Lelaki bertubuh tinggi besar itu berjalan lambat memasuki sebuah ruangan, tangan kanannya memanggul sebuah golok berlumur darah, tangan kirinya tampak menyeret sesuatu. Sesosok tubuh. Tubuh satu manusia yang tak bernyawa.
Ruangan itu lembab, dengan dinding dipenuhi lumut hijau, sebuah meja panjang terbuat dari batu ada di tengah ruang.
Pemandangan mengerikan terpampang di sebelah kiri. Berjejer kait-kait besi. Mayat-mayat manusia dengan bentuk tubuh penuh luka yang tak keruan tergantung di sana. Bau amis dan busuk memenuhi segenap ruang.
Brukk!
Dengan keras lelaki itu melempar sosok mayat manusia yang diseretnya ke atas meja batu. Senyuman aneh menghias wajahnya yang penuh goretan bekas luka. Tangan kanannya yang memegang golok terangkat tinggi. Crakk!
***
Di bawah lereng sebuah tebing, tampak dua orang lelaki tengah berjalan menyusuri jalan setapak. Yang satu memakai baju berwarna abu abu, sedangkan temannya mengenakan pakaian serba biru. Dua duanya membekal sebuah pedang di pinggang. Menilik dari pakaian yang mereka kenakan, bisa ditebak mereka bukan orang sembarangan, setidaknya memiliki kepandaian silat.
"Kakang yakin akan melewati Hutan Tengkorak?" Tanya si baju biru sembari tetap mengayunkan langkah.
"Kenapa Sura? Kau seperti ragu?" Balik tanya lelaki berbaju abu-abu berkumis tebal.
Sura terlihat seperti merenung. "Kau terpengaruh dengan cerita orang-orang di desa yang barusan kita lewati? Dan kini kau merasa takut?" Cecar si baju abu.
"Bukannya aku takut kakang Praba, tapi bukanlah lebih baik menghindari bahaya kalau tahu kemungkinan ancaman menghadang."
Si baju abu-abu yang dipanggil Praba tertawa mendengar alasan Sura. "Sudahlah Sura, jangan terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti, kau tahu sendiri, hutan di depan kita itu jalan tercepat menuju Kadipaten."
Kedua pemuda yang tengah menempuh perjalanan merupakan saudara seperguruan. Tujuan mereka ke kota kadipaten ialah ingin mengadu nasib bekerja menjadi bagian anggota pasukan kadipaten. Dengan berbekal kepandaian yang mereka dapat selama berguru beberapa tahun, besar keyakinan mereka untuk di terima.
Lewat tengah hari, langkah kaki mereka mulai memasuki kawasan yang di kiri kanan menjulang pepohonan.
"Ada baiknya kita istirahat sejenak Kakang, perutku sudah mulai keroncongan minta di isi." Ujar Sura.
Praba mengangguk, perjalanan merekapun masih jauh, sekalipun berlari, tak lantas mereka akan sampai ditempat tujuan. Perkiraan Praba, sekitar dua harian barulah mereka sampai di kota kadipaten.
Sembari menyantap bekal makanan yang mereka beli di desa Tunggul Waru pagi tadi, mata Sura tak henti-henti memandangi pepohonan yang tumbuh lebat di sekitar mereka. Pantas penduduk enggan melintasi hutan ini, selain suasananya yang terkesan menakutkan, jalanan yang dilaluipun makin lama makin mengecil batinnya.
Beberapa lama kemudian kembali mereka lanjutkan langkah melintasi hutan, hanya sesekali mereka bercakap, sepertinya keduanya larut dengan pikiran masing-masing, dan berwaspada akan segala kemungkinan yang mungkin mereka hadapi.
Pagi tadi, saat mampir di sebuah warung makan di desa Tunggul Waru, pak tua pemilik warung sebenarnya sangat melarang mereka berdua untuk menempuh jalan melintas hutan, walau diakui jarak tempuhnya lebih dekat bila menuju kadipaten, tapi hutan itu terkenal berbahaya. "Bahaya ngger, hutan itu terkenal angker, tiap kali ada yang masuk ke hutan, pasti tak pernah lagi terdengar kabar beritanya, mungkin itulah mengapa di beri nama Hutan Tengkorak," ucap si pemilik warung waktu itu.
Tak terasa hari menjelang sore, matahari tak lama lagi akan tenggelam di ufuk barat. Suasana di sekeliling mereka yang dipenuhi pepohonan menggelap.
Sura menoleh ke arah kakak seperguruannya seakan tanda meminta pertimbangan.
Praba maklum dengan pandangan Sura. "Baik, kita beristirahat di sini malam ini." Langkah kaki Praba menghampiri sebuah pohon beringin besar di tepi jalan, di henyakkan pantatnya di atas akar pohon yang menyembul di atas tanah.
