Cahaya kuning dari kloning pecahan tubuh Wahyu terus menyebar ke seluruh penjuru kota Jombang. Bagaikan obor yang di lontarkan dari busur-busur panah saat perang.
Walau malam ini masih teramat gelap dan suram oleh arak-arakan mendung dan petir di atas langit. Tetapi setelah ada kilatan-kilatan cahaya kuning yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Bahkan bentuk dan rupa Wahyu seakan ada di mana-mana.
Membuat kegaduhan tersendiri dari kelompok prajurit para setan yang tengah beroperasi di kota Jombang. Teranglah seketika kota Jombang dengan cahaya memancar kuning dari tubuh pecahan-pecahan Wahyu itu sendiri.
“Rupanya anak itu sudah kembali, anak yang diramalkan dapat membinasakanku. Anak keturunan langit dan reinkarnasi dari Satria murid Petapa tanpa nama akhirnya muncul juga. Setelah sekian lama aku menunggunya dewasa dan ingin melawannya secara langsung. Sebab dari beberapa kehidupan, hanya dia yang mampu mengalahkanku,” ucap Barbadak Pemimpin utama dari semua setan yang tengah berpesta-pora di kota Jombang.
Bahkan Barbadak adalah musuh bebuyutan turun-temurun dari kota Jombang. Barbadak pulalah yang telah membantai seluruh tetua TOH dan seluruh petarung hebat kota Jombang. Sekaligus beserta keluarga-keluarga dan keturunan para petarung kota Jombang. Ikut dibinasakan oleh iblis laknat Barbadak.
“Kemarilah anak kecil Wahyu anak dari Haji Jaka. Bahkan Ayahmu dan Ibumu yang terkenal tangguh dapat aku penggal kepalanya sampai mati. Kali ini kau hanya di dalam tubuh manusia muda anak kemarin sore. Tentu aku mampu dengan mudah mengalahkanmu. Bahkan gurumu tanpa nama itu tidak ada di era ini. Jadi sambutlah kekalahanmu dab kemenangan pertamaku di era ini,” ucap Barbadak berdiri di tengah desa Mojokembang. Berdiri Pas di bekas rumah Haji Jaka tetua utama kota Jombang dahulu.
Dari kejauhan tampak salah satu bayangan kuning dari wujud Wahyu meluncur deras ke arah Barbadak. Barbadak menatapnya dengan begitu percaya diri. Dia yakin akan kemenangannya kali ini. Setelah beberapa kehidupan selalu kalah serta tersegel oleh Wahyu dalam wujud lain saat itu.
Srooot,
Cahaya kuning dari kloning pecahan tubuh Wahyu terus kencang mengarah ke arah Barbadak. Seakan-akan Wahyu tahu ada kekuatan yang sangat mengerikan dan jahat ada di depannya. Sebuah kekuatan Maha Raja Setan Durjana. Sang pemimpin dari tiga golongan setan, siluman dan para manusia pembawa setan.
“Marilah Wahyu, kemarilah dan menarilah seperti Ibumu saat menari di pangkuanku. Ingatkah saat itu, saat Ibumu Putri dan Bibimu Sari merintih aku tiduri. Bahkan mereka menangis, tetapi wajahnya seakan menikmati keperkasaanku. Ingatlah kalau kau bisa mengulang pandangan gaibmu setahun atau dua tahun lalu. Ayahmu memohon untuk tidak dibunuh di kakiku,” teriak Barbadak begitu jemawa.
“Baiklah sebagai pengawalan akan aku lemparkan sesuatu,” ucap Barbadak mengambil beberapa tulang-belulang sisa makan para anjing setan dari jasad-jasad manusia di sekitarnya. Lalu ia melemparkannya lurus ke arah Wahyu.
Seketika tulang-belulang itu berubah wujud menjadi bala tentara setan tengkorak. Saat terlontar ke udara menuju arah Wahyu yang tengah terus melesat ke arah Barbadak.
“Hanya kerikil!” ucap Wahyu menangkis beberapa pasukan tengkorak dengan mudahnya. Seakan ia menepis kerikil-kerikil yang tengah terlontar ke arahnya. Seketika pasukan tengkorak hangus terbakar oleh cahaya kuning dari Wahyu.
“Lumayan juga, bagaimana kalau yang ini?” ucap Barbadak meludah dengan melontarkan ludahnya ke arah Wahyu. Sehingga ludahnya menjadi sebuah api dan bara yang melontar ke arah Wahyu. Bagaikan bara api dari lahar dan magma gunung berapi yang tengah meletus. Begitulah apabila diumpamakan ludah Barbadak yang di semprotkan ke arah Wahyu.
“Sudah aku bilang jangan meremehkanku Hay orang tua. Seakan kau menganggapku hanya Wahyu dari era kehidupan kali ini saja!” teriak Wahyu mengubah level api kuningnya menjadi sebuah tangan lalu membendung lontaran ludah berwujud api dari Barbadak.
Dar,
Wahyu akhirnya sampai di pusat titik Barbadak berdiri. Sehingga benturan kedua kekuatan level raja saling berbenturan. Menimbulkan cekungan agak dalam di tanah sekitarnya dalam radius satu kilometer.
Sampai-sampai tubuh Barbadak yang tinggi besar bak wujud raksasa. Separuh dari tubuhnya tenggelam ke tanah akibat pukulan dahsyat dari lontaran api kuning wujud Wahyu.
“Halo Pak Tua Barbadak kita bertemu lagi di kehidupan yang ini. Kau masih ingat aku beberapa kali hampir membinasakanmu. Kalau bukan karena perintah guru tanpa nama. Untuk hanya menyegelmu, tentu hari ini kotaku tak akan hancur dan kau jua sudah terkurung di neraka jahanam,” ucap Wahyu masih dalam posisi melayang di atas Barbadak yang separuh tenggelam. Masih dalam posisi meninju Barbadak dan Barbadak menangkis dengan gada setannya.
Wust,
Wahyu melepaskan pukulannya dan langsung melompat mundur dalam posisi berdiri namun tetap melayang dengan posisi kaki tak menyentuh tanah. Barbadak kembali telah muncul ke permukaan dengan cepat.
“Ternyata aku salah perhitungan dalam melawanmu Wahyu Satria. Aku mengira dengan tubuh lain kekuatanmu melemah. Tapi ternyata kau masih ingat semua pertarungan kita,” ucap Barbadak sambil memutar-mutarkan gada setannya ke atas langit.
“Baiklah Pak Tua sepertinya aku harus melawanmu dengan pengetahuan yang diberikan Ayahku. Agar bila kau musnah di tanganku, beliau bisa tersenyum indah di surga,” ujar Wahyu memadamkan api kuning yang menyelubunginya.
Kali ini Wahyu mulai memperagakan teknik kunci tangan pemanggil kodam pendamping. Sama selayaknya Ayahnya Haji Jaka terdahulu. Tentu teknik pemanggil level raja yang digunakan Wahyu untuk memanggil sahabat lama.
“Datuk Panglima Kumbang sahabatku datanglah,” ujar Wahyu kalem menempelkan telapak tangan kanannya ke tanah. Namun berbeda dengan Ayahnya dahulu kala. Saat membuat segel pemanggil lalu telapak tangan di tepakkan ke tanah. Muncullah diagram lingkaran bergambar ribuan macan kumbang.
Kali ini Wahyu berbeda cara, tapi tetap sama tekniknya. Sedangkan kekuatan segel jauh lebih kuat dari segel sang Ayah. Bahkan tanah yang ia sentuh dengan telapak tangan seakan bergetar hebat bagai gempa. Bukan diagram lingkaran yang keluar dari telapak tangan. Namun diagram cahaya yang muncul di sekitar Wahyu.
“Assalamualaikum Nak Wahyu anak sahabatku Jaka. Lama sekali kau tidak memanggilku dan Maaf aku tidak bisa menahan serangan mereka dua tahun lalu. Sehingga semua keluargamu terbantai di kota kelahiranmu ini,” ucap Ki Datuk Panglima Kumbang muncul di samping kanan Wahyu secara tib-tiba dengan sosok petapa tua sakti memakai baju serba hitam khas adat kota Palembang.
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Sudahlah Paman Panglima semua sudah terjadi dan mungkin semua itu adalah takdir Yang Maha Kuasa. Sekarang mari kita bahu membahu dan saling membantu melenyapkan mereka para setan laknatullah,” ucap Wahyu yang telah menyala kembali dengan teknik api amarah level akhir. Sebuah teknik milik sang Ayah yang telah dimodifikasi sedemikian rupa olehnya sendiri.
“Sebenarnya tanpa bantuanku pun kau dapat membunuhnya dengan mudah Nak Wahyu. Sebab kau yang saat ini sudah melampaui batas-batas manusia dalam segi ilmu, pengetahuan dan ajian,” sahut Datuk Panglima segera mengubah dirinya menjadi sosok macan kumbang hitam besar.
“Tapi tetap saja Paman aku dan kau adalah satu ikatan sejarah yang tak akan pernah terpisahkan walau kapan pun, walau di generasi mana pun apabila masih ada generasi setelahku,” ujar Wahyu mulai melesat ke arah Barbadak diikuti macan kumbang hitam besar wujud dari Panglima Kumbang di samping kanannya.
“Bersiaplah menemui ajalmu Barbadak!” teriak Wahyu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Andra Djatmika
tak terbayangkan jikalau kita harus melawan musuh yang melukai keluarga kita tentunya sangat marah
2022-12-03
0
Bayu Arnan
yes begitu benar hajar hehe
2022-11-28
1
Roy Jamaya
Hem butuh baca juga ini novel sebelumnya bisa otw hehehe
2022-11-27
1