"Sekarang katakan mengapa harus Jessie?" tanya Xavier setelah kembali dari fitting.
Kini kedua orangtuanya sudah duduk di hadapannya.
"Kalian sudah akan menikah, mengapa masih bertanya." Argus menyesap kopinya.
"Aku berhak tahu, Dad!" tekan Xavier.
"Mom." Xavier menatap ibunya agar menjawab. Rachel selalu menghindari pandangannya kini menatap balik.
"Karena ... Cantik?" jawab Rachel ragu-ragu.
"What! Jika hanya cantik, ada banyak diluar sana. Miranda pun cukup can—"
"Jangan menyebutnya!" Rachel melotot.
"Ck!" Xavier berdecak, "kalau begitu katakan hal yang masuk akal."
Orang tuanya tidak mungkin sembarangan memilih wanita. Jika itu Jessie, maka ia ingin tahu alasannya.
"Dia pintar, cerdas, cantik itu bonus! Dan terpenting kami menyukainya!"
"Yang akan menikah aku, Mom. Aku yang harus menyukainya!"
"Cinta datang karena terbiasa, Xavier. Kalian akan hidup bersama, jadi tenang saja." Argus angkat bicara. Orangtuanya tampaknya sudah terikat
penuh dengan wanita itu. Entah apa yang dilakukan Jessie hingga mereka begitu memihaknya.
"Bagaimana kalian mengenalnya dan dimana kalian bertemu?" Pertanyaan itu membuat Rachel berbinar.
"Kau ingat daddy mu pernah mengunjungi beberapa universitas di Finlandia?"
"Hmm ... Daddy juga mengajukan beberapa pertanyaan pada mahasiswa," jawab Xavier.
"Benar!" Rachel menjentikkan jarinya. "Semua pertanyaan yang di ajukan daddymu adalah mengenai bisnis dan tidak ada yang bisa menjawab
sempurna."
"Lalu?"
"Disanalah Jessie membuat kami kagum. Dia menjawab semua pertanyaan daddymu dengan mudah!" Rachel bangga.
Sebenarnya itu bukan pertemuan pertama mereka. Rachel hanya ingin memuji calon menantunya itu. Lagipula Xavier juga tidak tahu, kan?
"Benarkah? Karena itu?" Xavier mengangkat sebelah alisnya, "aku juga bisa melakukannya. Apa bedanya?"
"Dia bisa mengimbangimu," ucap Argus tenang, "kami percaya dia mampu menutup mulutmu." Kedengarannya agak kasar.
Mungkin tidak akan seindah bayangan mereka. Pertengkaran juga mungkin tidak terhindarkan. Biarkan itu menjadi proses dalam hubungan keduanya. Xavier yang pemarah dan Jessie yang tenang. Xavier yang keras kepala, lalu Jessie yang
penyabar. Begitulah Argus menggambarkannya.
Sifat keduanya bertolak belakang, namun saling melengkapi. Argus dan Rachel meyakini jika kelebihan Jessie dapat menutupi kekurangan Xavier, begitupun sebaliknya.
-
-
-
Pagi itu Xavier sudah berada di depan sebuah mansion berciri khas Eropa yang tak kalah besar dengan mansion utama miliknya. Bangunan bernuansa putih dengan pagar tinggi yang menarik perhatiannya.
Sekali lagi Xavier melihat ponselnya, memastikan ia tidak salah. Alamat ini diberikan oleh Rachel yang merupakan tempat tinggal Jessie.
Me
"Mom tidak salah memberikan alamat, kan?"
Rachel
"Memangnya kenapa? Kau tidak percaya itu tempatnya! Cepatlah, sebelum dia pergi."
"Cih! Memangnya dia mau kemana pagi-pagi begini," gumam Xavier memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
"Hanya seorang Manajer, tapi punya rumah sebesar ini," gerutunya, hendak menghubungi Jessie agar membuka pagar mereka untuk dia masuk.
Hari ini ia datang tanpa sepengetahuan wanita itu karena Rachel yang tiba-tiba memintanya pergi.
Baru saja hendak melakukannya, Xavier melihat Jessie keluar dengan pakaian santainya seraya membawa beberapa buket bunga dibantu oleh pelayan yang langsung memasukkan ke dalam jok belakang.
Xavier segera memundurkan mobilnya saat melihat Jessie mulai melajukan mobilnya. Mungkin ini maksud Rachel agar segera datang sebelum wanita itu pergi. Diam-diam Xavier mengikuti dari belakang.
"Dia benar-benar pergi?" Xavier terus mengikuti.
"Sedang apa dia disini?" Saat mobil Jessie berhenti di depan sebuah pemakaman.
Kali ini Jessie keluar dengan penampilan berbeda. Pakaian santainya telah ditutupi dengan mantel hitam dan kacamata hitam pun sudah dikenakannya. Jessie membawa semua buket dengan bantuan sopir masuk ke dalam sana. Xavier masih
mengikuti dari jauh.
**
Jessie bersimpuh dengan meletakkan buket bunga yang dibawanya di atas nisan yang bertuliskan Sophia Milen. Tepat disebelah makan ibunya, terdapat makam sang ayah. Jessie selalu mengunjungi makam orangtuanya setiap bulannya atau saat ia ingin bercerita.
"Aku akan menikah ... Mom, Dad."
"Kalian tahu dengan siapa? Ya, putra Rachel. Aku melakukan seperti keinginan kalian. Rencanamu berhasil!" sedikit berbisik di bagian akhir.
"Pria itu ... Dia sedikit jahat. Aku belum begitu mengenalnya, tapi sepertinya dia juga baik." Jessie terkekeh. " Bukankah ini pertemuan pertama kami?" selorohnya.
Anggap saja begitu, batin Jessie. Toh masa sudah berbeda, meski pria itu tetap sama.
"Meski tidak ada cinta, aku akan berusaha membuat pernikahan kami tidak sia-sia. Ini hanya akan menjadi pernikahan pertama dan terakhirku." Jessie
mengelus pelan nisan ibunya.
"Cobalah saling menerima di atas sana. Jangan bertengkar seperti disini. Tidak bisa bersama di dunia, kalian bisa bersama di tempat Tuhan,
kan." Jessie terus tersenyum, tidak membiarkan matanya basah walau sedikitpun.
"Jessie mencintai kalian. Doakan pernikahanku, oke?"
Tanpa berkata lagi, Jessie berdiri dari tempatnya dan pergi begitu saja.
Xavier dari jauh terus memperhatikan dengan pandangan tak terbaca. Satu hal yang semakin ia sadari, Jessie menganggap serius pernikahan mereka. Tapi wanita itu terlalu santai menanggapi setiap situasinya.
Pernikahan tanpa cinta, bahkan didasari oleh perjodohan. Tidak mungkin wanita seperti Jessie bersedia begitu saja. Wanita itu pasti menginginkan sesuatu dalam pernikahan mereka. Tapi Jessie sulit ditebak. Xavier bahkan kesulitan menentukan apakah wanita itu senang atau sedih.
"Air matanya mungkin sudah mengering!" sarkasnya masih mengawasi.
-
-
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
dewi
q juga penasaran
2023-12-02
0
Astri kurniasari
💐💐💐
2023-04-29
1
siti marfuah
terkadang lelaki memandang dgn hanya sebelah mata saja klo sudah cinta, tidak bisa menilai mana yg tulus dan mana yg hanya memanfaatkan
2022-10-30
2