Pemuda berbaju biru mengikuti langkah kakaknya, ia taruh buntalan yang sedari tadi ia bawa, lantas dengan cekatan ia mencari-cari batang dan ranting kayu di sekitar mereka berada, bakal api unggun nanti malam.
***
Bulan bulat tampak malam itu, cahayanya yang keperakan menerobos dengan susah payah diantara rimbunnya dedaunan hutan.
Tak jauh dari tempat Praba dan Sura bermalam. Berlindung dibalik pepohonan. Berdiri mematung satu sosok tubuh tinggi besar. Dengusan nafasnya memburu, seakan mencium bau yang dikenalinya. Bau manusia. Perlahan tubuhnya bergerak. Sekalipun tanpa bantuan penerangan, tak satu kalipun langkahnya terantuk akar pepohonan.
Selepas membuat api unggun, Sura dan Praba memanaskan bekal berupa dendeng daging untuk makan malam. Perjalanan yang mereka tempuh seharian membuat Praba tak kuasa membuka mata berlama-lama, setelah berbincang seperlunya, lantas ia merebahkan badan, dan tak lama kemudian terdengar suara dengkurnya.
Sejatinya Sura juga sudah mengantuk berat, tapi mengingat kemungkinan bahaya mengancam, ia memutuskan memanjat pohon di dekat mereka bermalam, dipilihnya satu batang yang agak lebar, kain sarung dibelitkannya untuk menjaga seandainya ia bergeser dari tempatnya di kala tidur.
Dari atas ia dapat melihat nyala api unggun dan kakak seperguruannya yang tengah mendengkur. Mata Sura memejam, ia berfikir beberapa jam cukuplah ia tidur untuk kembali menambah kayu-kayu pada api unggun.
***
Entah berapa lama ia terlelap, Sura terjaga saat dalam tidur mendengar suara keluhan pelan. Di kucak-kucaknya mata sebentar. Kemudian ia tengok ke arah bawah, api unggun masih menyala walau apinya makin mengecil. Eh? Kemana kak Praba? Ia tak melihat saudaranya itu ditempat semula. Perasaan tidak enak muncul di hati Sura. Bergegas ia lepas ikatan sarung dan melompat turun dari atas pohon.
Kejut ia saat tak ditemuinya Praba di tempatnya semula. Bergegas ia memeriksa, begitu jelas matanya memandang, baru Sura sadar ada semacam cairan mengental di sekitar tempat Praba semula tidur. Di sentuhnya cairan itu dengan ujung jari dan dipandangnya lekat. Darah! Berdegup jantung Sura. Apa yang terjadi dengan Kakang Praba? Sesuatu yang burukkah?
Matanya mengawasi sekitar, ia lihat bekas cairan memerah ke arah barat, menuju rerimbunan pepohonan. Kak Praba! Desis Sura keras dalam hati. Dengan sigap ia benahi kain sarungnya, Sura lantas mengambil satu batang kayu yang masih menyala dari api unggun. Dan tanpa ragu kakinya melangkah mengikuti jejak darah yang ia lihat, tangan kanannya tak lepas dari hulu pedang bersiap dengan segala kemungkinan.
Masih misteri apa yang terjadi dengan kakaknya, tapi jelas prasangka buruk melanda diri Sura. Sesuatu jelas menyerang Kak Praba saat tidur tadi, entah hewan buas atau manusia jahat.
Batang kayu menyala di tambah penglihatannya yang baik, menuntun Sura ke arah mana bercak-bercak darah itu menjauh. Langkah kaki Sura makin dipercepat, berharap ia masih sempat menyelamatkan kakang seperguruannya.
Kini langkah Sura tiba di area terbuka sebuah lembah, rerumputan membentang di hadapannya, sinar rembulan yang menerangi mengarahkan pandangan Sura pada sebuah bangunan besar di tengah lembah.
Ia lempar puntung kayu yang hampir padam, kemudian ia lesatkan tubuhnya menuju bangunan itu.
Tak lama, sampailah ia dipinggir bangunan besar. Bangunan dihadapannya terbuat dari batu dan terlihat sudah cukup tua. Suasana gelap di dalamnya. Dengan mengendap pelan Sura mendekat, pintu depan tak tertutup. Pemuda itu melangkah dengan waspada. Beruntung sinar rembulan masuk melalui cela-cela jendela. Ia terus melangkah menuju ruang tengah. Beberapa kamar ia jumpai. Apakah harus ia periksa satu persatu. Selagi meragu, telinga Sura yang tajam mendengar suara benturan dibagian belakang. Maka diputuskannya untuk melanjutkan langkah. Tangannya meloloskan pedang di pinggang. Dengan senjata ditangan, keberanian si pemuda terempos berlipat.
