Abraham sangat heran karena Vanila duduk termenung di depan jendela tanpa melakukan apa pun. Biasanya Vanila akan tidur apalagi masih pagi tapi hari ini dia tidak seperti biasanya. Ekspresi wajah Vanila juga tidak seperti biasanya.
Vanila terlihat murung, seperti ada yang dia pikirkan dan memang seperti itulah kenyataannya. Semua itu karena orang-orang yang dia yakini orang kakaknya. Dia punya firasat akan tertangkap tidak lama lagi walau dia menyangkal tapi rasa takut itu menghantui dirinya sehingga membuatnya tidak bisa tidur.
Abraham tidak ingin mengganggu tapi dia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Vanila. Walau dia tidak mau ikut campur tapi rasa ingin tahunya mengalahkan segala egonya.
Abraham menghampiri Vanila, dia juga duduk di sisi Vanila. Senyum tipis menghiasi wajah Vanila saat dia berpaling melihat ke arah Abraham namun senyum itu tidak bertahan lama.
"Ada apa? Kenapa kau terlihat murung tidak seperti biasanya?" tanya Abraham.
"Ti-Tidak ada apa-apa," Vanila berusaha tersenyum namun dia tidak bisa menyembunyikan apa yang sedang terjadi dengannya saat ini.
"Jangan menipu, Vanila. Tidak biasanya kau seperti ini, jadi katakan apa yang terjadi denganmu!"
Vanila diam saja, dia tidak menjawab sama sekali. Abraham semakin heran dibuatnya, apa Vanila tidak mau mengatakan apa pun karena mereka orang asing? Tanpa ragu Abraham merangkul bahu Vanila karena dia ingin Vanila berbagi dengannya.
Walau Vanila terlihat terkejut namun Abraham menariknya mendekat agar Vanila bisa bersandar di bahunya.
"Katakan apa yang terjadi padamu, apa kau dipecat dari pekerjaanmu?" Abraham berusaha bersikap lembut bahkan tangannya tak henti mengusap kepala Vanila.
"Tidak," entah kenapa dia jadi merasa Abraham bisa menjadi tempatnya berbagi walaupun hanya untuk sesaat.
"Lalu? Katakan padaku apa yang terjadi. Aku ada di sini untuk mendengar keluh kesahmu, Vanila. Jadi tidak perlu ragu dan berbagilah denganku," ucap Abraham. Setidaknya dia bisa berguna selama berada di sana dan bisa menjadi penghibur di saat Vanila sedang dalam masalah.
"Terima kasih, Rick."
Tangan Abraham tidak henti memainkan rambut Vanila, dia kira Vanila akan mengatakan apa yang terjadi namun nyatanya dia diam seribu bahasa. Tentunya Vanila tidak bisa berkata jujur karena dia menipu Abraham selama ini.
"Kenapa diam?" Abraham sudah menunggu namun Vanila tetap saja diam, "Apa kau benar-benar tidak mau berbagi denganku?" tanyanya lagi.
"Aku?" Vanila menunduk dan terlihat enggan.
"Mungkin aku bisa membantumu, Vanila. Selama ini aku sudah sangat baik padaku, jadi sudah saatnya aku membantu itu pun jika aku mampu."
"Aku hanya ingin sebuah kebebasan, Rick," tatapan Vanila menerawang, menatap dedaunan yang tertiup angin di luar sana.
"Maksudmu?" Abraham sungguh tidak mengerti. Apa ada yang mengekang Vanila? Tapi bukankah dia hanya seorang diri saja tanpa adanya keluarga dan sanak saudara jadi siapa yang mengekang Vanila sehingga dia menginginkan kebebasan? Dia juga bukan seorang tawanan, sungguh dia tidak mengerti dengan keinginan Vanila.
"Jika kebebasan bisa dibeli dengan uang, maka aku akan membelinya," ucap Vanila, napas berat kembali dihembuskan.
"Sejak dulu aku sangat ingin seperti seekor burung yang bisa terbang bebas ke mana pun yang diinginkan. Aku ingin seperti angin yang berhembus tanpa ada satu pun yang bisa mencegah ke mana aku akan pergi. Apalah artinya hidup jika segala sesuatu yang ingin dilakukan selalu mendapat perlawanan? Hidup seperti itu tidaklah berarti, Rick. Kau selalu diperlakukan sebagai barang berharga yang mudah pecah, apa pun yang kau lakukan selalu saja dianggap salah. Bukankah kematian lebih baik dari pada kehidupan seperti itu?"
Abraham diam, sungguh dia tidak mengerti dengan semua perkataan Vanila karena perkataan yang dia ucapkan saat ini sangat bertentangan dengan apa yang Vanila katakan selama ini padanya.
