampir 28 tahun. Ia bukan lagi anak remaja polos dan juga lemah. Berbekal sebuah tekad, Dafi keluar dari rumah tahanan itu.
“Biantara Group. Apapun akan kulakukan untuk menemukan baj*ingan itu di sana. Siapapun kau, akan kubuat kau membayar kesedihan di wajah ibuku.”
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 16 Episodes
Comments
Rhina sri
akhirnya dafi bebas juga. tinggal di penjara belasan tahun
2022-10-21
1
Massurya
lelet dan dikit banget updatenya thor
2022-10-19
1
jack
jangan hilang di tengah jalan ya thor💪💪💪💪💪
2022-10-16
2