Ruang belakang tampak sama suramnya dengan ruang-ruang lain. Heran betul ia, ditilik dari bangunan yang besar semacam ini, harusnya pemiliknya golongan bangsawan kaya, tapi mengapa suasananya macam tak terurus? Apakah ada manusia disini? Jangan-jangan yang akan ditemuinya adalah... Spontan meremang kuduk Sura, lekas ia enyahkan pikiran seram, dan kembali memeriksa ruangan di sekelilingnya.
Kembali didengarnya suara seperti benturan atau pukulan. Dengan langkah berjingkat ia menuju satu pintu terbuka lagi di hadapannya, dilihatnya satu sinar redup dari dalam. Sampai di depan pintu matanya melihat sesosok tinggi besar membelakanginya, menghadap satu meja panjang. Sosok itu tampak sibuk mengayun-ayunkan tangannya yang memegang golok hitam besar.
Trek!
Sial! Kaki Sura menginjak sebuah ranting di depan pintu. Manusia tinggi besar yang ada di dalam membalikkan badan. Si pemuda dalam paniknya tak sempat undurkan langkah. Satu wajah bengis penuh luka kini memelototinya dengan tajam.
Harr!
Suara macam raungan keluar dari manusia berwajah seram itu, tangannya yang memegang golok terangkat, dengan dengusan liar ia menyerbu ke arah si pemuda.
Sura melompat mundur kebelakang, tangannya menggenggam erat pedangnya.
Trang!
Benturan keras terjadi, bukan main tenaga lawan, walau sudah menangkis dengan dua tangan, tak urung tubuh Sura terpelanting membentur dinding.
Kepala si pemuda terasa pening, tapi belum sempat ia menarik nafas, musuhnya sudah merangsek dengan satu sabetan liar.
Harrr!
Berkali-kali Sura bergulingan menghindari serangan. Menurut fikirnya ingin ia melontarkan satu pukulan berisi tenaga dalam, namun heran seribu heran, menghadapi manusia monster ini energi cakra yang dimilikinya mampat tak berfungsi. Ilmu apakah yang dipunyai si musuh?
Setelah cukup lama berkutat dengan maut, Sura akhirnya melihat peluang menyerang. Begitu lawan menubruk, cepat ia meluncur melewati dua kaki yang terbuka, kemudian kakinya menjejak dinding dan melakukan tikaman sekuat tenaga.
Crapp! Huarrr!
Tikamannya tepat menusuk punggung lawan. Jerit meraung memenuhi bangunan. Pikir Sura tamatlah sang musuh, tapi siapa duga, manusia iblis didepannya seakan tahan rasa sakit, dengan sempoyongan ia berbalik, matanya melotot dengan bibir menyeringai buas, dua tangannya memegang golok terayun ganas.
Matilah aku! Jerit Sura dalam hati, ia hanya pasrah terduduk lemas dipojok ruang.
Trangg!! Brukk!
Rupanya maut duluan sampai pada musuhnya, golok yang telah mengayun hanya menghantam dinding, dan tubuh tinggi besar itu jatuh ke lantai tepat di depan Sura.
Suasana hening.
Si pemuda memandang lekat-lekat si penghuni hutan tengkorak itu. Mati. Betul-betul mati ia. Setelah yakin musuhnya takkan bergerak lagi, Sura bangkit berdiri, diambilnya pedang miliknya yang menembus punggung lawan.
Kemudian ia menoleh ke arah ruang yang sebelumnya di huni si manusia iblis itu. Langkahnya pelan memasuki ruang.
Ukhh.. rasa mual menggumpal di perutnya begitu mencium bau amis dan busuk yang santar. Lekas ia ambil kain sarung yang terikat dipinggang untuk menutupi hidungnya.
Begitu di dalam ruang, ngeri bercampur miris ia rasa. Bagaimana tidak, dilihatnya pemandangan yang begitu mengerikan, belasan mayat-mayat dan rangka-rangka manusia terkait didinding, dengan keadaan tubuh tak utuh lagi. Puluhan tengkorak manusiapun ia lihat bertumpuk di satu sudut.
Yang membuat ia miris, saat di temuinya mayat Kang Praba, tubuhnya berlumur darah dan kepala yang nyaris putus. Ohh Kakang Praba.. desisnya pilu.
Satu yang membuat Sura bergidik dan bertanya-tanya adalah, sebuah kursi tua dimana ditemuinya kerangka manusia lengkap, didudukkan sedemikian rupa, dengan rambut putih panjang terurai. Di beberapa bagian rangka di baluti dengan kulit-kulit manusia yang dikeringkan. Entah mayat siapakah itu, mungkin seseorang yang spesial bagi si penjagal hutan tengkorak.
Sekian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments