Bagas sibuk mengumpulkan kayu-kayu kering dan mulai menyalakannya. Hari sudah menjelang malam, matahari hampir seluruhnya tenggelam di ufuk barat. Ia harus memastikan mereka terlindungi nyala api malam ini, kalau tidak, keselamatan mereka akan terancam.
Yah, sudah empat hari ia dan rombongan berkutat di hutan ini. Perjalanan menjelajah hutan yang semula di harapkan dapat menghilangkan beban penat suasana perkotaan dimana mereka tinggal, malah terjadi sebaliknya. Teror Maut! Itu yang terjadi. Semenjak beberapa hari ini beberapa rekannya di temukan mati dengan cara mengerikan. Bagaimana tidak mengerikan, mati dengan lidah terjulur dan leher membiru, amatlah mengerikan bagi Bagas. Apalagi tubuh rekan-rekannya yang di mangsa maut terlihat pucat layu, seakan seluruh darah yang ada di tubuh mereka terhisap habis.
Apakah dua tanda hitam dileher yang ia lihat di jasad rekan-rekannya itu bekas gigatan? Cara kejam sang pembunuh menghisap darah korban? Pikir Bagas. Kontan tengkuknya meremang memikir sampai disitu.
Menyibukkan diri si pemuda kembali melempar kayu-kayu ke api unggun yang dibuatnya. Hanya itu harapan mereka bertahan, jangan sampai terjebak dalam gelapnya malam, karena tiap kali rekannya terbunuh, pada saat tak ada nyala api yang menjaga, dan selama ada nyala api, sudah ia buktikan tak ada apa yang terjadi.
Bagas memandang ke arah teko logam yang ada di samping tas ranselnya. Apa sebaiknya ia menjerang air untuk membuat minuman penghangat sekarang? Ataukah menunggu dua rekannya kembali.
Ah, ya.. heran juga ia, kenapa Cipto dan gadis itu belum kembali juga? Bukannya tadi mereka bilang tidak lama? Hanya mengambil kain si gadis yang tertinggal di tepi sungai waktu mandi? Tiba-tiba muncul kecemasan di dada si pemuda. Pandang matanya menatap ke arah semburat jingga di arah barat, suasana di sekitarnya sudah remang-remang di selimuti bayang-bayang gelap.
Mencoba menghilangkan kecemasan, si pemuda mengalihkannya dengan mengambil teko logam itu, dan mulai nenuangkan air bersih di dalamnya. Belum terlalu gelap, ia yakin sebentar lagi kawannya itu akan muncul.
Baru saja ia menaruh teko di atas api, tiba-tiba di dengarnya satu teriakan dari kejauhan. "Aaaakhh..!"
Kejut bukan kepalang si pemuda. Dadanya berdentang bagai di pukul palu. Cipto! Pekiknya dalam hati. Matanya kontan liar, dan tertuju pada sebongkah batang kayu kering yang terbakar di depannya. Dalam kalut, ia raih batang itu, karena itulah satu-satunya senjatanya mengusir teror bayangan maut.
Begitu batang tergenggam, ia berlari ke arah asal teriakan. Cukup ia kehilangan kawan-kawannya, ia yang semula berlima kini tinggal berdua, maka tak nanti ia tahu nasibnya bila satu kawannya yang tersisa itupun mati di renggut oleh sang maut.
Si pemuda sempat terantuk, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa pedih yang di deritanya, diterjangnya semak-semak yang menghalang dengan nyala api di tangan.
Oh..! Satu pekik nengejutkannya, sesosok tubuh ramping yang berlari dari arah depan melompat kesamping menghindarinya.
Ia menoleh, "Sumini! Mana Cipto!" Teriaknya pada gadis berpakaian putih itu. Si gadis terguguk sambil menutupi wajahnya, tapi tangannya menuding ke arah semula ia berlari.
Mata Bagas mengikuti arah yang di tunjuk si gadis. Ia kembali langkahkan kaki dengan cepat. Tetap dengan kukuh menggenggam batang kayu dengannapi yang menyala.
Tak jauh dari situ, dilihatnya sesosok tubuh terbujur. "Cipto!" Teriaknya histeris. Ia melompat menghambur, dilemparnya batang kayu. Segera ingin ia periksa kondisi kawannya itu.
Hampir ia menjerit histeris kedua kali begitu melihat kondisi rekannya. Mati. Tubuh rekannya telah layu lunglai, dengan mata melotot dan lidah terjulur.
"Ohh Cipto..." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sesaat di dekapnya tubuh kawannya. Rasa sedih kini lebih besar dari rasa takut. Si pemuda tak malu-malu sesenggukan meratapi kematian kawannya.
Setelah beberapa lama bersimpuh sambil memeluk jasad rekannya, kepala pemuda itu terangkat, suasana di sekelilingnya makin gelap, beruntung, rembulan menunjukkan wajahnya, hingga sinarnya membantu pandangan mata si pemuda.
Diusapkan telapak tangan kewajah kawannya, agar mata rekannya yang terbuka menjadi tertutup. Kemudian diempos semangatnya untuk memondong mayat itu. Ia akan membawanya ke dekat perapian, besok pagi baru akan di kuburkannya.
Dengan langkah perlahan disusurinya kembali jalan yang semula ia tempuh, belum lama ia berjalan, di depan dilihatnya sesosok tubuh dengan kain putih. Berdiri di bawah sinar rembulan, dengan rambutnya yang panjang, dan kedua tangan menutupi wajah.
Sumini. Ah, mengapa ia baru ingat dengan gadis itu, untunglah ia tak kenapa-kenapa. Rasa cemasnya tadi membuat ia begitu saja meninggalkan si gadis.
Memang Sumini bukanlah kawan satu perjalannya, ia dan kawan-kawannya menemui gadis itu di hutan ini, tersesat katanya. Seorang gadis cantik yang pendiam. Mungkin saja sebelumnya Sumini sama dengan dirinya. Masuk kehutan bersama rombongannya, dan mengalami kejadian yang serupa dengan dirinya. Di teror oleh bayang-bayang maut. Yah, bisa jadi itulah yang dialami si gadis, hingga masih shock, dan trauma sehingga jarang bicara.
Dan apes baginya, mengikuti ia dan kawan-kawan, dan harus melihat dan mengalami kembali kejadian-kejadian mengerikan.
Beberapa langkah dari si gadis. Bagas membaringkan jasad Cipto di atas tanah. Kemudian ia melangkah mendekati Sumini. Saat ini ada baiknya ia berbicara untuk menghibur dan menguatkan si gadis, bagaimanapun pasti ia masih takut, karena melihat satu kejadian mengerikan di depan matanya.
Begitu sampai di depan si gadis, tangan Bagas secara refleks membelai rambut sang gadis, mulutnya membuka, "Jangan takut Sumini, masih ada aku di sini, aku berjanji akan melindungimu," ucapnya lembut.
Si gadis tak membalas ucapnya, ia hanya mengangguk-angguk.
"Hari sudah beranjak malam, baiknya kita kembali ke tempat semula kita akan bermalam," ucap si pemuda lagi membujuk.
Si gadis kembali mengangguk-angguk, dan bahkan kini disertai dengan tertawa lirih. Bagas mengerutkan kening. Apakah gadis ini terlalu berat menahan beban kejadian yang barusan dialaminya? Pikir si pemuda. Bisa jadi demikian, seperti juga dirinya, ia sendiri malah sudah tidak peduli dengan bayang-bayang ketakutan yang menghantuinya. Batas takut sudah dilampaui, yang muncul kini keberanian, dan ia bertekad akan mengahadapi segala makhluk yang telah mencabut nyawa rekan-rekannya.
Di belainya kembali rambut panjang si gadis. "Oh, Sumini, cukuplah beban berat kau rasa, semua ini pasti berlalu, dan kita akan baik-baik saja."
Kembali gadis itu tertawa lirih. "Sumini? Kau kenapa?" Gusar kini si pemuda. "Bukalah wajahmu, dan lihatlah aku, yakinlah kita akan selamat."
Si gadis hentikan tawa, dengan perlahan membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya. Bagas tersenyum karena bujukannya akhirnya membuahkan hasil. Tapi sesaat kemudian senyum raib dari bibirnya, ia terperangah melihat wajah si gadis.
Kini ia bisa melihat jelas wajah di depannya, namun bukan wajah yang ia harap untuk dilihat. Seraut wajah putih pucat yang terpampang. Dan matanya, matanya berwarna putih keseluruhannya, dari semua itu, yang membuat si pemuda menjadi tak mampu untuk bernafas adalah pada bagian mulutnya, mulut itu menyeringai keji, memperlihatkan gigi yang tajam dengan dua taring yang mencuat panjang.
"Bukankah kau ingin melihat wajahku Kak Bagas?" Suara serak keluar dari mulut si makhluk.
Pemuda itu terkunci mulutnya, wajahnya pias diliputi rasa takut yang seperti di gelontorkan begitu saja. Ia tak mampu bergerak. Hanya fikirannya yang masih mampu melintaskan angan. Rupanya gadis itu makhluk iblis si pemangsa maut yang selama ini melakukan teror! Pantas Sumini selalu menghilang di kala siang dan menghindari perapian saat malam, dengan alasan tidak terbiasa dengan silaunya cahaya, begitu bodohnya mereka tak menaruh curiga. Sayang semua telah terlambat.
Kini dua tangan si makhluk terangkat cepat menuju leher Bagas. Dan mencekiknya dengan keras. Si pemuda tak berdaya, lidahnya terjulur menahan sakit. Selanjutnya hujaman dua taring tajam pedih merobek kulit lehernya.
Selesai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments