Racun Petaka

Rodin menghitung uang yang ada ditangannya, “Tiga juta rupiah,” mulut lelaki yang berusia sekitar lima puluh tahun itu menyunggingkan senyum. Uang sebanyak itu cukuplah untuk biaya hidupnya satu bulan, pikirnya dalam hati.

“Widiih, Ayah banyak uang nih,” satu suara terdengar, yang berasal dari bibir merah merona seorang wanita cantik yang baru keluar dari kamar. Mata wanita yang hanya mengenakan baju tidur itu tak berkedip menatap lembaran uang di tangan Rodin.

Lelaki paruh baya itu menoleh, “Kupikir kau sudah tidur Mah.”

“Ya tadinya Neneng mau tidur Yah, tapi nungguin Ayah kok nggak muncul-muncul di kamar, eh taunya lagi ngitung duit buat belanja Neneng,” sambung si  perempuan sembari duduk di samping Rodin, dan melendotkan tubuhnya di tangan lelaki itu.

Melihat ulah sang isteri Rodin menggeleng-geleng, “Iya-iya, jangan khawatir, nanti ayah kasih buat Mamah belanja.”

Si perempuan girang, tangannya tiba-tiba nyelonong menyambar uang di tangan Rodin. “Hey!” Kejut Rodin. “Jangan semua Mah!”

Sang isteri tak menghiraukan sang suami, ia cepat bangkit dari duduknya, dengan pantat yang sengaja digoyang-goyangkan melenggak-lenggok kiri dan kanan menuju ke kamar, di depan pintu ia berhenti, palingkan wajah pada sang suami yang tampak gusar. “Iya iya Yah, gak semua kok, tapi Neneng yang bagi… ayoh sini Yah,” ujarnya centil sambil mengipas-ngipaskan lembaran uang ditangannya.

Geleng-gelengkan kepala sesaat, Rodin bangkit dari duduknya, menyusul isterinya ke kamar.

Warung Kopi Mang Duloh cukup ramai siang itu, beberapa orang tampak syik menikmati kopi sambil makan gorengan. Salah satu diantara pengunjung tak lain adalah Rodin. Ia tengah bercakap-cakap dengan lelaki sebayanya.

“Jadi gimana Din? Itu si Wati berulangkali menanyakan padaku, sudah hampir tiga bulan  semenjak ritual pembersihan sampai sekarang dia bilang nggak ada hasilnya, padahal kamu sendiri yang menjanjikan, kalau sebulan aja dia gak dapat pasangan, itu uang mahar bakal dipulangin,” kata kawan Rodin yang bernama Sayuti itu.

Rodin mengelus-ngelus jenggotnya yang hanya tumbuh beberapa helai, ia ingat si Wati, salah satu pasien yang di bawa oleh rekannya beberapa bulan lalu, “Maksudnya gimana Ti? Dia minta ritual ulang? Kalau memang gitu biar nanti kuatur waktunya.”

Sayuti menyeruput kopi di gelasnya. Kepalanya menggeleng, “Ah, nggak konsentrasi kamu Din, tadikan sudah kubilang, itu si Wati gak puas dengan hasilnya, dia bilang pokoknya minta balikin uang maharnya, minimal separuhnya jugak gak pha-pha.”

“Waduh, kok gitu?” ucap Rodin setengah bingung.

“Ya habis gimana? Sudah bolak-balik dia kerumahku, kukatakan sabar-sabar, kalau sudah jodoh pasti nanti gak kemana, ya tapi gitulah, dia udah kecewa berat, intinya dia ingin uang mahar dikembalikan, titik.”

