Suasana pagi begitu menyibukkan bagi Shinta dalam merawat Leon. Membersihkan tubuh suami yang masih dalam kondisi lemah, dengan memakaikan baju kaos pilihan pria yang menikahinya secara kontrak tersebut, setelah menyeka tubuh Leon menggunakan air hangat.
"Sa-sa-sa-sayang ... Bisakah kamu menolong ku untuk menjahitkan celana pendek aku yang itu?" tunjuknya pada celana berbahan katun, yang robek di bagian kantong celananya.
Shinta mengalihkan pandangannya kearah tunjuk Leon yang masih duduk di bibir ranjang tanpa mengenakan underwear. Untuk diketahui, selama pasien melakukan cuci darah rutin, selama itu pula ia tidak mengeluarkan air seninya.
Shinta mengangguk, dia mencari jarum dan benang yang pernah ia lihat di dalam laci kamar suaminya tersebut ...
"Sayang ... Dimana jarum jahitnya? Kemaren aku lihat ada disini. Kok sekarang enggak ada? Apa ada orang lain yang masuk ke kamar kita? Karena setahu aku, kamar ini tidak boleh siapapun yang masuk," celotehnya masih mencari-cari keberadaan jarum jahit tersebut.
Leon tertawa kecil, dia teringat sesuatu, "Aku yang meletakkannya di bawah lipatan baju itu," tunjuknya lagi dengan tangan bergetar.
Shinta bergegas mencari dibalik lipatan, dan melakukan semua yang di perintahkan Leon.
Leon masih memandangi wajah cantik istrinya, dia hanya bisa mengagumi Shinta, tapi tidak mampu memilikinya utuh.
Dengan Iseng Leon bertanya pada Shinta, "Sayang ... Jika aku sudah tidak ada di muka bumi ini, apakah kamu akan menikah dengan pria lain?"
Mendengar pertanyaan suaminya, Shinta menghentikan aktivitas menjahitnya. Menggelengkan kepala agar tidak bertanya yang bukan-bukan.
"Bisa kita bahas yang lain? Aku tidak menyukai pembahasan tentang kematian, atau bahkan meratapi kepergian kamu, sayang. Bagi ku, kamu merupakan kado terbaik dari Tuhan. Sudah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Sekarang pakai celananya, sebelum aku tergoda ..." tawanya untuk menghibur Leon.
Leon yang mendengar celotehan Shinta ikut tertawa terbahak-bahak, karena menyadari bahwa dirinya tidak menggunakan apapun selain baju kaos merah yang dikenakan sang istri.
Mereka berdua saling bercerita, menikmati pagi sebelum keluar kamar untuk sarapan bersama dengan Arlan.
Benar saja, tidak lama mereka saling bercanda, pelayan sudah mengetuk pintu kamar hanya untuk bertanya ...
"Non Shinta, mau sarapan di kamar atau sama-sama dengan Tuan Arlan? Karena Tuan sudah menunggu di meja makan."
Shinta menatap Leon, yang akan beranjak ke kursi roda elektrik, "Kamu mau sarapan sama Papi? Atau dikamar?"
Leon tersenyum sumringah, dia mengusap lembut wajah cantik Shinta, menjawab dengan suara serak, "Makan sama-sama saja. Karena sudah lama enggak ketemu sama Papi."
Shinta mengangguk, dia menonaktifkan fungsi otomatis kursi roda Leon, memilih untuk mendorong suaminya sambil bercerita ringan, menuju ruang makan.
Di mansion mewah itu, hanya aktif bagian bawahnya saja. Sementara kamar yang berada dilantai dua, kini hanya di huni dengan pelayan serta beberapa pekerja saja.
Mereka berdua berjalan dengan sangat santai, sambil tertawa kecil, membuat Arlan bertanya karena penasaran.
"Pagi Leon! Sepertinya anak kesayangan Papi lebih bahagia semenjak menikah," sapanya mendekati Leon, kemudian menatap kearah Shinta.
Arlan mengambil alih kursi roda dari tangan Shinta, hanya untuk melihat gadis itu dari dekat, sambil berbisik dengan sangat pelan, "Kamu sangat cantik Shinta ..."
Membuat pipi gadis oriental itu merona, setelah mendengar pujian dari sang mertua.
Shinta bergegas menuju meja makan, mempersiapkan sereal gandum yang sudah tersedia, hanya untuk mencicipi rasa sebelum memberikan kepada Leon.
Arlan mendorong kursi roda, dan meletakkan putranya agar duduk lebih dekat dengannya.
Perasaan sayang Arlan untuk merawat Leon sejak kecil sangatlah besar. Apalagi semenjak Yasmin meninggal mereka berdua, yang hanya menyisakan Leon dalam kondisi yang semakin parah.
Jika bisa minta tukar posisi, mungkin Arlan akan meminta pada Tuhan, bahwa ia lah yang harus pergi lebih dulu daripada harus menyaksikan Yasmin yang meninggalkan nya seperti saat ini.