"Setiap kali aku melakukan sesuatu, aku akan selalu dianggap salah tapi jika aku melakukan apa yang mereka inginkan, aku akan mendapat pujian dan hadiah. Aku selalu diperlakukan seperti anak kecil sehingga semua yang ingin aku lakukan harus mendapatkan persetujuan. Jika tidak diijinkan, maka aku tidak boleh melakukannya. Aku hidup bagaikan di penjara karena segala sesuatu yang aku lakukan selalu salah!" Vanila menghela napas, itulah alasannya melarikan diri dari keluarganya.
Hidup dikekang bukanlah hal menyenangkan. Sebelum melarikan diri, dia selalu berusaha memberontak dan menyelinap keluar dari rumah saat malam hari untuk mencari teman. Perkataannya jika dia mantan pembalap bukanlah isapan jempol belaka karena dia adalah mantan pembalap liar di jalanan. Tentunya keluarganya mengetahui sehingga sebuah keputusan tak masuk akal mereka ambil untuk dirinya dan karena dia tidak terima, dia melarikan diri.
"Aku tidak mengerti apa maksud perkataanmu, Vanila," ucap Abraham.
Vanila tersenyum, tentu saja Abraham tidak akan mengerti. Dia benar-benar menjadi gadis nakal dan nekad karena selalu dikekang.
"Jangan dipikirkan, jangan anggap serius perkataanku."
"Apa maksudmu?"
"Itu sebuah puisi yang aku buat. Bagaimana menurutmu, puisi yang baru saja aku buat bagus atau tidak?"
"Puisi?" Abraham terlihat kesal karena dia menganggap Vanila serius.
"Yeah.. itu hanya puisi saja," ucap Vanila berdusta agar Abraham tidak curiga.
"Jangan main-main, Vanila!" ucap Abraham kesal.
"Jangan marah, Rick. Terima kasih sudah mendengarkan puisi jelekku," Vanila berpaling untuk memberikan ciuman di pipi Abraham.
"Kau? Aku kira kau benar-benar serius!"
"Aku tidak memiliki keluarga, kau ingat?"
"Ck, aku sudah serius tapi kau justru membacakan puisi!" ucap Abraham tapi dia yakin jika Vanila serius. Entah apa yang terjadi dan entah apa yang disembunyikan oleh Vanila. Gadis itu benar-benar misterius.
"Aku mau tidur," ucap Vanila. Dia hendak beranjak namun Abraham menahan tangannya.
"Aku temani!"
Vanila melihat ke arah Abrhama, begitu juga dengan Abraham. Mereka menatap satu sama lain dalam diam. Abraham menarik Vanila mendekat, tangannya sudah berada di wajah Vanila saat itu. Karena mereka sudah pernah melakukannya, mereka berciuman tanpa ragu.
Yang kali ini sedikit berbeda dari yang waktu itu, Vanila merasa ciuman yang mereka lakukan lebih berkesan. Tangan Abraham bergerak di punggungnya, dia mencoba mencari memorynya yang hilang dari ciuman yang mereka lakukan.
Wajah Vanila tersipu saat Abraham mengusap wajahnya, satu lagi kenangan yang tidak akan dia lupakan. Abraham mengajaknya berbaring di sofa panjang yang mereka duduki saat ini. Mungkin dengan memeluk Vanila di sana dia juga akan mendapatkan sesuatu.
"Tidurlah, aku akan memelukmu dan membangunkan saat waktunya sudah tiba," ucap Abraham. Tangannya tak henti memainkan rambut Vanila.
"Terima kasih," Vanila tersenyum. Semua yang mereka lakukan akan dia ingat. Usapan tangan Abraham, pelukannya yang hangat, dia pasti akan mengingatnya apalagi dia tahu jika apa yang mereka lakukan saat ini tidak akan pernah terulang kembali.
Yang akan terjadi, biarkanlah terjadi yang pasti dia akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama kebersamaan mereka seperti itu masih berlangsung karena burung dalam sangkar seperti dirinya pasti akan tertangkap dan kembali ke dalam sangkar yang tidak memberikan kebebasan untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
⸙ᵍᵏ𝗣𝗢𝗧𝗘𝗞PREDATOR 🍇🐊⃝⃟Kᵝ⃟ᴸ
Ciuman ke dua lebih terlatih yach van 😂
2022-12-04
2
Aminah Adam
lanjuut thor
2022-11-23
1
gia gigin
vanila fiks anak orang kaya yg butuh kebebasan 🤔
2022-11-17
1