Ucapan Sayuti yang terakhir membuat Rodin berpikir lama. Ah sial betul! Kenapa juga ketemu pelanggan ribet macam si Wati. Semenjak secara tak resmi membuka praktik spiritual, belum pernah dia alami kejadian semacam ini. Walau memang dia sendiri sebenarnya tak menguasai sedikitpun kemampuan spiritual, kemampuannya selama ini hanyalah sebagai pemijat saja, tapi dikarenakan sering ketemu pasien yang punya berbagai masalah-masalah yang menyangkut rejeki dan perjodohan, maka iseng-iseng dia mengaku bisa membantu secara kebatinan. Istilahnya membuka auralah, biar lancar rejeki dan jodohnya.

“Din, bagaimana?” tegur Sayuti saat dilihatnya sang kawan diam cukup lama.

“Eh, iya Ti, tengah kupikirkan dulu, maksudku, aku sedang meraba pokok penyebab si Wati belum dapat jodoh,” diminumnya kopi yang telah dingin miliknya, kemudian memandang kawannya dengan sungguh-sungguh. “Masalah mengembalikan mahar itu mah urusan gampang, gini saja, kau berilah aku nomor si Wati, biar aku sendiri nanti yang akan bicara dengannya," lanjutnya kemudian.

Tak mau panjang lebar, Sayuti mengambil handphone di sakunya, kemudian menyebutkan nomor yang lantas dicatat Rodin di secarik kertas karena lelaki itu lupa membawa ponselnya.

Selepas dari warung kopi Rodin langsung pulang, sesampai di rumah tak ditemuinya sang isteri. Mungkin sedang ke warung atau main tempat tetangga. Ah biarlah. Neneng adalah isterinya yang kedua, ia nikahi kurang lebih setahun lalu setelah di tinggal mati isteri pertama. Usianya terpaut cukup jauh dengannya, karena itu terkadang masih sering kumpul-kumpul dengan tetangga ketimbang berdiam diri di rumah.

Lelaki paruh baya itu kemudian berjalan kearah kamar mandi, dicucinya muka dan kaki, niatnya ingin tidur siang untuk meredakan pikirannya yang tengah kusut. Namun waktu keluar dari kamar mandi pandang matanya tertumpu pada sebuah botol yang ada di rak depan kamar mandi. Obat Pembasmi Rumput.

Entah darimana datangnya, sebuah gagasan masuk begitu saja kebenaknya. Ya, tak mungkin ia kembalikan uang mahar si Wati yang jumlahnya lumayan banyak itu, darimana uangnya? Membujuknya juga tak mungkin, nyata tadi Sayuti bilang si Wati sudah tak percaya dengannya. Jadi satu-satunya jalan menyelesaikan permasalahnya adalah dengan membungkam si Wati. Ya! Obat pembasmi rumput itulah jawabnya. Mendapat pemikiran seperti itu hatinya menjadi tenang.

Esoknya Rodin sibuk menggali tanah di belakang rumah. Isterinya bertanya untuk apa lubang itu. “Buat comberan Mah!” jawabnya. Untung sang isteri langsung percaya. Begitu kedalaman lubang sudah di rasa cukup, Rodin menghentikan kerjanya. Setelah membersihkan diri, ia masuk ke ruang tengah, iserinya terlihat sedang menonton acara televisi.

“Mah, bukannya kau sudah lama tak kerumah orang tuamu? Sekali-kali kunjungilah mereka, kasihan sudah tua,” buka suara Rodin, sambil mengelap wajahnya dengan handuk.

Istrinya memalingkan wajah kearah sang suami, “Tumben Yah? Biasanya Ayah paling keberatan kalau Neneng mau pulang.”

“Iya sih Mah, tapi kupikir-kupikir sudah lama kau tak pulang, tak tega juga dengan orang tuamu. Apa kau tak kangen  ingin menjenguk mereka?”

“Ya jelas kangen Yah, kalau memang boleh, tentu Neneng pengen menjenguk orang tua Yah.”

Rodin senang dengan jawaban isterinya, “Ya udah Mah, besok kuantar kau ke terminal, buat jenguk orang tuamu.”

“Lho? Kok cuman diantarnke terminal? Memang Ayah gak ikut gitu?”

“Maunya aku ikut, tapi Ayah ada kerjaan penting, lain kali pasti Ayah ikut.”

Isterinya tampak memikir sejenak, “Ya udah Yah, yang penting jangan lupa beliin buat oleh-oleh.”

Terminal kota tak terlalu jauh dari tempat Rodin tinggal, dengan motor ia antar isterinya, tak lupa juga mampir ke pasar terlebih dahulu untuk beli oleh-oleh. Dengan setia ditungguinya sang isteri sampai bus yang akan ditumpanginya berangkat. Begitu bus yang di naiki isterinya telah berangkat, Rodinpun kembali kerumah.

Sesampai di rumah, lelaki itu masuk ke dalam kamar, di carinya kertas yang kemarin tertuliskan nomor telepon dari sohibnya si Sayuti. Diambilnya handphone miliknya di atas meja, kemudian ia tekan nomor yang tercatat di kertas itu.

“Halo, siapa ini?” satu suara perempuan terdengar di seberang sana.

“Saya Rodin, betul ini dengan Non Wati?”

“Oh Pak Rodin, iya Pak, ini saya Wati, ini Pak Rodin yang ahli mengobati itukan?”

“Betul Non.”jawab Rodin.

“Rupanya Pak Sayuti sudah menghubungi Bapak ya?”

“Iya, Pak Sayuti memang sudah berbicara dengan saya menjelaskan semuanya, tentang permasalah Non Wati.”

Agak lama baru jawaban terdengar dari lawan bicaranya, “Iya Pak, saya cuma menagih janji yang bapak sampaikan waktu itu. Nggak semua nggak pha-pha Pak, separuhnya aja.”

“Itulah makanya saya telepon Non Wati, ini itikad baik saya, urusan uang mahar jangan khawatir, akan saya kembalikan, tanpa kurang satu senpun, bahkan rencana saya akan memberikan ritual pembersihan ulang, gratis tanpa dipungut biaya.” Ucap Rodin panjang lebar.

“Oh tak usah repot-repot Pak.” Balas lawan bicaranya.

“Tidak merepotkan, ini semua menyangkut nama baik saya, Non Wati jangan sungkan sama sekali.”

“Baik Pak, tapi bagaimana mengenai pengembalian mahar itu? Apakah akan Pak Rodin transfer?”

“Langsung cash aja mbak, saya akan pulangkan uang itu.”

“Dimana Pak?"

“Non Wati kemari saja selepas Isya’, seperti saya sampaikan tadi, selain memulangkan uang mahar, saya akan memberikan ritual pembersihan gratis.”

Kembali lawan bicaranya diam beberapa lama, “Iya Pak, baik kalau begitu.”

“Seperti saya sampaikan tadi mbak, ini menyangkut nama baik saya, pokoknya Non Wati kemari saja, yang penting datang sendiri saja, karena nanti ada ritual yang tentu bersifat rahasia Non.”

“Terimakasih Pak, iya, nanti saya akan ke rumah Pak Rodin.”

Seusai percakapan di telepon Rodin kebelakang, mengambil botol obat pembasmi rumput, dan menaruhnya di dekat termos air panas agar tak terlupa.

Waktu berjalan, siang berganti sore, dan sorepun beranjak malam. Rodin dengan setia menunggu kedatangan tamunya sambil nonton acara televisi.

Tok! Tok!  Pintu depan di ketuk, dan sebuah salam terdengar. Lelaki paruh baya itu bangkit dari tempatnya menuju ruang depan.

“Pak Rodin.” terdengar suara perempuan memanggil.

“Iya sebentar.” Rodin membuka pintu, diluar seorang gadis berambut pendek berdiri sambil tersenyum dan anggukkan kepala, “Malam Pak.”

“Oo Non Wati, mari-mari masuk.” Dengan ramah dipersilahkannya sang tamu duduk di kursi.

Dengan sopan pula sang tamu duduk. “Lama menunggu Pak?”

“Tidak, sama sekali tidak, Non Wati datang sesuai waktunya.” Jawab Rodin.

Si tamu memandang kearah ruang tengah, “Ibu kemana Pak?”

“Ibu sedang pulang kampung, lama tak menjenguk orang tua, kangen katanya.”

Wati mengangguk-angguk.

“Sebentar ya mbak Wati, saya buatkan minum dulu.”

“Tak usah Pak, malah merepotkan,” cegah Wati.

Lelaki itu tertawa renyah, “Jangan merasa tak enak, lagipula cuma minum ini.”

Dengan langkah cepat Rodin ke ruang makan, di raciknya kopi, plus di tambah dengan sedikit cairan obat pembasmi rumput yang ada di dekat termos, tak lupa di aduknya kembali dengan merata. Setelah selesai bergegas ia bawa keruang tamu. Disuguhkannya kopi itu pada Wati.

Beberapa lama diajaknya ngobrol tamunya itu, ternyata Wati menolak secara halus saat ia menawarkan diri untuk melakukan ritual ulang. Setelah diperkirakan kopi sudah tak terlalu panas, Rodin meminta tamunya meminum kopi. “Ayo silahkan diminum.”

“Bapak sendiri tak minum?” Tanya Wati saat di sadari tuan rumah hanya membuat satu kopi.

Rodin mengelus perutnya. “Tadi sudah satu gelas bapak habiskan, ayo silahkan jangan sungkan, sehabis minum, nanti bapak ambilkan uang Non Wati.”

Wati meminum kopi seteguk, dahinya mengerenyit.

“Agak pahit ya?” Tanya Rodin. Tamunya mengangguk pelan.

“Ah, pasti pasti kurang gula tadi, apa perlu di tambah gulanya?”

“Tidak usah pak,” ujar Wati dan meminum kembali kopi di gelasnya, sepertinya gadis itu ingin cepat menyelesaikan urusan dengan Rodin.

Rodin tersenyum saat dilihatnya kopi diminum separuhnya. Si gadis menaruh gelas dan memegangi kepala. “Kenapa Non?” tanyanya pura-pura khawatir.

“Tidak apa, hanya sedikit pusing Pak.”

“Ya udah, kalau gitu bapak segera saja ambilkan uangnya,” selesai berucap Rodin masuk kedalam seakan betulan hendak mengambilkan uang. Tapi yang dilakukannya bukan mengambil uang, malah duduk diam menunggu di dalam kamar.

Beberapa lama kemudian terdengar suara memanggil, “Pak.. Pak Rodin... tolong saya Pak...”

Rodin keluar dari kamar, dilihatnya perempuan yang jadi tamunya itu  bersandar di tempat duduknya, tangannya terangkat seakan hendak menggapai, dari bibirnya keluar cairan seperti busa.

“Pak…” terdengar panggilan lemah, tubuh perempuan itu mengejang-ngejang, busa semakin banyak keluar dari mulutnya.

Lelaki paruh baya itu membiarkan saja, ia malah keluar, dilihatnya motor milik si tamu, diambilnya kunci dan mendorong perlahan motor itu masuk kedalam, selanjutnya dengan cepat dikuncinya pintu depan.

Si tamu sudah tak mengejang lagi, diam tak bergerak, menandakan racun sudah merenggut nyawanya.

Dengan hati-hati di angkatnya tubuh tak bernyawa itu, ditaruhnya dilantai. Rodin masuk ke kamar, diambilnya sebuah kain seprai yang menurutnya sudah lama tak terpakai dari lemari, dan dibungkusnya mayat Wati dengan kain tersebut. Setelahnya ia seret tubuh si gadis kearah belakang, menuju pintu keluar.

Sampai diluar terus di seretnya tubuh itu, hingga sampai di lubang yang kemarin ia gali. Dengan sedikit susah payah dimasukannya tubuh Wati kedalam lubang, setelah seluruh badan masuk, diambilnya cangkul dan menimbun lubang itu dengan tanah.

Nafas Rodin ngos-ngosan saat selesai menimbun lubang, maklumlah umurnya sudah tak muda lagi. Di kembalikan cangkul di tempatnya, dibersihkan tubuh di kamar mandi dan berganti pakaian.

Lelah luarbiasa membuat ia memutuskan merebahkan badan di kasur. Dan tak berapa lama Rodin terlelap.

Entah berapa lama ia tertidur, lelaki itu terbangun karena mendengar suara perempuan seperti memanggilnya. Istrinya sudah pulang?? Pikirnya. Dengan sedikit linglung Rodin bangun. Dengan langkah terhuyung karena masih mengantuk di tujunya pintu depan.

Pintu depan dilihatnya terbuka. Oh, berarti isterinya memang sudah pulang. Ditengoknya keluar. Gelap. Menandakan hari masih malam. Loh? Kenapa isterinya pulang malam-malam begini? Dipegangnya tengkuknya yang agak pegal. Lantas kemana isterinya sekarang?

Ditutupnya pintu depan. Kakinya melangkah kebelakang, ia menduga mungkin isterinya ada di kamar mandi. Sampai di kamar mandi dilihatnya pintu belakang terbuka, satu sosok tubuh perempuan ada di pintu menghadap keluar.

“Mah? Kenapa disitu? Masih malam kok sudah pulang, ayoh masuk,” tegur Rodin.

Yang ditegur diam saja, Rodin mendekat ditepuknya pundak perempuan itu, “Ayoh Mah, masuk.”

Dengan perlahan tubuh perempuan itu berbalik. Saat melihat wajah perempuan yang ada di depannya Rodin tercekat, yang ada di depannya itu bukan wajah isterinya, tapi Wati! Perempuan yang sore tadi dikuburkan karena mati diracun olehnya.

“Ka.. Kauu…” Lidah Rodin terasa kelu, dilihatnya sosok perempuan didepannya itu memegang sebuah gelas. Gelas berisi kopi yang tinggal separuh. Rodin ingin melangkah mundur, tapi kakinya kaku bagai terpatri. Sosok perempuan didepannya tersenyum, tapi bagi lelaki paruh baya itu senyuman yang diihatnya bagai senyuman pengantar maut. Tangan kiri sosok perempuan itu terangkat, memegang rahang Rodin, sedang tangan kanannya menyodorkan gelas berisi kopi.

“Ayoh Pak... diminum... jangan sungkan-sungkan...” satu suara datar terdengar.

Tak berdaya mulut Rodin terbuka di tekan tangan yang sedingin es, kopi yang tinggal separuh itu dipaksa masuk ketenggorokan Rodin.

Lelaki itu tersedak, matanya mendelik, tak berapa lama busa keluar dari mulut, dan tubuhnya mengejang liar.

Sekian.