Kegagalan pencangkokan yang dilakukan pihak rumah sakit kala itu, diakui oleh pihak rumah sakit, yang menyadari kesalahan mereka.
Sebut saja semua keputusan diambil dengan cepat, tanpa harus berpikir ulang karena melihat kondisi Leon yang tidak sadarkan diri, namun bersimbah darah.
Keluarga Yamin meminta agar pencangkokan ginjal dilakukan di Jakarta, saat Arlan tengah melakukan negosiasi untuk membawa anak istrinya ke Cina.
"Arlan, bagaimana jika Leon tidak selamat saat dalam perjalanan! Kamu harus mengetahui kondisi putra mu! Ginjal Yasmin sangat cocok untuk Leon, dan kita harus melakukan tindakan cepat. Tanda tangani surat ini, Mama yakin ini langkah terbaik untuk Leon!" tegasnya saat beradu tatap dengan Arlan di meja rumah sakit Cikini Jakarta.
Arlan masih ragu untuk menandatangani semua itu, karena dia memilih membawa anak istrinya jauh dari keluarga Yasmin.
Dokter spesialis dalam, hanya menunggu semua keputusan yang ada ditangan Arlan kala itu. Benar saja, satu jam penandatanganan persetujuan tindakan pada anak istrinya, membuat Yasmin mengalami koma setelah melakukan pencangkokan ginjal.
Dengan gampangnya dokter mengatakan, "Maaf Pak ... Kita gagal melakukan pencangkokan ginjal, dan Ibu Yasmin harus melakukan tindakan cuci darah ..."
Ingin rasanya Arlan menampar wajah dokter yang melakukan tindakan kepada anak dan istrinya, sehingga benar-benar membuat ia sebagai suami sekaligus ayah gagal dalam menyelamatkan keluarganya.
Arlan tidak kuasa untuk menyalahkan keluarga saat itu. Tanpa pikir panjang, dia membawa Yasmin dan anaknya terbang ke Mount Elizabeth Singapura, namun gagal mendapatkan pertolongan.
Ginjal yang di cangkok kan di tubuh Leon, hanya terletak pada posisi yang mengikuti gerak tubuhnya, dan hanya bertahan enam bulan. Kemudian di lakukan pembuangan ginjal Yasmin melalui operasi yang hanya diletakkan di sebelah kiri saja oleh pihak rumah sakit kala itu.
"Ooogh Tuhan! Kesalahan ku adalah mendengar ucapan Mama, tanpa berpikir panjang!" sesalnya menggeram menahan tangis dalam kekecewaan.
Yasmin melakukan cuci darah, dalam kondisi yang semakin memburuk, bahkan tidak mampu bertahan karena rasa sakit yang teramat sangat.
Perjuangan Arlan terhenti saat Yasmin menghembuskan nafas terakhirnya, di Mount Elizabeth. Kesal, marah, kecewa, bahkan memilih menghindari pihak keluarga Almarhum Yasmin hingga kini.
Arlan memilih merawat Leon sendiri, dengan bantuan rumah sakit yang ia kembangkan bersama Seno. Membuat Raline meminta pada sang Mama untuk menjadi ibu sambung Leon kala itu, akan tetapi ditolak mentah-mentah oleh duda beranak satu tersebut.
"Sombong!" hanya kata itu yang selalu di ucapkan Mama pada Arlan jika bertemu.
Shinta menepuk bahu Arlan, agar tersadar dari lamunannya, "Papi ..."
Arlan terlonjak kaget, dia mengusap lembut tangan Shinta yang masih berada di bahunya, tanpa disadari Leon melirik kearah tangan penyemangat nya sejak dulu.
Arlan yang menyadari tatapan Leon, langsung melepaskan tangannya, menoleh kearah Leon, "Ooogh maaf! Ki-ki-kita makan. Maafkan Papi ..."
Leon tersenyum, matanya masih tertuju pada Shinta dan Arlan yang semakin intens saling bertatapan. Dia mengalihkan pandangannya kearah lain, karena tidak ingin menyaksikan Shinta yang lebih senang berbincang dengan Arlan dibandingkan dirinya sebagai suami ...
"Ehem ... Sepertinya Leon akan sarapan di taman saja!" rungutnya merasa tidak nyaman, dan cemburu.
Shinta membulatkan kedua bola matanya kepada Arlan, memilih untuk mendekati Leon.
Shinta bertanya dengan suara lembut kepada Leon, "Sayang kamu kenapa?"
Leon tak bergeming, dia memilih berlalu meninggalkan meja makan ...
Bergegas Shinta mengejar Leon, tanpa memperdulikan Arlan yang tampak serba salah. "Apakah Leon cemburu pada ku ... Aaagh sial ...!" geramnya merasa bersalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Tari Gan
remuk redam hari seorang Leon di karenakan cemburu
2023-01-02
1
sandi
waduhhh
2022-11-19
1
G-Dragon
aduh aduh aduh ... serba salah jadi Shinta ...🥲🙄😏🌹🌹
2022-10-16
3