Episodes
1 Kerinduan Malam
2 Bisikan Sumur Tua
3 Teror Keris Terkutuk
4 Pembalasan Tengah Malam
5 Tetangga Baru
6 Itu Bukan Aku Mas
7 Rahasia Sang Penulis
8 Menangkap Hantu Penunggu Sekolah
9 Misteri Tertawa Hantu
10 Batu Titipan
11 Menghantar Nyawa
12 Penghuni Hutan Tengkorak
13 Tapak Tapak Iblis
14 Tangan Kekasih
15 Bayang Bayang Maut
16 Bayang Kerinduan
17 Racun Petaka
18 MISTERI RIMBA BARA: Tersesat
19 MISTERI RIMBA BARA: Lelaki Tua Bertongkat Kristal
20 MISTERI RIMBA BARA: Kisah Rimba Bara
21 MISTERI RIMBA BARA: Keluarga Pengembara
22 MISTERI RIMBA BARA: Menyelamatkan Si Jabrik
23 MISTERI RIMBA BARA: Penuturan Sang Penjaga
24 MISTERI RIMBA BARA: Serangan di Tengah Malam
25 MISTERI RIMBA BARA: Keluarga Harimau Perak
26 MISTERI RIMBA BARA: Penakluk Iblis
27 MISTERI RIMBA BARA: Kabar Garis Persaudaraan
28 MISTERI RIMBA BARA: Rencana Para Iblis
29 MISTERI RIMBA BARA: Penguasa Pedang Kosmos
30 MISTERI RIMBA BARA: Kekacauan di Hunian Cakra Dewa
31 MISTERI RIMBA BARA: Malam yang Menentukan
32 MISTERI RIMBA BARA_ Menumpas Para Iblis
33 Berburu Hantu
34 Misteri Hantu Pocong di Rumah Kosong
35 Misteri Kematian Tak Wajar
36 Jangan Percaya Cerita Horor!
37 Cerita Horor Pendek 01
38 Cerita Horor Pendek 02
39 Kamar yang Terkunci
40 Patung Hitam
41 Rahasia Gambar Ular
42 Misteri Nomor yang Hilang
43 Sesosok Tubuh di Pojok Kamar
44 Di Bedakin
45 Di Bedakin 2
46 Misteri Warna Merah di Kamar Sonja
47 Jasa Si Penambal Ban
48 Misteri Cakar Naga
Episodes

Updated 48 Episodes

1
Kerinduan Malam
2
Bisikan Sumur Tua
3
Teror Keris Terkutuk
4
Pembalasan Tengah Malam
5
Tetangga Baru
6
Itu Bukan Aku Mas
7
Rahasia Sang Penulis
8
Menangkap Hantu Penunggu Sekolah
9
Misteri Tertawa Hantu
10
Batu Titipan
11
Menghantar Nyawa
12
Penghuni Hutan Tengkorak
13
Tapak Tapak Iblis
14
Tangan Kekasih
15
Bayang Bayang Maut
16
Bayang Kerinduan
17
Racun Petaka
18
MISTERI RIMBA BARA: Tersesat
19
MISTERI RIMBA BARA: Lelaki Tua Bertongkat Kristal
20
MISTERI RIMBA BARA: Kisah Rimba Bara
21
MISTERI RIMBA BARA: Keluarga Pengembara
22
MISTERI RIMBA BARA: Menyelamatkan Si Jabrik
23
MISTERI RIMBA BARA: Penuturan Sang Penjaga
24
MISTERI RIMBA BARA: Serangan di Tengah Malam
25
MISTERI RIMBA BARA: Keluarga Harimau Perak
26
MISTERI RIMBA BARA: Penakluk Iblis
27
MISTERI RIMBA BARA: Kabar Garis Persaudaraan
28
MISTERI RIMBA BARA: Rencana Para Iblis
29
MISTERI RIMBA BARA: Penguasa Pedang Kosmos
30
MISTERI RIMBA BARA: Kekacauan di Hunian Cakra Dewa
31
MISTERI RIMBA BARA: Malam yang Menentukan
32
MISTERI RIMBA BARA_ Menumpas Para Iblis
33
Berburu Hantu
34
Misteri Hantu Pocong di Rumah Kosong
35
Misteri Kematian Tak Wajar
36
Jangan Percaya Cerita Horor!
37
Cerita Horor Pendek 01
38
Cerita Horor Pendek 02
39
Kamar yang Terkunci
40
Patung Hitam
41
Rahasia Gambar Ular
42
Misteri Nomor yang Hilang
43
Sesosok Tubuh di Pojok Kamar
44
Di Bedakin
45
Di Bedakin 2
46
Misteri Warna Merah di Kamar Sonja
47
Jasa Si Penambal Ban
48
Misteri Cakar Naga

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!